Karen Armstrong dan Dua Karyanya tentang Nabi Muhammad Saw
Agama | 2025-09-09 20:47:01Nabi Muhammad Saw adalah sosok yang tidak pernah lekang oleh waktu. Beliau bukan hanya seorang nabi dan rasul, melainkan juga pemimpin yang berhasil mengubah wajah masyarakat Arab pada abad ke-7 dari kehidupan jahiliyah menuju tatanan sosial yang lebih manusiawi. Integritas pribadi, kepedulian sosial, serta keberanian beliau menegakkan keadilan menjadikannya figur yang dihormati lintas agama dan budaya. Nilai-nilai yang beliau bawa seperti kejujuran, kasih sayang, dan penghormatan pada martabat manusia menjadi teladan universal yang relevan sepanjang zaman.
Di tengah tantangan dunia modern, ajaran Nabi Muhammad Saw justru semakin menemukan relevansinya. Ketika masyarakat global menghadapi krisis moral, ketidakadilan, dan konflik kemanusiaan, warisan beliau berupa prinsip persaudaraan, keadilan sosial, dan perdamaian menjadi penawar yang sangat dibutuhkan. Keteladanan beliau tidak hanya hidup dalam tradisi umat Islam, melainkan juga terus mendapat pengakuan dari para pemikir dan penulis di luar Islam, termasuk di Barat. Hal inilah yang menjadikan sosok Nabi Muhammad Saw sebagai teladan abadi, yang inspirasi dan pengaruhnya tetap terasa hingga hari ini.
Karen Armstrong dan Perhatiannya pada Nabi Muhammad Saw
Di antara tokoh Barat yang memberi perhatian khusus pada Nabi Muhammad Saw adalah Karen Armstrong. Perempuan asal Inggris ini pernah menjadi biarawati sebelum akhirnya memilih jalan sebagai penulis independen yang menekuni kajian agama-agama besar dunia. Dua karyanya yang paling menonjol, Muhammad: A Biography of the Prophet (1991) dan Muhammad: A Prophet for Our Time (2006), menjadi bukti kesungguhannya dalam menghadirkan potret Rasulullah Saw kepada pembaca Barat. Armstrong berusaha menampilkan Nabi bukan hanya sebagai sosok spiritual, tetapi juga sebagai pemimpin moral dan sosial yang membawa perubahan besar pada zamannya.
Meski tulisannya kerap dipuji karena bernada simpatik, Armstrong tidak sepenuhnya lepas dari pendekatan orientalis. Ia sering memakai kacamata sejarah-kritis yang membuatnya tampak ragu terhadap hal-hal yang dianggap transendental dalam Islam, seperti mukjizat atau aspek gaib dalam wahyu. Sikap ini menunjukkan adanya ambivalensi: di satu sisi ia mengagumi kepribadian dan visi Nabi Muhammad Saw, tetapi di sisi lain tetap mempertahankan jarak skeptis khas orientalis. Inilah yang membuat karya Armstrong terasa unik sekaligus memancing perdebatan.
Pembacaan terhadap karya Armstrong menuntut sikap kritis. Ia memang memberi kontribusi penting dalam memperkenalkan sosok Nabi Muhammad Saw kepada masyarakat Barat, tetapi pembacaterutama akademisi Muslim perlu memilah dengan jeli mana bagian yang benar-benar menggambarkan keagungan Nabi, dan mana yang sekadar cerminan keterbatasan metodologi orientalis. Dengan cara itulah kita bisa menghargai kontribusinya tanpa kehilangan daya kritis.
Perhatian Ilmuwan Lain terhadap Armstrong
Karya-karya Armstrong tidak luput dari perhatian para peneliti. Namun, banyak kajian yang ada cenderung berhenti pada pujian tanpa masuk ke analisis yang lebih kritis. Misalnya, tesis Ateeq-ur-Rehman (2009) hanya memberi gambaran umum tentang kontribusi Armstrong, tetapi kurang mendalami bagaimana bias orientalis tetap hadir dalam tulisannya. Kajian ini terasa informatif, namun belum cukup tajam untuk memahami posisi Armstrong dalam wacana Seerat.
Hal serupa terlihat dalam artikel Sumayya Athar (2011–2012) yang menyoroti sisi positif karya Armstrong, terutama gaya bahasanya yang memikat pembaca Barat. Akan tetapi, Athar tidak mengupas tuntas metodologi Armstrong, sehingga kritik atas kecenderungan orientalis dalam karyanya terabaikan. Dengan kata lain, tulisan Athar lebih bersifat apresiatif ketimbang analitis.
Kajian Fozia Fiaz dan Dr. Mohsina Munir (2018) mencoba menghubungkan Charter of Compassion karya Armstrong dengan pandangannya tentang Nabi Muhammad Saw. Mereka menekankan pesan toleransi dan harmoni yang diusung Armstrong, sehingga memberi kesan positif terhadap citra Nabi di mata pembaca non-Muslim. Namun, penelitian ini juga kurang menyentuh persoalan metodologis atau kelemahan faktual dalam tulisannya. Fokus utamanya lebih pada sisi normatif dan pesan moral.
Sementara itu, Dr. Khawer Sultana (2013) justru menyoroti kelemahan Armstrong, terutama dalam hal akurasi sejarah. Ia menunjukkan kekeliruan Armstrong ketika menyebut Tahun Gajah jatuh pada 547 M, padahal para sejarawan Muslim menyepakati tahun 570 M. Kritik ini penting, tetapi analisis Sultana terbilang singkat dan tidak menjangkau aspek metodologis yang lebih luas. Dengan demikian, kelemahan Armstrong memang diakui, tetapi belum dikaji secara menyeluruh.
Muhammad Qasim dan Sarfarz Khalid (2017) juga mencoba menanggapi keberatan Armstrong terhadap beberapa ajaran Islam. Namun, mereka tidak memberikan jawaban yang tuntas, melainkan hanya sebatas pemaparan. Hal ini menunjukkan bahwa wacana akademik tentang Armstrong masih memerlukan pendekatan yang lebih serius dan komprehensif.
Upaya lebih mendalam tampak pada penelitian Dr. Riaz Ahmad Saeed (2019, 2020) yang mengulas pandangan Armstrong mengenai jihad dan aspek sirah Nabi. Namun, kajiannya masih cenderung tidak seimbang antara pujian dan kritik. Sementara itu, Dr. Muhammad Humayun Abbas Shams (2020) menekankan bahwa kajian mengenai sirah dan orientalis, termasuk Armstrong, masih minim dilakukan. Ia menekankan perlunya penelitian yang lebih detail dan seimbang: tidak hanya mengapresiasi sisi positif Armstrong, tetapi juga mengkritisi kelemahan metodologisnya. Pandangan Shams membuka ruang bagi penelitian lanjutan yang lebih kritis dan objektif.
Karen Armstrong, lewat kedua karyanya tentang Nabi Muhammad Saw, berhasil menghadirkan sosok Rasulullah ke hadapan pembaca Barat dengan cara yang relatif simpatik, meski tak lepas dari bias orientalis yang melekat pada latar keilmuannya. Di satu sisi, ia memperlihatkan keteladanan Nabi sebagai pembawa misi moral dan sosial yang relevan bagi dunia modern, sementara di sisi lain ia menyelipkan skeptisisme khas orientalis yang perlu dicermati secara kritis. Respon para akademisi terhadap Armstrong pun beragam, mulai dari apresiasi hingga kritik, namun umumnya belum menyingkap seluruh kompleksitas pendekatan yang digunakannya. Dari sini tampak bahwa Armstrong membuka pintu dialog lintas budaya dan agama tentang figur Nabi Muhammad Saw, sekaligus menantang para sarjana Muslim untuk menghadirkan kajian sirag yang lebih mendalam, seimbang, dan mampu menjawab bias orientalis dengan argumen yang kokoh.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
