Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sarah Rachel Tobing

Meretas Ketimpangan Papua dan Jawa Barat dalam Kerangka SDGs

Eduaksi | 2025-06-12 08:53:11

Ketimpangan sosial dan ekonomi adalah wajah buram dari pertumbuhan yang tidak inklusif. Di tengah geliat pembangunan dan jargon Indonesia Emas 2045, kita masih menyaksikan kesenjangan mencolok antarwilayah—salah satunya antara Papua dan Jawa Barat. Jika Jawa Barat identik dengan pusat pertumbuhan industri dan urbanisasi, Papua justru masih bergelut dengan ketimpangan struktural dan keterisolasian akses dasar.

Padahal, amanah konstitusi Pasal 33 UUD 1945 telah menegaskan bahwa kekayaan Indonesia harus dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di sinilah pentingnya kita menilik dan menilai ulang capaian dan arah kebijakan pembangunan melalui kacamata Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya indikator 10.1.1 dan 10.3.1 yang menyoal distribusi pendapatan serta pengurangan diskriminasi dan ketimpangan struktural.

Sumber: Ilustrasi OpenAi

Fakta Lapangan: Dua Kutub Berbeda

Berdasarkan data Sensus Penduduk 2020, jumlah penduduk Papua hanya sekitar 4,3 juta jiwa. Bandingkan dengan Jawa Barat yang menjadi provinsi terpadat di Indonesia dengan lebih dari 48 juta jiwa. Ketimpangan jumlah penduduk ini menciptakan tantangan tersendiri, baik dari sisi pelayanan publik maupun alokasi anggaran.

Lebih mencolok lagi, tingkat kemiskinan di Papua pada 2020 tercatat sebesar 26,8 persen. Artinya, lebih dari seperempat penduduk Papua hidup dalam kondisi miskin. Sebaliknya, Jawa Barat mencatat angka kemiskinan sebesar 8,4 persen, sekalipun diiringi masalah urbanisasi berlebih dan kantong-kantong kemiskinan baru di wilayah perkotaan.

Dalam hal Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Papua juga tertinggal. Walaupun memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, struktur ekonomi Papua masih sangat tergantung pada sektor pertambangan yang padat modal, namun minim serapan tenaga kerja. Sementara itu, PDRB Jawa Barat mencerminkan ekonomi yang lebih majemuk—industri, perdagangan, jasa, dan teknologi.

Anehnya, meski secara ekonomi lebih maju, Jawa Barat justru mencatat tingkat pengangguran terbuka tertinggi secara nasional pada 2024. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi belum otomatis menciptakan pemerataan kesempatan kerja yang inklusif dan layak. Maka jelaslah bahwa ketimpangan bukan hanya perkara geografis, tapi juga struktural.

Sumber: Goodstats.Id

SDG 10.1.1 dan 10.3.1: Menakar Keadilan Pembangunan

Indikator SDG 10.1.1 bertujuan meningkatkan pertumbuhan pendapatan 40 persen penduduk termiskin, sebuah ukuran untuk melihat sejauh mana kebijakan pro-rakyat telah berjalan. Di Papua, kelompok ini tidak hanya termiskin dalam arti ekonomi, tetapi juga secara sosial dan budaya. Akses terhadap pendidikan bermutu, layanan kesehatan yang adil, hingga infrastruktur dasar masih tertinggal jauh.

Sementara SDG 10.3.1 menyoroti pengurangan ketimpangan berdasarkan diskriminasi, baik yang bersifat hukum, sosial, maupun ekonomi. Masyarakat adat Papua selama ini mengalami perlakuan yang kerap tidak setara, baik dalam hal perlindungan tanah ulayat, akses pelayanan publik, hingga representasi politik.

Di Jawa Barat, ketimpangan juga terjadi secara vertikal dan horizontal. Wilayah seperti Bandung, Bekasi, dan Bogor melesat dalam pembangunan, namun banyak daerah pinggiran seperti Garut Selatan, Cianjur, atau Pangandaran masih tertinggal. Di sinilah letak tantangan SDG: bukan hanya menurunkan angka statistik, tapi mengubah cara negara hadir secara adil dan merata.

Perspektif Global Justice dan Human Security

Dalam kerangka teori Global Justice, ketimpangan bukan sekadar ketidaksamaan hasil, melainkan juga ketimpangan dalam akses dan kesempatan. Artinya, perbedaan antara Papua dan Jawa Barat tidak bisa dijustifikasi hanya dengan logika "beda potensi", tetapi harus dilihat sebagai kegagalan sistemik dalam distribusi keadilan sosial.

Lebih lanjut, pendekatan Human Security atau keamanan manusia menekankan pentingnya negara untuk menjamin rasa aman, bebas dari kelaparan, kemiskinan, kekerasan, dan diskriminasi. Papua adalah contoh nyata di mana pembangunan belum menjamin rasa aman yang holistik: aman ekonomi, aman sosial, maupun aman identitas. Di Jawa Barat pun, sebagian besar tenaga kerja muda masih terjebak dalam pekerjaan informal dan rentan eksploitasi.

Sebagai bangsa yang berkeadaban, kita tidak bisa menutup mata atas kenyataan ini. Keadilan bukan hanya soal angka pertumbuhan, melainkan menyangkut martabat manusia.

Langkah Ke Depan: Rekomendasi Kebijakan

Mengatasi ketimpangan Papua–Jawa Barat bukan pekerjaan sehari dua hari. Diperlukan pendekatan multidimensional dan berbasis keadilan sosial. Beberapa langkah berikut dapat menjadi prioritas:

  1. Penajaman Dana Otonomi Khusus Papua (Otsus). Dana Otsus seharusnya diarahkan secara tepat sasaran, dengan fokus pada outcome seperti pendidikan, kesehatan, dan penguatan ekonomi lokal berbasis komunitas adat. Transparansi dan akuntabilitas mutlak diperlukan.
  2. Revitalisasi Ekonomi Lokal di Jawa Barat. Pemerintah daerah perlu memadukan kebijakan industri dengan penyediaan lapangan kerja layak melalui pendidikan vokasi yang terintegrasi dengan dunia usaha. Industri tidak boleh hanya menjadi menara gading, tetapi ladang bagi kesejahteraan warga.
  3. Penguatan Peran Pemerintah Daerah dan Komunitas Lokal. Dalam semangat otonomi, daerah harus diberi kewenangan lebih luas untuk menentukan prioritas pembangunan. Partisipasi warga lokal dalam perencanaan menjadi kunci untuk mencegah pembangunan yang top-down dan elitis.
  4. Perlindungan Hak Masyarakat Adat. Pemerintah harus menjamin perlindungan hukum atas tanah ulayat, tradisi lokal, serta ruang politik bagi masyarakat Papua agar tidak lagi menjadi korban marginalisasi dalam pembangunan.
  5. Monitoring dan Evaluasi SDGs yang Inklusif. Pengumpulan data harus bersifat desentralistik dan sensitif terhadap konteks lokal. Dengan demikian, capaian SDGs tidak menjadi formalitas, tetapi cermin sejati dari kesejahteraan rakyat.

Penutup: Menuju Indonesia yang Adil dan Inklusif

Ketimpangan adalah luka sosial yang tak bisa diobati hanya dengan angka-angka statistik. Ia menuntut empati, keberpihakan, dan keberanian untuk berubah. Baik Papua maupun Jawa Barat, keduanya adalah bagian dari rumah besar Indonesia yang harus dibangun secara adil dan merata.

Jika pembangunan hanya dinikmati oleh segelintir wilayah dan golongan, maka Indonesia hanya akan menjadi negara besar secara ukuran, tapi rapuh secara struktur. Namun jika setiap jengkal negeri ini mendapat hak yang sama untuk maju dan bermartabat, maka kita benar-benar menuju Indonesia yang berdaulat, adil, dan sejahtera

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image