Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Karunia Kalifah Wijaya

Tamansiswa, Warisan Luhur yang Kian Rapuh dalam Arus Zaman

Kolom | 2025-03-15 20:51:09

Tamansiswa pernah menjadi ikon perlawanan intelektual, simbol pendidikan berbasis kebudayaan yang berakar pada jati diri bangsa. Didirikan oleh Ki Hajar Dewantara sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme, lembaga ini bukan sekadar institusi pendidikan, tetapi sebuah gerakan pemerdekaan dalam ranah intelektual. Namun, di tengah derasnya perubahan zaman, Tamansiswa tampaknya kehilangan tajinya. Dari pelopor pendidikan alternatif yang revolusioner, kini ia terkesan sebagai institusi yang stagnan, terlilit oleh romantisme masa lalu dan kerapuhan sistem yang tidak lagi adaptif.

Di satu sisi, Tamansiswa memiliki warisan yang tak ternilai, filosofi pendidikan berbasis kebangsaan yang menempatkan manusia sebagai subjek pembelajaran. Namun, di sisi lain, organisasi ini terlihat semakin tertinggal dalam dinamika zaman. Apakah Tamansiswa masih relevan dalam peta pendidikan nasional yang kian pragmatis dan kompetitif? Ataukah ia hanya tinggal artefak tua, lambang kejayaan masa lalu yang perlahan terlupakan?

Antara Kesetiaan pada Warisan dan Resistensi terhadap Inovasi

Tamansiswa tampak berada dalam paradoks, mengagungkan nilai-nilai lama tetapi enggan untuk mengadaptasinya ke dalam konteks modern. Semangat pendidikan yang berbasis kemandirian, nasionalisme, dan kebudayaan yang dahulu menjadi pembeda kini justru menjelma menjadi beban. Struktur organisasi yang kaku dan kepemimpinan yang didominasi golongan tua semakin memperparah situasi.

Di era digital dengan lanskap pendidikan yang berkembang pesat, sistem pendidikan harus lebih fleksibel dan berorientasi pada kebutuhan zaman. Namun, Tamansiswa masih terperangkap dalam sistem yang terkesan elitis dan eksklusif. Alih-alih menjadi ruang inovasi bagi generasi muda, organisasi ini justru terkesan menutup diri dari perubahan. Tamansiswa, yang seharusnya menjadi wadah bagi gagasan-gagasan baru, malah menjadi menara gading yang perlahan kehilangan relevansinya.

Mandeknya Regenerasi, Mengapa Generasi Muda Enggan Bergabung?

Salah satu gejala paling mencolok dari kemunduran Tamansiswa adalah minimnya regenerasi kepemimpinan. Organisasi ini gagal menarik generasi muda yang memiliki semangat progresif dan inovatif. Pola kaderisasi yang kabur dan eksklusivitas organisasi membuat Tamansiswa semakin terisolasi dari dinamika zaman.

Regenerasi bukan sekadar pergantian kepemimpinan, tetapi juga tentang keberlanjutan nilai dan adaptasi strategi. Namun, di Tamansiswa, pergantian kepemimpinan sering kali hanya bersifat seremonial, tanpa ada perubahan signifikan dalam orientasi dan cara kerja. Struktur yang didominasi oleh pemimpin-pemimpin lama dengan pola pikir konservatif membuat organisasi ini kehilangan daya tarik bagi kader muda. Akibatnya, banyak generasi muda potensial yang lebih memilih berkarya di luar Tamansiswa daripada masuk ke dalam sistem yang tidak memberikan ruang bagi mereka untuk berkembang.

Jika Tamansiswa ingin kembali relevan, ia harus mampu mendobrak tradisi yang menghambat regenerasi. Organisasi ini harus berani membuka diri terhadap gagasan baru, memberikan ruang bagi anak muda untuk berkontribusi, serta menyesuaikan pola kaderisasi dengan kebutuhan zaman. Tanpa itu, Tamansiswa hanya akan menjadi sejarah yang diperingati, bukan lembaga yang memberi dampak nyata bagi pendidikan Indonesia.

Tamansiswa dan Realitas Sosial: Masihkah Berpihak pada Rakyat?

Tamansiswa lahir dengan semangat pendidikan yang membebaskan, memberikan akses kepada mereka yang terpinggirkan dari sistem pendidikan kolonial. Namun, kini, apakah Tamansiswa masih menjalankan peran ini?

Di tengah semakin mahalnya biaya pendidikan dan semakin komersialnya sistem pembelajaran, seharusnya Tamansiswa hadir sebagai alternatif pendidikan berbasis nilai-nilai lokal yang berorientasi pada kemanusiaan. Namun, realitas menunjukkan sebaliknya. Tamansiswa tampak semakin menjauh dari masyarakat, lebih sibuk dengan urusan internal daripada menjadi agen perubahan sosial yang nyata.

Jika Tamansiswa ingin kembali menjadi kekuatan transformatif dalam pendidikan, ia harus keluar dari keterasingannya. Organisasi ini harus kembali membangun koneksi dengan masyarakat, memahami tantangan pendidikan masa kini, serta menghadirkan solusi nyata yang berbasis pada kebutuhan rakyat.

Berbenah atau Tenggelam dalam Sejarah?

Tamansiswa kini berada di persimpangan jalan. Jika ingin tetap relevan, organisasi ini harus melakukan perubahan mendasar, baik dalam kepemimpinan, sistem kaderisasi, maupun cara ia berinteraksi dengan masyarakat.

Tamansiswa harus lebih dari sekadar lembaga pendidikan yang mengenang kejayaan masa lalu. Ia harus menjadi pusat inovasi pendidikan berbasis nilai-nilai kebangsaan yang dinamis dan adaptif. Kepemimpinan harus membuka ruang bagi regenerasi, kaderisasi harus lebih sistematis dan menarik bagi generasi muda, serta orientasi organisasi harus kembali pada akar perjuangannya: pendidikan yang membebaskan, memberdayakan, dan berorientasi pada kebutuhan nyata rakyat.

Tanpa itu, Tamansiswa hanya akan menjadi simbol tanpa makna, warisan luhur yang terkikis oleh waktu. Pertanyaannya kini, apakah Tamansiswa siap untuk berubah, ataukah ia hanya akan menjadi artefak tua yang perlahan dilupakan?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image