Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ariek Prasetya

Ketika Istri Memilih NPWP Terpisah dari Suami

Bisnis | 2025-09-28 07:04:35

Setiap tahun, wajib pajak di Indonesia dihadapkan pada kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh). Salah satu hal yang kerap menimbulkan kebingungan adalah perhitungan PPh bagi pasangan suami istri.

Pada dasarnya, sistem pengenaan pajak di Indonesia menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomi. Artinya, penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak, dan pemenuhan kewajiban perpajakannya dilakukan oleh kepala keluarga. Namun, dalam kondisi tertentu, istri dapat memilih untuk terpisah dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Status ini dikenal dengan istilah Pisah Harta (PH) atau Memilih Terpisah (MT).

Status PH berarti penghasilan suami istri dikenai pajak secara terpisah karena dikehendaki secara tertulis oleh keduanya berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan. Sedangkan status MT berarti istri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri. Dengan demikian, istri akan memiliki NPWP sendiri.

Hal penting yang perlu diketahui dalam status PH atau MT adalah, meskipun pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan dilakukan secara terpisah, Undang-Undang PPh Pasal 8 ayat (3) mengatur bahwa penentuan pajak penghasilan tetap didasarkan pada penggabungan penghasilan neto suami istri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing pihak dihitung secara proporsional sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.

Bagi pasangan suami istri yang masing-masing merupakan karyawan dari satu pemberi kerja, perhitungan tersebut dapat mengakibatkan status kurang bayar pada SPT Tahunan PPh masing-masing. Artikel ini membahas status PH dan MT pada pasangan suami istri yang keduanya bekerja sebagai karyawan.

Ilustrasi Perhitungan

Pasangan suami istri, Amin dan Aminah, memiliki satu orang anak sebagai tanggungan. Amin bekerja sebagai karyawan di PT ABC, sedangkan Aminah bekerja di PT XYZ. Aminah memilih untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya secara terpisah dari suami, sehingga ia mendaftarkan NPWP sendiri.

Pada awal tahun 2025, pasangan ini menerima bukti potong 1721-A1 untuk tahun pajak 2024 dari tempat kerja masing-masing.

· Dalam bukti potong Amin, jumlah penghasilan neto setahun sebesar Rp 136.800.000 dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) K/1 sebesar Rp 63.000.000, sehingga PPh yang telah dipotong dan dilunasi sebesar Rp 5.070.000.

· Dalam bukti potong Aminah, jumlah penghasilan neto setahun sebesar Rp 101.400.000 dengan PTKP TK/0 sebesar Rp 54.000.000, sehingga PPh yang telah dipotong dan dilunasi sebesar Rp 2.370.000.

Penghasilan neto Amin dan Aminah digabung terlebih dahulu untuk menentukan PPh dalam SPT Tahunan, sehingga total penghasilan neto gabungan sebesar Rp 238.200.000.

Untuk memperoleh penghasilan kena pajak, penghasilan neto gabungan ini dikurangi dengan PTKP sebesar Rp 117.000.000. Nilai ini terdiri dari:

· PTKP untuk diri Amin: Rp 54.000.000

· PTKP untuk diri Aminah: Rp 54.000.000

· PTKP status kawin: Rp 4.500.000

· PTKP tanggungan satu anak: Rp 4.500.000

Sehingga penghasilan kena pajak gabungan menjadi Rp 121.200.000 dan PPh terutang menjadi Rp 12.180.000.

Nilai PPh terutang diperoleh dari penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif progresif sesuai UU PPh Pasal 17 ayat (1):

· Lapisan pertama (Rp 0 s.d. Rp 60.000.000): tarif 5%

· Lapisan kedua (di atas Rp 60.000.000 s.d Rp 250.000.000): tarif 15%

Selanjutnya, PPh masing-masing dihitung secara proporsional berdasarkan penghasilan neto:

· PPh terutang Amin sebesar Rp 6.995.000 yang diperoleh dari (Rp 136.800.000 ÷ Rp 238.200.000) × Rp12.180.000

· PPh terutang Aminah sebesar Rp 5.184.000 yang diperoleh dari (Rp 101.400.000 ÷ Rp 238.200.000) × Rp 12.180.000

Setelah dikurangi dengan PPh yang telah dipotong oleh pemberi kerja maka :

· Amin masih kurang bayar sebesar Rp 1.925.000

· Aminah masih kurang bayar sebesar Rp 2.814.000

Kesimpulan dan Solusi

Dari ilustrasi di atas, status MT yang dipilih oleh Aminah menyebabkan ia dan suaminya harus menyetorkan kekurangan pembayaran PPh. Hal ini dapat dihindari apabila Aminah menggabungkan pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya dengan suami sebelum akhir tahun pajak 2024.

Dengan penggabungan tersebut, istri yang memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja tidak perlu melaporkan SPT Tahunan PPh. Bukti potong 1721-A1 dari pemberi kerja cukup dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh suami sebagai penghasilan yang bersifat final. Dengan demikian, tidak ada lagi perhitungan pajak dari penggabungan penghasilan neto, dan SPT Tahunan PPh akan berstatus Nihil selama suami hanya bekerja pada satu pemberi kerja.

Penggabungan pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan istri dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan non aktif NPWP melalui akun Coretax milik istri atau dengan datang langsung ke Kantor Pelayanan Pajak terdekat. Istri yang masih menjadi karyawan tidak perlu khawatir dengan status NPWP non aktif, karena NPWP 16 digit tersebut tetap dapat digunakan oleh pemberi kerja untuk keperluan pembuatan bukti potong.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image