Membungkam Media, Membungkam Demokrasi
Politik | 2025-09-16 16:12:34
Belakangan ini publik disuguhi berbagai peristiwa yang mengguncang, seperti demonstrasi, kerusuhan, hingga tindakan represif yang menyayat hati banyak rakyat. Di saat sebagian besar masyarakat berjuang keras memenuhi kebutuhan hidup, mereka juga menyaksikan situasi politik yang menimbulkan kekecewaan mendalam.
Pada dasarnya, rakyat Indonesia mencintai negeri ini. Rasa cinta itu pula yang mendorong sebagian masyarakat turun ke jalan menyuarakan aspirasi. Perlawanan yang muncul bukanlah tindakan tanpa sebab, melainkan ekspresi kepedulian terhadap kondisi bangsa. Namun, dalam dinamika ini, muncul fenomena yang justru menimbulkan pertanyaan serius: dibungkamnya media dan wartawan di tengah momentum penting bagi demokrasi.
Media yang Dibatasi, Publik yang Kehilangan Hak
Dalam peristiwa demonstrasi terakhir, publik dikejutkan oleh terbatasnya akses informasi. Fitur siaran langsung di berbagai platform digital, seperti TikTok, Instagram, hingga YouTube sempat dinonaktifkan. Bagi sebagian orang, mungkin hanya dianggap upaya teknis untuk mengendalikan situasi. Namun, setelah ditelaah lebih dalam, langkah tersebut memiliki dampak besar.
Pertama, akses masyarakat terhadap informasi faktual menjadi terhambat. Masyarakat tidak bisa mengetahui kondisi nyata di lapangan secara cepat dan transparan. Kedua, kebijakan itu juga memutus salah satu sumber penghidupan ekonomi digital. Banyak individu, termasuk jurnalis warga, UMKM, dan konten kreator yang menggantungkan sebagian besar pendapatannya dari aktivitas daring, khususnya siaran langsung.
Ketika media dibatasi, masyarakat kehilangan salah satu elemenutama untuk melakukan kontrol sosial. Padahal, demokrasi modern hanya bisa berjalan sehat jika warga negara mendapatkan informasi yang lengkap dan berimbang. Informasi inilah yang menjadi dasar bagi publik untuk bersikap, mengambil keputusan, bahkan ikut serta dalam proses politik.
Lebih dari itu, pembatasan media bisa menimbulkan efek psikologis berupa rasa takut berbicara. Warga menjadi enggan untuk menyuarakan pendapat karena khawatir akan dibungkam. Kondisi ini berbahaya bagi demokrasi, karena demokrasi seharusnya memberi ruang bagi kebebasan berekspresi, bukan sebaliknya. Jika dibiarkan, budaya diam akan mengakar dan masyarakat terbiasa menerima informasi sepihak.
Selain efek psikologis, hal ini berdampak pula pada sosial dan politik. Dalam jangka panjang, pembatasan media dapat memicu krisis kepercayaan publik terhadap lembaga negara. Masyarakat akan lebih mudah terpecah antara yang percaya pada informasi resmi dan yang mengandalkan kabar alternatif. Jika tidak dikelola, polarisasi ini justru memperburuk stabilitas sosial dan politik. Padahal, keterbukaan informasi seharusnya menjadi jembatan antara pemerintah dan rakyat, bukan sebaliknya
Pers dalam Perspektif Hukum dan Demokrasi
Pembatasan media jelas bertentangan dengan prinsip kebebasan pers. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tenang Pers (UU Pers) secara tegas menjamin kebebasan dan kemerdekaan wartawan. Pasal 8 menyatakan bahwa wartawan dalam menjalankan profesinya mendapat perlindungan hukum. Bahkan, Pasal 18 ayat (1) menegaskan bahwa siapa pun yang menghalangi kerja jurnalistik dapat dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda hingga Rp 500 juta.
Jika merujuk pada konstitusi, kebebasan pers merupakan bagian dari hak asasi manusia. UUD 1945 pasal 28F menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Artinya, upaya membatasi media sama saja dengan merampas hak dasar warga negara.
Lebih jauh, pembatasan media juga berpotensi mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Transparansi dan akuntabilitas akan goyah bahkan runtuh jika informasi hanya bersumber dari satu sisi. Demokrasi yang sehat tidak mungkin berdiri diatas informasi yang timpang tindih atau simpang siur.
Belajar dari Pengalaman Global.
Fenomena pembatasan media bukan hanya terjadi di Indonesia. Di beberapa negara lain, praktik serupa justru memicu krisis politik yang lebih dalam. Misalnya, pada masa protes di Hong Kong tahun 2019, pembatasan akses internet dan intimidasi terhadap jurnalis justru memperburuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Sebaliknya, ada pula contoh positif. Beberapa negara Eropa tetap memberikan akses penuh bagi media dalam situasi krisis. Pemerintah memilih berdialog terbuka dengan publik melalui media, sehingga masyarakat merasa dihargai dan situasi dapat dikendalikan tanpa menutup akses saluran informasi.
Dari sini, Indonesia bisa bisa belajar bahwa membungkam media bukanlah solusi. Justru keterbukaan informasi adalah kunci untuk meredam keresahan publik.
Menegakkan Prinsip, Mencari Solusi
Menghadapi kondisi ini, ada beberapa langkah yang seharusnya ditempuh:
1.Pemerintah perlu menegaskan komitmennya pada kebebasan pers.Bukan hanya dengan retorika, tetapi dengan memastikan tidak ada intervensi terhadap media dan jurnalis di lapangan.
2.Aparat keamanan harus diberikan pemahaman yang jelas.Bahwa wartawan adalah mitra, bukan lawan. Perlindungan terhadap jurnalis sama pentingnya dengan menjaga keamanan demonstrasi itu sendiri.
3.Masyarakat juga memiliki tanggung jawab.Pengguna media sosial perlu bijak dalam menyaring informasi, sekaligus tetap kritis terhadap upaya pembatasan yang tidak sesuai konstitusi.
4.Dewan Pers dan organisasi jurnalis harus lebih aktif dalam mengadvokasi kasus pembungkaman media. Suara kolektif dari profesi wartawan akan memperkuat posisi pers di mata hukum maupun publik.
5.Kampus dan lembaga pendidikan juga berperan penting. Literasi media perlu terus ditanamkan sejak dini agar masyarakat tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga mampu menilai kredibilitas sumber. Dengan masyarakat yang cerdas secara digital, ruang demokrasi akan semakin kuat.
6.Peran masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) sangat krusial. Organisasi ini dapat menjadi pengawas independen sekaligus jembatan komunikasi antara warga dan pemerintah. Dengan keterlibatan aktif masyarakat sipil, isu pembatasan media tidak hanya berhenti sebagai keluhan, tetapi menjadi dorongan nyata untuk memperbaiki sistem
Penutup
Menutup akses media sama saja dengan menutup ruang demokrasi. Wartawan bukan sekedar pencatat peristiwa, tetapi pengawal kebenaran dan kepentingan publik. Jika media dibungkam, maka suara rakyat pun ikut terkubur.
Indonesia telah berkomitmen sepakat menjadi negara yang demokratis dan demokrasi hanya bisa tumbuh subur jikar pers diberikan ruang untuk bebas, independen, dan bertanggung jawab. Karena itu, membungkan media sama saja dengan membungkam demokrasi itu sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
