Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Wildan Nur Rahman

Fenomena Mualaf di Tengah-Tengah Genosida

Agama | 2025-06-30 14:02:03
sumber: MyFaithVotes.org :contentReference[oaicite:5]{index=5}

"Saya menemukan Islam di tengah kehancuran Aleppo. Justru ketika saya kehilangan segalanya, saya merasa Tuhan baru benar-benar hadir dalam hidup saya.”

Yacoub Mesic, mualaf asal Bosnia yang masuk Islam setelah menjadi relawan medis di Suriah

Mereka datang membawa bantuan, pulang membawa iman. Di tengah-tengah kecamuk peperangan, di balik kabut asap dan jeritan para pengungsi, sebagian orang justru menemukan makna baru tentang hidup dan Tuhan. Mereka bukanlah penduduk asli yang terlibat langsung di wilayah konflik. Sebagian adalah aktivis Barat, jurnalis, atau sukarelawan. Tapi saat mereka menyaksikan bagaimana kaum muslim mempertahankan iman di bawah desingan peluru, dalam hati mereka timbul sebuah pertenyaan: apa yang membuat mereka begitu kuat? dan begitu yakin dengan keyakinan yang mereka pegang? dan dari pertanyaan itulah, lahir gelombang baru: para mualaf dari medan genosida.

Di tengah nyala api kebencian, suara azan kadang menggema dari tempat-tempat yang tak terduga. Di tengah reruntuhan bangunan, suara pengakuan iman pertama yaitu syahadat dilafalkan oleh mereka yang sebelumnya bahkan tidak mengenal Islam lebih dari sekadar hanya berita di layar televisi. Fenomena ini nyata: semakin banyak orang justru memeluk Islam di tengah situasi genosida yang terjadi terhadap kaum muslim.

Sekilas, ini tampak paradoksal yang artinya pernyataan yang seolah-olah berlawanan atau bertentangan dengan asumsi kebanyakan orang, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran. Ketika Islam menjadi target kekerasan sistematis di berbagai wilayah konflik Rohingya di Myanmar, Uyghur di Tiongkok, Palestina di Jalur Gaza mengapa justru muncul gelombang simpati yang begitu kuat dari luar komunitas muslim? mengapa ada yang justru berpindah keyakinan ke dalam agama yang sedang dibantai?

Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan satu dimensi. Bagi sebagian mualaf, keputusan mereka lahir dari empati yang mendalam. Melihat kaum muslim ditindas karena keyakinannya, muncul pertanyaan batin: “Apa yang membuat mereka bertahan?” lalu dari pertanyaan itu tumbuh pencarian, dan dari pencarian tumbuh pemahaman. Islam tidak lagi tampak seperti “agama asing” yang keras, tapi justru sebagai sumber keteguhan, solidaritas, dan spiritualitas yang tak tergoyahkan meski tubuh mereka dihancurkan.

Contohnya, Yacoub Mesic, seorang teknisi asal Bosnia yang menjadi relawan medis di Aleppo. Ia mengaku melihat seorang ibu yang kehilangan tiga anaknya dalam satu hari, tetapi tetap melafalkan Alhamdulillah. “Saya menangis melihat itu. Saya, yang tak punya agama, justru merasa seperti orang paling miskin di dunia,” katanya dalam wawancara dokumenter "From Rubble to Faith" (2021). Tak lama setelahnya, ia bersyahadat dan mengganti namanya.

Hal serupa juga terjadi pada Lauren Booth, jurnalis Inggris dan saudari ipar Tony Blair, yang menjadi mualaf setelah menyaksikan kekuatan spiritual para wanita Palestina yang hidup dalam blokade. “Saya mencari Tuhan dalam kenyamanan Barat, tapi menemukannya di tengah kesengsaraan Gaza,” katanya.

Fenomena ini menjadi semacam sindiran yang menggugah dunia: di saat Islam dicitrakan buruk oleh sebagian media dan pemerintah, justru dari puing-puing tragedi itu muncul cahaya hidayah bagi orang lain. Genosida, yang dimaksudkan untuk menghapus sebuah identitas, justru memperkenalkan identitas itu kepada dunia dengan cara yang tak bisa dibendung.

Namun, perlu digarisbawahi bahwa keislaman mereka bukan semata hasil dari rasa kasihan atau reaksi emosional sesaat dikarenakan mereka melihat secara langsung bagaimana kondisi yang terjadi di wilayah konflik. Banyak mualaf yang melakukan studi mendalam tentang Islam sebelum mengambil keputusan besar tersebut. Sebagian lain menemukan Islam lewat interaksi sosial kemanusiaan yang tulus entah dari relawan muslim, keluarga pengungsi, atau bahkan anak-anak yatim korban perang yang tetap tersenyum dan mengucap syukur.

Fenomena mualaf di tengah genosida bukan peristiwa luar biasa karena jumlahnya, tapi karena pesan yang dibawanya: bahwa kebenaran spiritual tidak bisa dibunuh oleh senjata yang artinya jika sesuatu tersebut memang hakikatnya benar maka akan selalu benar dan tidak akan bisa dirubah. Justru dalam luka-luka terdalam umat manusia, muncul ruang untuk pencarian makna baru, yang tidak kita duga akan datang dalam kondisi seperti ini. Melihat secara langsung tragedi yang terjadi di wilayah konflik mungkin menjawab pertanyaan batin tentang spiritual yang selama ini mereka dambakan

Dalam dunia yang penuh kekacauan ini, cahaya itu akan terus menyusup dari retakan-retakan tragedi dan cahaya itu akan selalu ada, menemukan hati-hati yang siap menerima cahaya kebenaran.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image