Potret Krisis Identitas: Disidentifikasi Diri dalam Cerpen Bayang-Bayang
Sastra | 2025-05-22 11:39:33Sastra bukan hanya hiburan, tetapi juga cermin yang memantulkan wajah manusia dengan segala kompleksitasnya. Melalui tokoh, konflik, dan alur cerita, sastra menyelami lapisan-lapisan terdalam kejiwaan manusia. Salah satu pendekatan yang mampu menjelaskan hubungan ini adalah psikologi sastra, sebuah cabang kajian yang menelusuri dinamika batin tokoh dan makna di balik perilaku mereka. Salah satu karya sastra Indonesia yang menarik untuk dikaji dari pendekatan ini adalah cerpen “Bayang-Bayang” karya A.A. Navis.
Sinopsis Cerpen Bayang-Bayang
Cerpen Bayang-Bayang bercerita tentang Dali, seorang tokoh masyarakat yang sangat terkenal dan selalu diikuti bayang-bayangnya. Suatu hari, Dali diundang ke istana oleh Raja. Kehidupan istana yang megah, ratu yang memesona, dan kekuasaan yang tampak luar biasa membuat Dali tergoda.
Meski semula menolak tawaran untuk menjadi pejabat kerajaan, Dali akhirnya menyerah pada godaan dan meminta untuk “menyamar” menjadi salah satu bayang-bayang Raja selama satu hari. Dengan menyamar sebagai bayang-bayang, ia bisa bebas menjelajahi istana dan mengamati sidang kabinet. Namun, saat mendengar para pejabat hanya memikirkan diri sendiri, Dali merasa menyesal.
Ia ingin kembali ke jati dirinya, tetapi semuanya sudah terlambat. Dali telah melepas dirinya sendiri dan tak bisa kembali. Ia pun menjadi bayang-bayang yang terlupakan tak lagi memiliki identitas maupun tempat.
Peta Kejiwaan Dali: Id, Ego, dan Superego (Sigmund Freud)
Sastra dapat dikupas dengan menggunakan Pendekatan Interdisipliner: Sastra dan Psikologi. Pendekatan psikoanalisis Sigmund Freud, kepribadian tokoh Dali dalam cerpen “Bayang-Bayang” karya A.A. Navis dapat dipahami sebagai struktur yang terdiri atas tiga elemen utama: id, ego, dan superego. Ketiganya saling berinteraksi dan berkonflik dalam batin Dali, membentuk dinamika kejiwaan yang kompleks dan penuh ketegangan.
Pertama, id dalam diri Dali terlihat sangat dominan pada bagian awal cerita, ketika ia diundang ke istana oleh Raja. Id merupakan dorongan naluriah bawah sadar yang berorientasi pada prinsip kesenangan. Dalam hal ini, Dali begitu terpesona oleh kemewahan istana, keglamoran pesta kerajaan, serta daya tarik seksual sang Ratu yang menggoda hasrat terdalamnya. Ia larut dalam kekaguman dan ketakjuban yang bersifat impulsif dan tidak terkontrol. Id mendorongnya untuk mengejar kepuasan sesaat, tanpa mempertimbangkan realitas dan konsekuensi moral.
Kedua, munculnya ego menandai upaya Dali untuk menyeimbangkan dorongan hasratnya dengan kenyataan hidup yang ada di depannya. Ego bekerja dengan prinsip realitas, mencoba menimbang mana yang benar-benar masuk akal dan sesuai dengan nilai-nilai dirinya. Dali sempat menyadari bahwa kehidupan istana bukanlah dunia yang sesuai untuknya. Ia bahkan berpikir untuk menolak jika ditawari jabatan, karena ia tahu bahwa sistem kekuasaan hanya membutuhkan orang-orang yang pandai bicara tanpa akal sehat. Namun, ego ini rapuh dan mudah terombang-ambing. Alih-alih teguh pada kesadaran tersebut, Dali tergoda juga untuk “menyamar” menjadi bayang-bayang Raja, hanya demi bisa menikmati kebebasan menjelajahi istana. Keputusan ini tampak sebagai kompromi, namun sesungguhnya mencerminkan krisis penalaran dalam diri Dali: ia mencoba memenuhi hasrat id-nya, dengan dalih bahwa semua itu hanya sebentar.
Ketiga, superego hadir dalam bentuk moralitas yang muncul ketika Dali menyaksikan langsung perilaku para pejabat kerajaan dalam rapat kabinet. Ia merasa geram, marah, dan kecewa karena para pejabat hanya membicarakan kepentingan pribadi, tanpa peduli terhadap penderitaan rakyat. Dalam momen ini, Dali kembali tersadar akan prinsip dan nilai-nilai kemanusiaan yang selama ini ia junjung. Ia merasa bersalah telah menjadi bagian dari sistem yang selama ini ia kritisi. Superego menampakkan diri sebagai suara hati dan rasa penyesalan yang menusuk kesadarannya.
Namun sayangnya, ego Dali gagal menjalankan fungsinya sebagai penengah antara dorongan id yang impulsif dan tekanan superego yang idealis. Ego tidak cukup kuat untuk mengarahkan Dali keluar dari kebingungan batinnya. Ia terjebak dalam tarik-menarik antara hasrat pribadi dan tuntutan moral, yang akhirnya membuatnya kehilangan pijakan jati diri. Kondisi inilah yang dalam kajian psikologi sastra disebut sebagai disidentifikasi, yaitu proses di mana seseorang gagal mengenali siapa dirinya sebenarnya, karena tidak mampu menyatukan keinginan, kenyataan, dan nilai-nilai moral yang ada dalam dirinya. Dali menjadi sosok yang kehilangan arah, terperangkap menjadi "bayang-bayang", simbol dari ketidakhadiran diri, kehampaan, dan ketiadaan identitas yang utuh.
Melalui konflik batin tokoh Dali, A.A. Navis secara halus tapi tajam menyuguhkan potret manusia modern yang mudah tersesat dalam godaan kekuasaan dan kesenangan sesaat, hingga rela melepas prinsip hidup dan integritas diri. Cerpen ini menjadi cerminan reflektif tentang betapa rapuhnya identitas seseorang ketika tidak mampu berdiri teguh dalam tekanan batin dan sistem sosial yang korup.
Cerpen “Bayang-Bayang” karya A.A. Navis memiliki sejumlah kelebihan yang membuatnya layak diapresiasi sebagai karya sastra yang kaya makna. Cerpen ini mengandalkan kekuatan simbol dan alegori, di mana unsur “bayangan” tidak hanya berfungsi sebagai elemen fisik, tetapi juga melambangkan jiwa, kekuasaan, serta eksistensi manusia. Unsur simbolik inilah yang menjadikan cerpen ini terbuka terhadap berbagai penafsiran, baik secara psikologis, filosofis, maupun sosiologis. Kekuatan lain terletak pada kemampuannya menyampaikan kritik sosial secara halus namun tajam. A.A. Navis mengkritik elite politik dan pejabat yang egois, serakah, dan melupakan rakyat, tetapi ia menyampaikannya tanpa perlu menggunakan bahasa yang kasar atau vulgar, melainkan dengan ironi dan satire. Tema besar yang diangkat dalam cerpen ini seperti krisis identitas, godaan kekuasaan, dan kehampaan moral tetap kontekstual dan relevan hingga hari ini, menjadikannya karya yang tak lekang oleh waktu. Gaya bahasa Navis yang tajam, lugas, namun penuh humor intelektual, menjadikan cerpen ini menarik untuk dibaca sekaligus direnungkan.
Namun demikian, cerpen ini juga memiliki beberapa kekurangan yang patut dicatat. Salah satunya adalah nuansa psikologis yang tidak ditampilkan secara eksplisit. Kompleksitas batin tokoh Dali lebih banyak tersirat melalui simbol dan tindakan, sehingga pembaca awam mungkin kesulitan memahami kedalaman konflik kejiwaan yang terjadi. Selain itu, penutup cerpen yang bersifat terbuka bisa memunculkan kebingungan bagi pembaca yang mengharapkan akhir yang konkret dan jelas. Penuturan yang metaforis dan sarat makna terkadang justru menjadi hambatan bagi pemahaman. Di sisi lain, cerita ini mengangkat gagasan besar mengenai eksistensi dan politik, tetapi dikemas dalam narasi yang sangat ringkas. Kepadatan makna dalam ruang yang terbatas membuat beberapa ide terasa belum berkembang secara maksimal, seolah-olah pembaca dibiarkan mengisi sendiri ruang-ruang kosong narasi tersebut. Kendati demikian, kekurangan-kekurangan ini tidak mengurangi daya tarik cerpen secara keseluruhan, melainkan justru menantang pembaca untuk menelaah lebih dalam dan reflektif.
Kesimpulan
Cerpen “Bayang-Bayang” karya A.A. Navis adalah cerita yang mengajak kita merenung tentang manusia yang mudah tergoda oleh kekuasaan dan kemewahan, sampai akhirnya lupa siapa dirinya. Tokoh utamanya, Dali, awalnya adalah sosok yang punya pendirian kuat. Tapi begitu dia masuk ke lingkungan istana yang megah, bertemu raja dan ratu, serta ditawari kedudukan, Dali mulai goyah. Ia tergoda untuk menjadi bagian dari kemewahan itu, bahkan sampai rela menjadi “bayang-bayang” Raja, sebuah simbol bahwa ia kehilangan dirinya sendiri. Lewat kisah ini, Navis ingin menyampaikan bahwa menjadi orang penting atau terkenal bukan berarti kita sedang menjadi diri kita yang sesungguhnya. Kadang, demi terlihat hebat di mata orang lain, kita justru mengorbankan nilai-nilai yang dulu kita pegang teguh.
Cerpen ini punya kekuatan karena bisa memadukan unsur psikologi, simbol-simbol yang dalam maknanya, dan sindiran sosial yang halus tapi tajam. Bayang-bayang dalam cerita bukan cuma gambaran fisik, tapi juga lambang siapa kita sebenarnya identitas kita, yang bisa hilang kalau kita terlalu mengikuti ambisi dan godaan luar. Cerpen ini juga mengingatkan bahwa kekuasaan sering kali terlihat indah dari luar, tapi bisa menjebak dan menghancurkan dari dalam. Bagi pembaca sastra, cerita ini bisa membuka wawasan tentang bagaimana seseorang bisa kehilangan arah dalam hidup. Sedangkan bagi pembaca umum, ini jadi peringatan yang bijak: tidak semua hal yang kelihatan mewah dan hebat itu benar-benar baik untuk kita kejar. Kadang, yang paling penting adalah tetap mengenali dan menjaga siapa diri kita yang sebenarnya, apa pun yang terjadi. Di zaman sekarang yang serba pamer dan ambisius, pesan seperti ini terasa sangat penting untuk diingat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
