Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Taufiq Sentana

Bulan Terang di Kota Manhattan

Sastra | 2025-03-23 01:44:36
adaptasi.ts

Gemuruh kota Manhattan tak pernah redup. Di antara gedung-gedung pencakar langit yang menjulang di sekitar Times Square, El Munir, seorang pemuda Muslim dengan sorot mata teduh, memulai perjalanannya. Dari satu pertemuan ke pertemuan lainnya. Dari satu lingkaran ke lingkaran lainnya.

Dakwahnya bukan tentang retorika lantang, melainkan tentang keteladanan dan kelembutan. Ia juga terlibat dalam isu isu ekonomi, sosial dan lingkungan hidup.

Langkah pertamanya adalah sebuah majelis kecil di apartemen sempitnya di daerah East Harlem. Ia membuka pintu bagi siapa saja yang ingin belajar tentang Islam, tanpa memandang latar belakang. Perlahan, lingkaran itu membesar.

Ada Sarah, seorang seniman yang mencari kedamaian dalam lukisannya di studio kecilnya di Greenwich Village; David, seorang profesor yang haus akan kebijaksanaan dari Columbia University; dan Maria, seorang ibu tunggal yang mencari kekuatan dalam imannya di tengah hiruk pikuk Lower East Side.

Tantangan tak terelakkan. Pandangan sinis dari pejalan kaki di 5th Avenue, prasangka dari rekan kerja di kantor-kantor Wall Street, dan bahkan ancaman sesekali melalui coretan grafiti di dinding-dinding Bronx menghampiri.

Namun, El Munir selalu menjawabnya dengan senyuman dan kata-kata yang menenangkan. Ia percaya bahwa cinta dan pengertian adalah senjata terampuh dalam dakwah.

Suatu malam, di tengah musim dingin yang menusuk, terjadi sebuah insiden. Sebuah bom meledak di dekat masjid kecil di 125th Street yang sering mereka kunjungi. Ketakutan dan amarah menyelimuti komunitas. Namun, El Munir berdiri di depan mereka, menyerukan ketenangan dan persatuan.

"Kita tidak boleh membiarkan kebencian menang," katanya dengan suara bergetar, di tengah kerumunan yang berkumpul di Central Park. "Islam adalah agama damai, dan kita akan membuktikannya dengan tindakan kita."

Kata-katanya menenangkan hati yang bergejolak. Mereka bersama-sama membersihkan puing-puing, membantu korban di rumah sakit Mount Sinai, dan menyelenggarakan acara doa bersama di Union Square. Tindakan mereka menyentuh hati banyak orang, bahkan mereka yang sebelumnya memandang sinis.

Malam itu, bulan purnama bersinar terang di atas kota Manhattan. Cahayanya menerangi jalan-jalan Broadway, menembus jendela-jendela apartemen di Upper West Side, dan menyentuh hati setiap orang yang hadir. Di tengah tekanan sosiologis yang berat, komunitas Muslim di Manhattan telah menunjukkan kekuatan sejati Islam: cinta, kedamaian, dan persatuan.

El Munir berdiri di balkon apartemennya, menatap langit malam di atas East River. Ia tersenyum, merasakan kehangatan iman di dadanya. Perjalanannya masih panjang, tetapi ia tahu bahwa cahaya bulan akan selalu menuntunnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image