Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rosanto dwi

Daya Saing Indonesia Merosot, Tanda Alarm Reformasi Struktural

Bisnis | 2025-07-13 10:30:02

Oleh Prof. Rossanto Dwi HandoyoGuru Besar Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga

Turunnya peringkat daya saing Indonesia dari posisi 34 ke 47 dalam laporan IMD World Competitiveness Ranking 2024 bukan sekadar catatan statistik, melainkan peringatan keras atas stagnasi reformasi struktural di tanah air. Penurunan tajam 13 peringkat tersebut menjadi yang terburuk dalam satu dekade terakhir, menjadikan Indonesia kini berada di bawah negara tetangga seperti Malaysia (34), Thailand (25), dan Singapura (4).

Ilustrasi gedung di Jakarta (sumber: https://www.pinterest.com/pin/702280135622286841/)

Dalam dunia yang bergerak cepat, daya saing adalah kunci untuk menarik investasi, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan kesejahteraan jangka panjang. Namun alih-alih berlari, Indonesia tertatih oleh birokrasi yang lamban, regulasi yang tumpang tindih, serta infrastruktur yang belum merata dan kerap salah sasaran.

Efisiensi Pemerintah yang Dipertanyakan

Indikator paling menonjol dari kemerosotan ini adalah rendahnya efisiensi sektor publik. Dalam persepsi investor global, birokrasi Indonesia masih dianggap kompleks, tidak gesit, bahkan rawan korupsi. Tidak sedikit yang menyebut birokrasi kita masih terjebak dalam kultur “kalau bisa lama, mengapa harus cepat?” Sebuah ironi di tengah upaya digitalisasi dan reformasi yang semestinya membuat pelayanan publik lebih tangkas dan akuntabel.

Efektivitas penegakan hukum juga dinilai lemah. Praktik korupsi dalam proyek-proyek strategis seperti pembangunan jalan tol dan bandara masih terjadi, mencoreng kredibilitas pemerintah dalam mengelola anggaran dan menjamin tata kelola yang bersih.

Infrastruktur Masif, Namun Belum Produktif

Selama hampir satu dekade terakhir, pembangunan infrastruktur dilakukan besar-besaran. Namun nyatanya, lonjakan infrastruktur tidak otomatis menaikkan daya saing. Banyak proyek yang tidak tepat guna, seperti bandara yang sepi penumpang atau jalan tol yang utilitasnya rendah. Bahkan, proyek strategis seperti Bandara Kertajati dan beberapa ruas tol menunjukkan bahwa pembangunan tidak selalu berarti kemajuan jika perencanaan dan pengawasan lemah.

Data dari IMD menunjukkan indeks kualitas infrastruktur Indonesia turun dari peringkat 28 ke 34. Hal ini memperkuat dugaan bahwa infrastruktur kita belum berhasil menopang pertumbuhan ekonomi secara efektif. Apalagi masih banyak tantangan dalam distribusi energi, infrastruktur gas, hingga ketergantungan pada energi fosil yang berisiko secara lingkungan.

Rendahnya Inovasi dan Kualitas SDM

Daya saing tak bisa dilepaskan dari kemampuan menciptakan nilai tambah melalui inovasi dan teknologi. Sayangnya, belanja riset dan pengembangan (R&D) Indonesia masih di bawah 0,5% terhadap PDB. Negara kita juga tertinggal dalam jumlah paten dan publikasi ilmiah yang bisa mendongkrak posisi di rantai nilai global.

Lebih jauh, daya saing sumber daya manusia Indonesia masih lemah. Dunia usaha menyoroti mismatch antara lulusan pendidikan dengan kebutuhan pasar. Pendidikan formal belum banyak menghasilkan lulusan yang siap kerja, sedangkan sektor industri masih didominasi tenaga kerja tidak terampil (unskilled labor). Akibatnya, ekspor Indonesia masih bertumpu pada komoditas mentah dan sektor padat karya berbiaya murah, bukan produk berteknologi tinggi.

Reformasi Regulasi dan Digitalisasi: Masih Setengah Hati

Pemerintah memang telah menggalakkan reformasi regulasi, termasuk melalui kebijakan Omnibus Law dan sistem perizinan daring (Online Single Submission/OSS). Namun dalam praktiknya, efektivitas sistem ini masih jauh dari harapan. Banyak pengusaha yang mengeluhkan masih harus “bertemu langsung” dengan birokrat untuk mengurus izin, bahkan setelah sistem digitalisasi berjalan.

Kompleksitas regulasi antar-lembaga dan tumpang tindih antara pusat dan daerah membuat pelaku usaha gamang. Harmonisasi regulasi belum berjalan, dan ketika ada terobosan seperti Omnibus Law, tantangan yudisial dan resistensi dari kelompok tertentu justru membuat kebijakan ini kehilangan daya dorong.

Daya Saing dan Pertumbuhan Jangka Panjang

Dalam perspektif makroekonomi, daya saing global adalah fondasi pertumbuhan berkelanjutan. Investasi asing langsung (FDI) tak hanya membawa modal, tetapi juga teknologi, peningkatan produktivitas, dan penciptaan lapangan kerja. Namun, investor tentu akan menilai terlebih dahulu: apakah iklim bisnis Indonesia cukup ramah, apakah kepastian hukum terjamin, dan apakah kebijakan ekonomi berpihak pada efisiensi?

Tanpa perbaikan nyata dalam struktur ekonomi dan pemerintahan, kita hanya akan menjadi pasar konsumsi jangka pendek, bukan basis produksi jangka panjang. Padahal untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, kita membutuhkan pertumbuhan ekonomi tahunan di atas 6% secara konsisten—sesuatu yang sulit dicapai tanpa lonjakan daya saing.

Menata Ulang Arah Pembangunan

Penurunan daya saing ini sejatinya adalah refleksi dari masalah mendasar: belum adanya konsistensi arah pembangunan. Dari tata kelola regulasi, pendidikan, energi, hingga industri strategis, semua membutuhkan perombakan besar. Pemerintah harus lebih serius membenahi birokrasi, menegakkan regulasi yang pro-bisnis, mempercepat digitalisasi yang efektif, dan memastikan pembangunan infrastruktur berdampak langsung pada efisiensi ekonomi.

Tidak cukup hanya membangun jembatan dan jalan tol jika pendidikan dan inovasi stagnan. Tidak cukup sekadar menggenjot hilirisasi jika industri kita tidak punya ekosistem riset dan SDM berkualitas.

Indonesia kini berada di persimpangan. Apakah ingin terus terjebak dalam jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap), atau naik kelas sebagai negara maju yang produktif dan inovatif? Jawabannya terletak pada seberapa serius kita memperbaiki fondasi daya saing nasional hari ini.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image