Paradoks Haji: Ketika Umat Bersatu di Tanah Suci, Namun Terpecah di Dunia Nyata
Agama | 2025-06-09 13:18:34
Jutaan Muslim dari beragam latar belakang bangsa, ras, dan bahasa bersatu di Tanah Suci selama musim haji, menciptakan demonstrasi persatuan yang luar biasa. Ikatan mereka tidak berlandaskan kesamaan budaya atau etnis, melainkan pada akidah Islam yang mampu menghapus segala perbedaan duniawi. Bayangkan, jika umat Islam yang berjumlah hampir 2 miliar ini mampu bersatu, bukan terpecah oleh sekat nasionalisme dan golongan, mereka akan menjelma menjadi kekuatan global yang tak tertandingi.
Ibadah haji bukan hanya bukan hanya sekedar ibadah ritual tahunan yang dilaksanakan oleh umat islam. Ibadah haji merupakan momentum agung untuk menyatukan umat dalam satu tujuan yaitu ketaatan kepada Allah. Namun semangat persatuan yang dibawa akan dalam ibadah haji akan pudar setelah mereka Kembali ke negeri masing-masing.
Terbukti pelaksanaan sholat idul adha yang seharusnya menjadikan patokan adalah wukuf di arofah tanggal 5 Juni 2025 dan sudah seharusnya umat islam seluruh dunia melaksanakan sholat idul adha tanggal 6 Juni 2025. justru menjadi sorotan tajam terkait efektivitas MABIMS. Digagas pada 1988 sebagai konduktor persatuan umat di Asia Tenggara, MABIMS (forum Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) bertekad menyelaraskan irama penetapan awal bulan Hijriah, khususnya Idulfitri dan Iduladha. Namun, "simfoni" ini terganggu pada Iduladha 1446 H/2025; Indonesia pada 6 Juni sementara Malaysia pada 7 Juni. Perbedaan mencolok ini, meskipun Idulfitri 1446 H serentak pada 31 Maret 2025, secara gamblang mempertanyakan: Apakah MABIMS hanya seremonial tanpa daya pemersatu, ataukah memang rapuh dalam menghadapi dinamika regional?
Perbedaan tanggal Iduladha ini bukan kejadian baru, melainkan pola berulang (misal pada 2022 dan 2023) yang menunjukkan betapa sulitnya MABIMS menjembatani pendekatan rukyat lokal yang konservatif seperti Malaysia dengan fleksibilitas Indonesia yang terkadang menyelaraskan dengan wukuf global dan hisab (seperti Muhammadiyah). Kondisi geografis yang luas di Indonesia dan dinamika otoritas keagamaan lokal turut memperumit keseragaman. Fenomena ini bukan sekadar ketidaksesuaian kalender, melainkan alarm bagi MABIMS yang terancam kehilangan relevansinya sebagai fasad diplomatik, mengganggu solidaritas regional dan mempersulit koordinasi. Tanpa reformasi radikal, harmonisasi kriteria yang ketat, berbagi data real-time, serta keselarasan rukyat global, MABIMS berisiko tetap menjadi ilusi persatuan, membiarkan umat di Asia Tenggara terus terfragmentasi dalam kalender.
Persatuan umat saat Iduladha seringkali hanya ilusi sesaat; begitu perayaan usai, umat kembali terpecah, bahkan saling bermusuhan, seolah melupakan jerit penderitaan saudara seiman di berbagai belahan dunia. Hal ini terjadi karena adanya batas-batas nasionalisme dan negara-bangsa ( Nasion-state) yang mengakibatkan persatuan hakiki umat seluruh dunia seolah jauh panggang dari api.
Padahal ibadah haji seharusnya menjadi titik tolak untuk membangun persatuan idiologis umat islam secara global. Persatuan idiologis umat islam itu penting untuk menghadap tantangan global saat ini seperti penjajahan bara tatas Dunia Islam dalam segala bentuknya, termasuk penduduk palestina dengan etnis Yahudi yang sudah berlangsung selama puluhan tahun hingga kini belum berakhir.
Oleh karena itu persatuan hakiki umat Islam, yang melampaui segala sekat, hanya bisa terealisasi dalam wadah politik Islam global, yaitu Khilafah, yang akan menyatukan umat menjadi satu kesatuan tubuh dan tujuan yang kokoh. Hal ini sejalan dengan spirit Iduladha, dengan esensi pengorbanannya, sejatinya menanamkan nilai ketaatan total kepada Allah. Semestinya, semangat ini menggerakkan umat untuk patuh sepenuhnya pada syariat Islam, tidak hanya dalam ibadah ritual, tetapi juga dalam setiap sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
