Ketika Perawat Disebut Pembantu Dokter: Fakta, Data, dan Realita di Lapangan
Eduaksi | 2025-12-10 10:39:05Ketika Perawat Disebut “Pembantu Dokter”: Fakta, Data, dan Realita di Lapangan
Dalam praktik pelayanan kesehatan di Indonesia, stigma bahwa perawat hanyalah “pelaksana perintah dokter” masih sering muncul baik di masyarakat maupun dalam beberapa struktur layanan kesehatan. Padahal, pandangan tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan profesi keperawatan saat ini. Perawat adalah tenaga profesional yang memiliki kompetensi mandiri, kewenangan klinis, serta tanggung jawab besar dalam menjaga keselamatan pasien dan kualitas pelayanan kesehatan.
Menurut data terbaru dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) per Maret 2025, total perawat di Indonesia tercatat sekitar 784.515 orang. Namun angka besar ini menutupi ketimpangan distribusi yang nyata. Provinsi-provinsi di Pulau Jawa seperti Jawa Timur (98.744 perawat), Jawa Barat (94.392 perawat), dan Jawa Tengah (94.193 perawat) menguasai sebagian besar tenaga keperawatan. Sementara itu, di daerah terpencil atau wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), jumlah perawat jauh lebih sedikit, misalnya di Kalimantan Utara hanya 3.233 perawat.
Distribusi yang timpang serta fakta bahwa mayoritas perawat bekerja di rumah sakit (bukan layanan primer/puskesmas) menunjukkan bahwa banyak masyarakat terutama di luar Jawa sulit merasakan layanan keperawatan memadai. Hal ini membuka ruang bagi persepsi bahwa perawat “kurang penting” atau “hanya pelaksana dokter”, karena ketidakhadiran mereka di banyak daerah.
Realitas profesional keperawatan saat ini telah jauh berkembang. Perawat tidak hanya menjalankan instruksi dokter, melainkan melakukan pengkajian kondisi pasien, menentukan diagnosis keperawatan, merumuskan intervensi, melakukan evaluasi hasil perawatan, serta memberikan edukasi kesehatan semua berdasarkan kompetensi dan tanggung jawab mereka sendiri.
Sebagai cerminan upaya memperkuat kompetensi perawat, pada 19 Juni 2025 World Health Organization (WHO) bersama Kemenkes resmi menetapkan jaringan Poltekkes Indonesia sebagai “Pusat Kolaborasi WHO untuk Pendidikan dan Pengembangan Keperawatan dan Kebidanan”. Ini merupakan pengakuan internasional atas pentingnya perawat sebagai tenaga kesehatan profesional, bukan sekadar “bantuan dokter”.
Di tingkat pelayanan rumah sakit, penelitian terkini menunjukkan bahwa metode asuhan keperawatan, jenjang karier, dan kompetensi perawat secara signifikan memengaruhi mutu layanan menunjukkan bahwa kinerja perawat bukan soal sekadar menjalankan perintah, melainkan keahlian klinis dan dedikasi profesional.
Perawat modern menjalankan peran multifungsi: dari perawatan kuratif, pemantauan kondisi kritis (misalnya di unit ICU/NICU), rehabilitasi, penyuluhan kesehatan, hingga aspek promotif dan preventif termasuk edukasi pasien tentang pola hidup sehat, pencegahan penyakit, dan perawatan berkelanjutan.
Meski berbagai data dan fakta menunjukkan peran strategis perawat dalam sistem kesehatan, stigma lama tetap sulit dihapus. Salah satu penyebabnya adalah ketimpangan distribusi tenaga keperawatan. Di banyak wilayah 3T, layanan keperawatan masih sangat terbatas, sehingga masyarakat tidak pernah benar-benar merasakan langsung kontribusi perawat. Ketika kehadiran perawat hanya tampak di rumah sakit kota besar, publik pun kesulitan melihat profesi ini sebagai tenaga mandiri yang memiliki kewenangan klinis.
Kurangnya edukasi publik juga berperan besar dalam mempertahankan stigma tersebut. Banyak orang belum memahami bahwa perawat menempuh pendidikan tinggi, memiliki standar kompetensi, sertifikasi profesi, serta kewenangan praktik yang diatur undang-undang bukan sekadar “asisten dokter” seperti yang sering dipersepsikan. Ditambah dengan budaya medis yang pada sebagian institusi masih bersifat hierarkis, posisi perawat kerap dianggap sebagai tenaga subordinat yang hanya menjalankan instruksi dokter, meskipun praktik modern sudah menuntut kolaborasi antarprofesi.
Faktor lain yang turut melanggengkan stigma adalah minimnya representasi perawat di media. Dalam banyak pemberitaan, perawat sering disebut secara generik sebagai “nakes”, “petugas”, atau “suster”, tanpa identitas profesional yang jelas. Akibatnya, publik tidak melihat perawat sebagai individu dengan tanggung jawab klinis yang spesifik dan berpengaruh langsung pada keselamatan pasien.
Stigma ini bukan sekadar masalah persepsi, tetapi berdampak nyata pada sistem kesehatan. Pandangan bahwa perawat hanya pelaksana membuat kolaborasi antarprofesi menjadi kurang optimal, padahal pelayanan kesehatan modern sangat bergantung pada keputusan tim, bukan satu profesi. Dalam konteks keselamatan pasien, anggapan keliru ini juga dapat menurunkan kualitas layanan, karena peran sentral perawat dalam pemantauan, edukasi, dan tindak lanjut sering kali terabaikan. Ketimpangan layanan di daerah terpencil juga makin terasa ketika perawat enggan ditempatkan atau merasa kurang dihargai, sehingga distribusi tenaga semakin sulit merata. Pada akhirnya, stigma tersebut dapat menurunkan motivasi dan profesionalisme perawat, karena kurangnya penghargaan sosial membuat beban kerja yang berat terasa tidak sebanding dengan pengakuan yang diterima.
Untuk menghapus stigma tersebut, sejumlah langkah strategis perlu dilakukan secara berkelanjutan. Edukasi publik melalui media massa dan lembaga kesehatan harus diperkuat dengan menampilkan kisah nyata perawat serta peran klinis mereka dalam pengambilan keputusan dan pelayanan pasien. Regulasi yang mendukung praktik mandiri juga penting dikembangkan agar perawat dapat menunjukkan kompetensi profesional, terutama melalui klinik keperawatan, layanan primer, dan kehadiran mereka di puskesmas maupun daerah terpencil. Selain itu, pelibatan perawat dalam penyusunan kebijakan kesehatan dan manajemen layanan sangat dibutuhkan agar perspektif mereka sebagai garda depan tidak terabaikan. Upaya meningkatkan kesejahteraan, pelatihan, dan jenjang karier yang jelas juga perlu diperkuat untuk menjaga motivasi, profesionalisme, serta retensi perawat, terutama di wilayah dengan akses layanan terbatas.
Stigma bahwa perawat hanyalah “pembantu dokter” sudah tidak relevan lagi di era modern ini. Data resmi menunjukkan bahwa Indonesia memiliki ratusan ribu perawat tetapi tantangan distribusi dan kualitas layanan harus diatasi agar kehadiran mereka benar-benar dirasakan merata.
Perawat adalah profesi mandiri, dengan keahlian, tanggung jawab, dan kontribusi luas dari rumah sakit kota besar hingga puskesmas di pelosok, dari perawatan kritis hingga edukasi kesehatan masyarakat. Menghapus stigma berarti memberikan pengakuan yang layak terhadap mereka; menghargai dedikasi; dan bersama-sama memperkuat sistem kesehatan Indonesia agar lebih adil, manusiawi, dan berkualitas.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
