Teriakan yang Dibungkam: Darurat Kekerasan Seksual di Kabupaten Bekasi
Kebijakan | 2025-07-08 21:54:56
Home - Media Unram" />
Kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan yang paling keji dan merusak. Ia tidak hanya melukai fisik korban, tetapi juga menghancurkan harga diri, membungkam suara mereka, dan memenjarakan jiwa dalam trauma berkepanjangan. Di Kabupaten Bekasi, fenomena kekerasan seksual telah menjelma menjadi persoalan sosial yang mendesak, namun sayangnya belum mendapatkan perhatian serius sebagaimana mestinya. Di balik pertumbuhan industri, pesatnya urbanisasi, dan gemerlap pembangunan infrastruktur, tersembunyi luka-luka mendalam yang dialami oleh perempuan dan anak-anak yang menjadi korban. Kabupaten Bekasi, dengan lebih dari 3 juta penduduknya, menjadi kawasan strategis nasional yang terus berkembang. Namun, pertumbuhan ini tidak dibarengi dengan sistem perlindungan sosial yang memadai, khususnya bagi kelompok rentan. Laporan UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Bekasi mencatat lebih dari 160 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang tahun 2023 (Radar Bekasi, 2024). Sebagian besar di antaranya adalah kekerasan seksual. Angka ini dipastikan jauh dari jumlah kasus sebenarnya karena banyak korban yang memilih diam, baik karena ketakutan, tekanan keluarga, maupun karena stigma sosial yang menghakimi korban sebagai sumber aib. Kekerasan seksual di Bekasi banyak terjadi di lingkungan yang justru dianggap aman: rumah, sekolah, bahkan tempat kerja. Dalam banyak kasus, pelaku adalah orang terdekat korban, seperti ayah kandung, paman, guru, hingga atasan kerja. Situasi ini menunjukkan bahwa relasi kuasa memainkan peran besar dalam terjadinya kekerasan, dan korban kerap tidak punya ruang aman untuk melapor. Mirisnya, ketika korban berani berbicara, respons dari aparat penegak hukum maupun keluarga sering kali mengecewakan. Alih-alih diberikan perlindungan, korban justru disalahkan atau dipaksa “damai secara kekeluargaan” demi menjaga nama baik keluarga. Padahal, Indonesia telah memiliki payung hukum yang jelas untuk menangani kekerasan seksual. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menjadi harapan baru bagi para korban. UU ini mengakui hak-hak korban atas pemulihan, bantuan hukum, dan perlindungan yang komprehensif. Namun, implementasi UU TPKS di tingkat daerah, khususnya di Kabupaten Bekasi, masih jauh panggang dari api. Hingga kini, Bekasi belum memiliki Peraturan Daerah (Perda) khusus yang mengatur penanganan kekerasan seksual. Tanpa Perda sebagai landasan operasional, berbagai instansi seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak, kepolisian, rumah sakit, dan lembaga pendamping bekerja secara terpisah dan tidak terintegrasi. Ketiadaan regulasi daerah berdampak besar terhadap lambatnya layanan bagi korban. Fasilitas seperti rumah aman (shelter), layanan psikologis, dan pendampingan hukum masih sangat terbatas. Bahkan, keberadaan UPTD PPA sendiri belum cukup memadai dalam menjangkau seluruh wilayah Bekasi yang sangat luas. Layanan konseling sering kali terbatas pada jam kerja, dan korban yang ingin mengakses bantuan harus melalui birokrasi yang berbelit. Akibatnya, banyak korban yang akhirnya mundur, memilih diam, dan mengubur trauma mereka sendirian. Permasalahan ini tidak hanya soal hukum atau kebijakan, tetapi juga budaya. Masyarakat Bekasi, seperti banyak wilayah lain di Indonesia, masih sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai patriarki yang menempatkan perempuan sebagai objek dan menyalahkan korban. Pendidikan seksual dianggap tabu, pembicaraan soal tubuh dan consent dianggap tidak sopan, dan korban sering kali dicap “mengundang” kekerasan karena cara berpakaian atau perilakunya. Dalam suasana budaya yang seperti ini, sangat sulit bagi korban untuk merasa aman dan percaya bahwa keadilan bisa berpihak pada mereka. Pemerintah Kabupaten Bekasi harus mulai menyadari bahwa kekerasan seksual adalah darurat kemanusiaan yang harus ditangani secara sistematis dan berkeadilan. Pertama, perlu segera disusun dan disahkan Perda tentang Penanganan Kekerasan Seksual sebagai turunan dari UU TPKS. Perda ini harus menjadi acuan utama bagi semua lembaga terkait untuk bekerja secara terintegrasi dan berpihak pada korban. Kedua, alokasi anggaran daerah harus menjamin keberlangsungan layanan pemulihan korban, termasuk menyediakan shelter yang aman, layanan psikologis gratis, serta pendampingan hukum yang profesional. Ketiga, edukasi masyarakat harus digencarkan. Pemerintah bekerja sama dengan sekolah, organisasi masyarakat, tokoh agama, dan media lokal untuk membongkar budaya menyalahkan korban dan menggantinya dengan empati serta dukungan terhadap penyintas. Pendidikan seksual yang komprehensif juga harus mulai diperkenalkan di sekolah-sekolah, bukan untuk mengajarkan pornografi seperti yang sering disalahpahami, melainkan untuk membekali anak-anak dengan pemahaman tentang tubuh, hak atas diri sendiri, dan bagaimana mengenali serta melaporkan kekerasan. Teriakan korban kekerasan seksual di Kabupaten Bekasi selama ini seolah dibungkam oleh sistem yang lambat, budaya yang menindas, dan pemerintah yang abai. Namun semakin lama kita membiarkan ini terjadi, semakin banyak korban yang akan jatuh dan semakin dalam trauma yang tertinggal. Sudah saatnya Kabupaten Bekasi menunjukkan bahwa pembangunan bukan hanya soal jalan, gedung, dan industri, tetapi juga soal keberpihakan pada kemanusiaan, pada perempuan, pada anak-anak, dan pada mereka yang paling rentan.
Teriakan itu masih terdengar-lemah, lirih, tetapi nyata. Jangan biarkan mereka dibungkam lagi. Sudah waktunya negara hadir secara utuh.
Daftar Referensi:
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Radar Bekasi. (2024). 160 Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Terjadi di Bekasi. Diakses dari: radarbekasi.id
Kementerian PPPA RI. (2023). Pedoman Pelaksanaan UU TPKS di Daerah.
UPTD PPA Kabupaten Bekasi. (2024). Laporan Kinerja Pelayanan Perempuan dan Anak Kabupaten Bekasi Tahun 2023.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
