HIV di Banda Aceh: Dari Stigma ke Solusi Nyata
Humaniora | 2025-08-12 22:22:22
Banda Aceh dan Bom Waktu HIV? Tulisan ini ingin mengajak kita melihat realitas yang sering disembunyikan di balik tembok-tembok citra religius. Angka 566 kasus HIV hingga Mei 2025 jelas bukan sekadar statistik, melainkan tanda bahwa kita sedang menghadapi masalah kesehatan masyarakat yang serius. Pertanyaannya, apakah kritik yang disampaikan hanya menjadi nada pesimis, atau justru bisa menjadi pemicu untuk bertindak?
Memang benar, stigma terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) masih tebal di Banda Aceh. Namun, stigma ini bukan hanya lahir dari masyarakat, melainkan juga dari keterbatasan edukasi publik yang relevan dengan nilai-nilai lokal. Menggugat moralitas masyarakat tanpa memberikan jalan yang sesuai kultur justru berisiko memperlebar jurang antara pihak yang peduli dan mereka yang tertutup.
Masyarakat Aceh, dengan latar belakang syariat Islam yang kuat, memerlukan strategi komunikasi yang menggabungkan sains dan agama. Edukasi kesehatan reproduksi tidak harus dibungkus dengan istilah yang dianggap vulgar, tetapi dapat disampaikan melalui bahasa yang santun dan pendekatan yang mengedepankan nilai-nilai amanah, tanggung jawab, serta larangan syariat terhadap perilaku berisiko. Di sinilah peran tokoh agama menjadi krusial—bukan sekadar sebagai pengingat dosa, tetapi sebagai penyampai pesan pencegahan dan perawatan yang manusiawi.
Selain itu, pemerintah daerah perlu menanggapi kritik dengan langkah konkret. Skrining gratis, layanan rahasia tanpa diskriminasi, dan pendampingan psikososial harus menjadi prioritas. Tidak kalah penting adalah kerja sama lintas sektor, dari dinas kesehatan, pendidikan, lembaga keagamaan, hingga organisasi masyarakat sipil, untuk menghapus hambatan akses layanan.
Kita juga perlu jujur mengakui bahwa mengatasi HIV bukan semata-mata urusan medis, melainkan urusan sosial yang menuntut solidaritas. Menutup mata atau mengedepankan citra semata hanya akan mempercepat ledakan masalah yang diam-diam merayap. Namun, di sisi lain, membawa isu ini ke ruang publik tanpa sensitivitas budaya juga bisa menjadi bumerang.
Oleh karena itu, solusi terbaik adalah memadukan keterbukaan informasi dengan cara penyampaian yang bijak dan terhormat. Banda Aceh bukan hanya bisa menjadi simbol moralitas, tetapi juga contoh keberhasilan dalam melindungi warganya dari ancaman HIV—jika saja mau mengubah stigma menjadi aksi nyata.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
