Di Balik Tarif Impor AS: Siapa Untung, Siapa Terkorbankan?
Bisnis | 2025-07-17 20:09:15Dalam situasi ekonomi global yang penuh ketidakpastian dan dinamika politik yang cepat, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan bahwa Indonesia dan Amerika Serikat telah menyepakati penurunan tarif resiprokal dari 32% menjadi 19%, setelah melalui proses negosiasi yang cukup alot. Namun, sejumlah ekonom menilai bahwa kesepakatan ini belum sepenuhnya menguntungkan bagi Indonesia.
Presiden Prabowo menjelaskan bahwa keputusan ini merupakan hasil dari perundingan intensif dengan Presiden AS Donald Trump. “Beliau adalah seorang negosiator yang cukup keras. Namun akhirnya, kita mencapai kesepahaman: mereka memahami kepentingan kita, dan kita juga memahami kepentingan mereka,” ujar Prabowo dalam konferensi pers usai kunjungan ke beberapa negara, Rabu (16/07).
Namun, di balik angka “penurunan tarif”, banyak pihak mempertanyakan siapa sebenarnya yang diuntungkan dari kesepakatan ini. Presiden Trump secara terang menyatakan bahwa produk AS tidak akan dikenai tarif saat masuk Indonesia, atau tarifnya 0%. Sementara produk Indonesia tetap dikenai bea masuk sebesar 19% ke pasar AS. Salah satu syarat yang diminta pihak AS adalah komitmen Indonesia untuk membeli pesawat Boeing guna memperkuat armada Garuda Indonesia. Prabowo menyebut langkah ini penting demi pengembangan maskapai nasional tersebut.
Sementara itu, Presiden Trump menyatakan bahwa sebagai bagian dari kesepakatan ini, barang-barang asal AS tidak akan dikenakan tarif masuk di Indonesia atau akan dikenakan tarif nol persen. "Mereka (Indonesia) akan membayar 19%, dan kami (AS) tidak akan membayar apa pun," kata Trump, seperti dikutip oleh kantor berita Reuters pada hari yang sama. Trump juga mengisyaratkan bahwa surat keputusan tarif untuk sejumlah negara lain akan segera diterbitkan, mencakup berbagai komoditas seperti gandum, kedelai, dan minyak serta gas, yang sebagian besar masih menjadi kebutuhan impor Indonesia.
Instrumen Kapitalisme, Indonesia Tetap Merugi
Tarif resiprokal atau tarif timbal balik adalah pembatasan perdagangan yang diberlakukan satu negara terhadap negara lain sebagai respons terhadap tindakan serupa yang sudah dilakukan oleh negara yang dihadapi. Tujuannya adalah untuk menciptakan keseimbangan dalam perdagangan antarnegara.
Kebijakan perang dagang dengan alasan menciptakan perdagangan yang adil (fair trade) pada dasarnya merupakan langkah yang wajar dan sah bagi negara berdaulat. Tujuannya untuk melindungi kepentingan ekonomi domestik dan memperbaiki posisi dalam hubungan dagang bilateral. Justru akan menjadi kejanggalan apabila suatu negara membiarkan produk-produknya diperlakukan tidak adil di pasar internasional tanpa merespons. Negara memiliki tanggung jawab untuk memperkuat industri dalam negeri agar mampu bersaing dengan produk asing dan memastikan lapangan kerja tetap tersedia bagi rakyatnya.
Namun demikian, kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump terhadap Indonesia justru menunjukkan sikap kontradiktif terhadap prinsip perdagangan bebas yang selama ini diagungkan dalam sistem kapitalisme global. AS sebagai pemimpin hegemoni kapitalisme dunia justru mempraktikkan proteksionisme demi mengamankan kepentingannya sendiri. Ini menunjukkan bahwa ideologi kapitalisme yang diusung AS bersifat fleksibel: bebas ketika menguntungkan, menekan ketika perlu. Negeri-negeri Muslim dan negara berkembang lainnya kerap menjadi sasaran dari pendekatan koersif semacam ini.
Kesepakatan penurunan tarif menjadi 19% yang diumumkan Presiden Prabowo Subianto usai kunjungan diplomatik ke AS, dinilai oleh sebagian kalangan bukan merupakan hasil negosiasi yang menguntungkan bagi Indonesia.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Celios, menilai kesepakatan ini mencerminkan posisi tawar Indonesia yang lemah. Ia memperingatkan bahwa pola semacam ini bisa menjadi “template” bagi negara lain untuk menekan Indonesia: minta impor lebih banyak, beri mereka keistimewaan, dan biarkan produk kita dibatasi. Ini preseden yang buruk dalam hubungan dagang internasional.
Masalah ini menunjukkan bagaimana ekonomi Indonesia, seperti banyak negara Muslim lainnya, masih sangat tergantung pada pasar negara kapitalis. Ketergantungan ini membuat kebijakan nasional mudah ditekan, bahkan diarahkan oleh kekuatan asing. Apalagi, kesepakatan ini tidak hanya mencakup tarif, tapi juga syarat-syarat tambahan seperti impor BBM, LPG, gandum, dan produk pertanian dalam jumlah besar, yang secara jangka panjang bisa membebani neraca perdagangan Indonesia.
Kapitalisme Global dan Keterpurukan Dunia Islam
Fenomena seperti ini bukan hal baru. Dunia Islam telah lama menjadi objek eksploitasi negara-negara kapitalis. Mereka tidak hanya menguasai sumber daya alam, tapi juga mengatur arah kebijakan ekonomi dan politik negeri-negeri Muslim agar tetap berada dalam cengkeraman sistem kapitalisme global.
Sejak keruntuhan Khilafah Islam pada 1924, negeri-negeri Muslim dipaksa tunduk pada sistem sekuler. Mereka dipisahkan dari ajaran Islam dalam pengelolaan negara, termasuk ekonominya. Akibatnya, kekayaan alam yang melimpah dikeruk asing, sementara rakyatnya miskin dan negaranya terjerat utang berbunga tinggi. Perang dagang seperti yang dilakukan AS hanya memperjelas posisi lemah negara-negara Muslim sebagai pihak yang selalu dikorbankan.
Padahal Allah SWT telah memperingatkan, “Allah tidak akan memberi jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman.” (QS An-Nisa: 141). Ini menegaskan bahwa umat Islam tidak boleh dikuasai dalam aspek apa pun, termasuk dalam urusan ekonomi dan perdagangan.
Islam dan Jalan Keluar dari Ketergantungan
Sistem ekonomi Islam yang akan diterapkan oleh Khilafah memiliki keunggulan yang nyata dan sangat relevan untuk menjawab krisis ekonomi dunia saat ini. Setidaknya ada dua keunggulan utama yang membuat sistem ini unggul dibanding sistem kapitalisme.
Pertama, sistem moneter Islam berbasis pada uang yang punya nilai riil, yaitu emas dan perak, dikenal sebagai dinar dan dirham. Mengapa ini penting? Karena emas dan perak memiliki nilai stabil, tidak bisa dicetak sesuka hati, sulit dimanipulasi, dan yang paling utama, penggunaannya memang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Kedua, Islam menempatkan perdagangan pada sektor riil, bukan sektor semu seperti yang mendominasi ekonomi saat ini. Praktik riba, pajak yang menindas, dan spekulasi dilarang keras. Sumber daya alam yang melimpah bukan dibiarkan dikuasai swasta atau asing, tapi dikelola negara sebagai milik publik untuk kemaslahatan umat.
Dengan dua pilar ini saja, Khilafah akan mampu berdiri mandiri secara ekonomi. Kemandirian inilah yang akan menjadikan Khilafah kuat dan tidak mudah ditekan dalam relasi dagang global, termasuk ketika menghadapi tekanan tarif dari negara-negara besar.
Dunia Islam: Potensi Menjadi Kekuatan Ekonomi Global
Jika negeri-negeri Muslim bersatu dan mengelola potensi yang dimilikinya, jumlah penduduk besar, sumber daya alam melimpah, dan posisi geografis yang strategis maka Dunia Islam bisa bangkit menjadi adidaya ekonomi global yang adil, stabil, dan membawa keberkahan.
Namun, kebangkitan ini menuntut perlawanan serius terhadap dominasi kapitalisme global. Ini bukan hanya opsi, tapi kewajiban politik bagi kaum Muslim. Melawan hegemoni ekonomi dan membangun kedaulatan adalah bagian dari perjuangan Islam yang mendesak. Ketergantungan pada negara kapitalis tidak hanya keliru secara strategi, tapi juga haram secara syar’i.
Allah SWT berjanji, “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya dan memberinya rezeki dari arah yang tak disangka-sangka.” (QS Ath-Thalaq: 2–3). Jalan keluar dari penjajahan ekonomi hanya bisa dicapai dengan kembali kepada sistem Islam yang diturunkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
