Surat dari Idrus: Waktu Tidak Menyembuhkan!
Curhat | 2025-05-30 06:41:26
Idrus merupakan seorang laki-laki dalam novel Kehilangan Mestika karya Hamidah yang mengisahkan tentang seorang wanita bernama Hamidah yang selalu kehilangan hal-hal yang dicintainya. Dalam novel ini merujuk pada pria yang dicintai, seorang kekasih. Salah seorang kekasih itu bernama Idrus yang meninggal karena sakit keras. Idrus kerap kali mengirimkan surat-surat kepada Hamidah dengan bahasa yang puitis. Salah satu puisi tersebut:
Aku heran, tak mengerti!
Kata orang:
Waktu itu datang dan pergi.
Datang, membawa perubahan baru.
Pergi, memusnahkan yang telah kejadian, Bagiku.
Mengapa tidak begitu?
la tak kuasa menyapu yang telah terjadi atasku.
Ia tak ada membawa jawab pertanyaanku.
Mula-mula kukirimkan melati kepada kekasihku,
Sebagai tanda kesucian hatiku.
Kususul pula dengan mawar merah, Alamat dari kebesaran cintaku.
Tetapi,
Sekaliannya, seperti terkirim kepada si mati.
Kelirukah aku, tersesatkah aku?
Ataupun ... memang tak boleh dipercayai?
Sekarang.
Itu pun kalau ia sudi menerimanya.
Apabila terbit pertanyaan di hatinya:"Apakah gerangan ibarat ini?"
Akan kubisikkan ke telinganya:
"Tanda setia daripadaku.”
Apa sih Maksudnya?
"Aku heran, tak mengerti!"
Kalimat pertama langsung disapa dengan nada kebingungan yang jujur dan tanpa basa-basi, seolah mengajak untuk menyelami perasaan Idrus yang sedang mempertanyakan makna waktu, cinta, dan ketulusan hati. Selama ini sering terdengar nasihat, waktu akan menyembuhkan segalanya. Tapi, bagi Idrus, justru waktu terasa hambar. Waktu tidak membawa perubahan, apalagi jawaban atas pertanyaan yang menggantung dalam dirinya. Alih-alih menghapus luka, waktu hanya lewat begitu saja, tanpa bekas yang berarti.
Melalui puisi yang Idrus tuliskan dalam suratnya untuk Hamidah, Idrus menceritakan usahanya menyampaikan cinta lewat dua jenis bunga: melati dan mawar merah. Melati menjadi lambang niat hati yang tulus, sementara mawar merah menyiratkan besarnya cinta yang ia rasakan. Namun, semua itu berakhir sia-sia.
“Sekaliannya, seperti terkirim kepada si mati.”
Perumpamaan ini begitu menyakitkan. Mengirim bunga cinta, tetapi rasanya seperti mengirimnya kepada orang yang sudah tak lagi hidup, yang tak mungkin membalas, apalagi menerima. Ini bisa ditafsirkan sebagai perasaan cinta yang tak dianggap, atau hubungan yang sudah berakhir tanpa penjelasan. Bagi Idrus, cinta yang ia beri terasa seperti bicara pada kehampaan.
Kegagalan menyampaikan perasaan itu membuat Idrus mulai mempertanyakan segalanya. Bukan hanya orang yang ia cintai, tetapi juga dirinya sendiri:"Kelirukah aku, tersesatkah aku? Ataupun ... memang tak boleh dipercayai?” pada titik ini, kita bisa merasakan bagaimana cinta bisa membuat seseorang kehilangan arah. Ia mulai bertanya-tanya: apakah dirinya terlalu naif? Apakah ia salah mempercayai orang? Atau... memang cinta itu sendiri yang tak bisa dipercaya? Namun, meskipun sudah kecewa, ternyata hatinya belum sepenuhnya menyerah. Ada harapan kecil yang masih tersisa.
“Apabila terbit pertanyaan di hatinya: ‘Apakah gerangan ibarat ini?’ Akan kubisikkan ke telinganya: ‘Tanda setia daripadaku.’”
Kalimat ini seperti menegaskan bahwa cinta sejati tak selalu butuh balasan. Ia cukup diungkapkan, bahkan jika hanya lewat bisikan yang mungkin tidak terdengar. Cinta dalam puisi ini bukan sekadar perasaan, tetapi bentuk ketulusan yang tetap tinggal, meski tak dipahami. Bukan hanya soal cinta yang tak sampai, melainkan perasaan manusia yang sering bertabrakan dengan harapan-harapan besar, entah dari cinta, waktu, atau janji yang pernah dipercayai. Ada rasa sedih, kecewa, bingung, tetapi juga ada jejak kesetiaan yang tak mudah padam. Tak ayal, siapa pun yang pernah berharap, pernah mencintai, atau pernah kecewa, pasti pernah merasakan hal yang serupa.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
