Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muliadi Saleh

Menyelami Diri, Menyulam Makna: Antara Ikigai dan Grounding Spiritual

Gaya Hidup | 2025-08-01 13:24:10

Oleh Muliadi Saleh

Tulisan saya tentang Grounding Spiritual mendapat tanggapan menarik dari seorang pembaca setia tulisan-tulisan yang saya kirim di media sosial.

Adalah A. Muh. Hatta Tadjang—seorang pencari dan penempuh makna yang diam-diam menghayati kata demi kata tulisan saya.

Tanggapannya bukan hanya menyentuh, tapi menyempurnakan apa yang menjadi concern saya dalam tulisan itu.

Lahirlah tulisan reflektif ini—sebuah benang-benang renungan yang dijalin ulang yang telatif lebih dalam dan lebih teduh.

Ada yang memesona dalam prinsip hidup orang Jepang yang disebut Ikigai.

Sebuah filosofi timur yang merayakan keseimbangan, bukan tentang gelar, gaji, atau prestise, melainkan tentang menemukan alasan untuk bangun pagi dengan damai dan penuh makna.

Ikigai menuntun kita menyelami empat poros utama hidup:apa yang kita cintai,

apa yang kita kuasai,apa yang dibutuhkan dunia, dan apa yang bisa memberi penghidupan.

Ia mengajarkan bahwa ketika cinta, keahlian, kebutuhan dunia, dan penghargaan bersatu dalam harmoni,maka hidup menjadi ladang yang subur—tempat hati bekerja bukan sekadar demi upah, melainkan demi makna.

Namun, sebagaimana yang saya sampaikan dan dikukuhkan oleh Hatta Tadjang, ada yang lebih sunyi dari Ikigai, lebih dalam dari rutinitas bermakna.

Ia bernama Grounding Spiritual.

Grounding Spiritual adalah filsafat jiwa, yang menembus waktu dan keberadaan:

dari mana kita datang, di mana kita kini berdiri, dan ke mana kita akan kembali.

Ia bukan sekadar prinsip, tapi ziarah batin.

Bukan hanya tentang menyentuh tanah, tapi menyentuh hakikat keberadaan. Ia mengajak kita menengok masa lalu sebagai akar, menghidupi masa kini sebagai batang, dan memaknai masa depan sebagai buah yang kelak dipersembahkan pada Tuhan.

Grounding Spiritual menyapa kita yang sering hilang dalam kesibukan.

Ia memanggil dari dalam diri: agar kita kembali hadir, tidak sekadar hidup—tetapi menghidupi hidup.

Di saat Ikigai bertanya apa yang kita lakukan untuk dunia,

Grounding Spiritual bertanya apa yang telah kita lakukan untuk jiwa kita sendiri.

Dalam prinsip Ikigai, kita temukan lentera di tengah keramaian. Tapi dalam Grounding Spiritual, kita temukan cahaya dalam kesunyian.

Yang satu menata langkah, yang lain menata arah.

Maka, di antara ambisi, tuntutan, dan pencapaian, mari kita sisihkan waktu untuk duduk sejenak, menyentuh tanah dengan kesadaran, membiarkan hati menyerap cahaya langit, dan bertanya dengan jujur:

"Sudahkah aku pulang ke dalam diriku sendiri?"

Tulisan ini lahir dari dialog diam-diam dengan semesta. Tentang bagaimana hidup bukan sekadar bergerak maju, tetapi juga tentang sesekali berhenti—untuk menyapa diri, mengingat asal, dan menata kembali arah pulang.

— Terima kasih, kanda A. Muh. Hatta Tadjang, atas percikan cahaya dan renungan sungguh dalam..

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image