Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image June Cahyaningtyas

Kegiatan Meramban untuk Literasi Ketahanan Pangan

Edukasi | 2025-07-29 16:16:32

Masalah ketahanan pangan di Indonesia menjadi isu yang cukup pelik karena besarnya jumlah populasi berbanding terbalik dengan jumlah lahan pangan yang tersedia. Meskipun terdapat tren penurunan angka kelahiran hidup setiap tahunnya, namun tren ini tidak lebih besar dibandingkan laju pengurangan lahan produktif akibat alih guna lahan untuk konstruksi pemukiman maupun proyek-proyek pembangunan.

Secara konseptual, ketahanan pangan adalah kondisi di mana setiap orang memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bernutrisi untuk memenuhi kebutuhan gizi dan mencapai kehidupan yang aktif dan sehat. Dalam banyak literatur, konsep ketahanan pangan sendiri sering dikaitkan, sekaligus dibedakan dengan, keamanan pangan. Jika ketahanan pangan fokus pada kecukupan sumber pangan dari segi kualitas maupun kuantitas, keamanan pangan lebih merujuk pada jaminan bahwa pangan yang dikonsumsi tidak mengandung bahaya yang dapat membahayakan kesehatan manusia.

Jika ketahanan pangan membahas resiko kelaparan dan gizi buruk yang mungkin terjadi akibat ketidakcukupan sumber pangan dalam skala makro maupun mikro, keamanan pangan melihat resiko keracunan ataupun penyakit yang timbul akibat konsumsi pangan tertentu pada skala mikro hingga meso. Sekalipun tampak berbeda, indikator utama yang biasa digunakan sebagai standar ketercapaian keamanan pangan, seperti faktor higinitas, sanitasi, bebas dari cemaran (bahan kimia, mikroba, logam berat, ataupun zat berbahaya lainnya), serta pengolahan dan penyimpanan yang aman juga tidak bisa dilepaskan dari upaya mencapai ketahanan pangan itu sendiri.

Dalam sudut pandang modern, upaya mencapai ketahanan pangan membutuhkan 4 kondisi, yakni ketersediaan pangan (terkait produksi dan distribusi sumber pangan sehat yang merata), akses terhadap pangan (terkait kemampuan daya beli masyarakat, dan distribusinya dalam jumlah cukup), pemanfaatan pangan (terkait kecukupan gizi, standar sanitasi, dan kesehatan), dan stabilitas ekonomi politik yang mendukung ketiga kondisi sebelumnya.

Sudut pandang ini, bagaimana pun, seringkali mereduksi apa yang dapat dilakukan dalam acuan yang kaku dan menjerat. Dalam praktiknya, ketersediaan, akses, dan pemanfaatan pangan serta stabilitas ekonomi politik selama ini telah diterjemahkan semata-mata sebagai kecukupan volume beras untuk memenuhi kebutuhan pokok seluruh penduduk Indonesia dengan mengabaikan keragaman sumber pangan lokal ataupun kemampuan masyarakat untuk membeli sumber pangan yang tersedia tanpa mengindahkan kelayakan gizi dan kecukupan nutrisinya.

Sudut pandang modern dalam isu ketahanan pangan ditopang di atas pendekatan pasar sehingga kondisi ketersediaan, akses, dan pemanfaatan pangan yang mendukung gagasan itu seluruhnya dibangun di atas asumsi ekonomi yang bersifat transaksional, dan didukung oleh stabilitas ekonomi politik negara. Hal ini telah mengerdilkan kemampuan manusia untuk melihat sumber pangan sehat di luar apa yang disediakan pasar dalam konteks transaksi jual beli. Sebagai akibatnya, sumber pangan yang beragam menjadi tereduksi menjadi sekadar apa yang diperjualbelikan.

Baik di rumah maupun di sekolah, anak-anak belajar bahwa sumber makanan pokok di Indonesia adalah beras, sedangkan sumber serat diperolah dari sayur-mayur ataupun buah-buahan, termasuk bayam, wortel, kangkung, sawi-sawian, kol, buncis, kacang panjang, mentimun, tomat, pepaya, dan pisang. Padahal, di samping nasi, ada banyak ragam variasi pangan pokok lokal, termasuk talas, gembili, gadung, ubi gantung, kimpul, dan kemumu. Begitu pun dengan sayur-mayur yang menjadi sumber serat dan mineral, yang jumlah dan ragamnya lebih banyak dibandingkan apa yang bisa ditemui di pasar, termasuk sumber pangan dari tanaman liar yang dapat ditemukan dengan cara meramban.

Meramban (foraging) adalah aktivitas mencari dan mengumpulkan makanan dari alam. Berbeda dengan sumber pangan di pasar, yang sebagian besar dikembangkan melalui proses budidaya, sumber pangan dari kegiatan meramban diperoleh langsung dari alam. Masyarakat adat (indigenous people) telah menerapkan kegiatan meramban sebagai salah satu cara untuk mendapatkan sumber pangan yang murah, mudah, dan sehat. Murah karena tidak perlu membeli untuk mendapatkannya. Mudah karena cukup mengambil apa yang tersedia di lingkungan sekitar.

Sehat karena dari kegiatan ini manusia bisa mendapatkan buah-buahan, umbi-umbian, daun, ataupun biji yang proses pertumbuhannya tidak melibatkan penggunaan bahan kimia dalam bentuk pupuk atau penghalau hama pabrikan. Dengan besarnya manfaat yang diperoleh, keterampilan meramban penting untuk diajarkan sebagai bagian dari literasi ketahanan pangan.

Meramban bisa dilakukan dalam pembelajaran di kelas maupun di luar kelas. Sekolah dan rumah adalah tempat terbaik untuk memulai kembali kesadaran mengenai ketahanan pangan yang ramah lingkungan. Tidak seperti pendekatan makro ekonomi dalam kebijakan pembukaan areal perkebunan monokultur yang modern untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, yang justru dilakukan dengan merusak habitat dan mengganggu keseimbangan alam, meramban justru dikedepankan dengan pendekatan pendidikan lingkungan yang mampu membangun kedekatan dengan lingkungan sekitar. Alih-alih bergantung pada mekanisme pasar untuk ketahanan pangan, meramban mengajari kita untuk mengapresiasi apa yang telah disediakan Tuhan di alam.

ilustrasi meramban

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image