Maulid Nabi: Tafsir Cinta, Tafsir Peradaban
Risalah | 2025-09-04 20:13:54Refleksi Maulid Nabi di Tengah Gejolak Bangsa dan Luka Dunia yang Terus Menganga
Oleh : Ali Amril - Aktivis Filantropi Dunia Islam, CEO QUPRO Indonesia, dan Chairman Aliansi Kemanusiaan Indonesia (AKSI)
Sejarah yang Dimulai dari Tahun Gajah
Sejarah peradaban pernah berhenti sejenak di Mekah pada Tahun Gajah. Abrahah datang dengan pasukan skala besar, gajah-gajah perkasa, dengan niat paripurna untuk menghancurkan Ka’bah. Namun, yang dianggap perkasa, Allah tundukkan dengan cara “sangat biasa”, laksana burung-burung ababil yang melemparkan batu-batu sijjil. Peristiwa ini Allah abadikan dalam Al-Qur’an, sebagai pembelajaran berharga bagi umat manusia bahwa tirani tak akan pernah menang melawan kuasa Tuhan Semesta Alam.
Tak lama setelah peristiwa tersebut, lahirlah manusia agung Nabi Muhammad ﷺ, di bulan Rabi‘ul Awal. Kelahiran seorang bayi manusia yang kelak mengubah arah sejarah umat manusia. Nabi Muhammad ﷺ kecil saat itu bukanlah sekadar anak yatim dari keluarga Quraisy, melainkan cahaya yang menandai shifting peradaban. Dunia yang gelap oleh tirani, diskriminasi, dan penuh kegelapan, mulai disinari.
Maulid sebagai Bahasa Universal
Maulid Nabi adalah momentum sekaligus sejarah peradaban yang tidak boleh berhenti pada seremonial an sich. Ia adalah bahasa universal dan kemanusiaan. Bahasa yang semestinya dapat dengan mudah difahami oleh siapa saja, lintas etnis, agama, dan bangsa. Ia menegaskan bahwa kelahiran Nabi adalah milik seluruh umat manusia. Nabi Muhammad lebih dari sekadar pemimpin agama, melainkan guru kemanusiaan.
Tafsir Cinta: Berpihak dan Membela yang Tertindas
Cinta Nabi bukanlah romantika hampa. Ia adalah energi sosial, keberanian menyatakan keberpihakan, dan pengorbanan yang nyata. Dari cinta itulah lahir keberpihakan kepada yatim, miskin, dan kaum yang tertindas. Dari cinta itu pula lahir semangat untuk menegakkan martabat manusia.
Bangsa ini baru saja diguncang gelombang demonstrasi. Suara rakyat tumpah ruah di jalan-jalan, menyampaikan aspirasi secara terbuka, menuntut keadilan. Suara itu sah, bahkan dijamin oleh konstitusi. Namun kita juga menyaksikan, ada korban jiwa. Ada luka sosial yang tidak bisa kita anggap sepele.
Kini suasana berangsur normal dan kondusif. Namun momentum Maulid kembali mengingatkan, menyuarakan kebenaran tidak boleh mengesampingkan akhlak. Nabi mencontohkan, amar ma’ruf harus disampaikan dengan hikmah. Suara harus tegas, namun kepala tetap dingin. Demonstrasi boleh dan harus menjadi ruang aspirasi, karena dijamin oleh Undang-undang, namun jangan berubah menjadi panggung kebencian.
Tafsir Peradaban: Revolusi Tanpa Senjata
Cinta Nabi tidak berhenti di hati. Dari cinta lahirlah peradaban. Di Madinah, beliau membangun sebuah tatanan baru. Fondasinya bukanlah senjata, melainkan keadilan, persaudaraan, dan solidaritas.
Inilah makna revolusi tanpa senjata, revolusi nurani. Ia tidak bergemuruh dengan artileri, namun meninggalkan jejak yang lebih dalam dari perang apa pun. Revolusi ini mengguncang sejarah, melahirkan peradaban baru yang lebih manusiawi.
Indonesia hari ini memerlukan energi yang sama. Politik sering terjebak pada arogansi dan ego sektoral. Persaingan elite berubah menjadi gesekan kepentingan. Namun bangsa ini tidak bisa dibangun dengan amarah yang meledak-ledak. Peradaban hanya dapat lahir jika nurani tetap menyala, jika cinta dijadikan fondasi.
Dimensi Global: Palestina sebagai Ujian Nurani
Ketika kita disibukkan dengan gejolak internal negeri ini, dunia memberi cermin lain. Palestina berdarah. Anak-anak Gaza kehilangan bahkan dihilangkan masa depannya, rumah-rumah diluluhlantakkan, dan generasi dipangkas harapannya. Dunia seolah diam, membiarkan genosida berlangsung di depan mata secara telanjang.
Peduli Palestina kini bukanlah sekadar isu agama, ia adalah ujian nurani. Kita tetap perlu bertanya pada diri sendiri, apakah kita masih manusia? Apakah kita masih memiliki keberanian untuk tetap melabeli kejahatan sebagai kejahatan, dan tetap menyebut penderitaan sebagai penderitaan?
Jika cinta Nabi benar-benar hidup, ia akan melintasi batas dan sekat negara. Ia akan menjelma menjadi kepedulian global. Solidaritas terhadap Palestina adalah bukti bahwa kita meneladani Nabi, bukan hanya dalam doa, namun juga dalam sikap.
Hakikat Momentum Maulid
Hakikat Maulid adalah panggilan untuk kembali ke titik asal kita sebagai manusia. Cinta yang melahirkan peradaban. Lebih dari sekadar perayaan seremonial, ia adalah momentum untuk meneguhkan siapa diri kita sesungguhnya.
Di tengah hiruk-pikuk politik negeri ini, dan di tengah jeritan Gaza-Palestina, Maulid mengingatkan setiap kita, cinta Nabi adalah cahaya yang tak boleh padam. Dari Jakarta hingga Gaza, kita diingatkan untuk kembali menjadi manusia seutuhnya, untuk menjaga nurani, untuk menyuarakan kedamaian, dan untuk tetap menyatakan keberpihakan pada kemanusiaan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
