Angin sebagai Deja Vu: Memori yang Tak Pernah Pergi dalam Cerpen A.A. Navis
Sastra | 2025-05-23 17:07:02
Deja vu sering kita rasakan sebagai kilasan waktu. Sesuatu terjadi, dan kita merasa, “Sepertinya aku pernah mengalami ini.” Bukan karena benar-benar pernah terjadi, tapi karena emosinya begitu familiar. Dalam cerpen ini, tokohnya duduk menunggu angin—sambil mengingat moment-moment bahagia yang ia rasakan dulu, merasakan angin dari gunung yang sama namun dalam kondisi yang berbeda. kita terkadang mengingat sesorang dari tempat yang pernah kita datangi bersama orang tersebut, tempat-tempat yang membuat kita tertawa bersama orang tersebut, hingga pada akhirnya ketika kita tidak lagi bersama orang tersebut moment-moment membahagiakan itu berubah menjadi rasa rindu. menjadi kenangan semata, sehingga ketika kita datang lagi ketempat itu maka kenangan-kenangan itu muncul kembali.
Angin dalam cerpen menjadi semacam pengulangan emosi. Ia tidak membawa hal baru, tapi justru membangkitkan rasa lama yang dulu sempat tenggelam. Ia membangkitkan harapan yang pernah ada, luka yang belum sembuh, dan ingatan yang tak pernah benar-benar hilang. Tempat angin yang bertiup masih sama, namun kondisi mereka sudah tak sama, memunculkan kenangan-kenangan lama pada tokoh nun, sebagaimana katanya "kau ingat, Har?" "Sembilan tahun yang lalu". ini membawa mereka pada kenangan-kenangan di masalalu. Angin yang bertiup dari pegunungan menjadi saksi kisah mereka waktu itu.
Membaca cerita ini dari sudut pandang psikologis dan simbolik, kita diajak merenung: seberapa sering kita, sebagai manusia, bukan sedang menanti masa depan, tapi justru sedang terperangkap dalam bayangan masa lalu? Kita menunggu sesuatu, tapi yang kita tunggu sebenarnya adalah versi lama dari diri kita sendiri—masa ketika kita masih percaya, masih semangat, masih yakin. Dan ketika semua itu tak datang lagi, yang tertinggal hanyalah rasa hampa. Seperti deja vu.
A.A. Navis, dalam cerita ini, tidak hanya menggambarkan dunia luar yang penuh ketimpangan. Ia juga memperlihatkan dunia dalam diri manusia—dunia batin yang penuh dengan perulangan perasaan, harapan yang pernah patah, dan kenangan yang menolak pergi. Cerpen ini seperti cermin, memperlihatkan bahwa kadang yang paling menyakitkan bukanlah ketiadaan perubahan, tapi kenangan akan saat kita pernah percaya bahwa perubahan itu mungkin.
Dan di situlah letak kekuatan “angin dari gunung”: ia bukan sekadar hembusan udara, tapi hembusan waktu—yang datang bukan membawa masa depan, tapi masa lalu. Yang menyentuh bukan tubuh kita, tapi ingatan kita. Dan yang mengguncang bukan dunia, melainkan hati kita sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
