Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kuntoro Boga

Pertanian Cerdas Berakar Budaya

Teknologi | 2025-03-14 15:37:33

Indonesia saat ini berada di persimpangan sejarah, di mana pilihan antara mempertahankan tradisi dan melompat ke masa depan menjadi sangat krusial. Dengan hamparan lahan pertanian dan perkebunan yang membentang dari Sabang hingga Merauke, negeri ini memiliki modal dasar untuk menjadi raksasa pangan global. Namun, di balik potensi tersebut, berbagai tantangan serius mengintai. Perubahan iklim yang tidak menentu, minimnya regenerasi petani, dan ketimpangan akses terhadap teknologi adalah beberapa hambatan yang tidak boleh diabaikan. Dalam konteks ini, modernisasi pertanian bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan untuk bertahan dan bersaing dalam peta persaingan global.

Model bisnis atau platform peer-to-peer lending agrikultur berkembang di Indonesia

Untuk merancang transformasi yang tidak hanya memacu produktivitas tetapi juga menjaga keberlanjutan dan keadilan bagi petani, diperlukan pendekatan holistik yang mencakup berbagai aspek. Penerapan teknologi pertanian modern, seperti mekanisasi dan digitalisasi, dapat meningkatkan efisiensi produksi dan mengurangi beban kerja manual petani. Selain itu, pengembangan infrastruktur pertanian yang memadai, seperti sistem irigasi yang efisien, juga memainkan peran penting dalam meningkatkan produktivitas. Penting pula untuk memastikan bahwa modernisasi ini bersifat inklusif, dengan memberikan pelatihan dan akses teknologi kepada petani kecil, sehingga mereka dapat beradaptasi dengan perubahan dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Dengan demikian, transformasi pertanian Indonesia dapat berjalan seimbang antara peningkatan produktivitas dan pelestarian nilai-nilai lokal yang berkelanjutan

Modernisasi Pertanian: Melampaui Mesin dan Sensor

Modernisasi pertanian sering disederhanakan sebagai penggunaan mesin pertanian atau sensor canggih. Padahal, esensinya lebih dalam: membongkar paradigma lama yang mengandalkan tenaga manusia dan keberuntungan iklim. Jepang dan Belanda, misalnya, telah membuktikan bahwa pertanian presisi berbasis big data dan AI bisa menghasilkan panen berlipat dengan penggunaan air dan pupuk yang minimal. Di Bali, sistem Subak yang berusia ribuan tahun adalah contoh bagaimana teknologi lokal berbasis kearifan ekologi bisa berpadu dengan sensor IoT untuk mengoptimalkan irigasi.

Sayangnya, di Indonesia, mekanisasi masih terjebak dalam paradigma “satu alat untuk semua lahan”. Alih-alih seragam, pendekatan harus dikustomisasi. Petani di lereng Sumba butuh alat tanam hemat energi, sementara petani sawah di Jawa memerlukan drone pemantau hama. Di sinilah peran pemerintah sebagai fasilitator: membangun hub teknologi pertanian di tiap daerah yang menyediakan alat sesuai kebutuhan lokal, dengan skema sewa atau kredit berbunga rendah.

Digitalisasi juga harus menjawab masalah riil. Model bisnis atau platform peer-to-peer lending agrikultur yang banyak berkembang di Indonesia telah menunjukkan bahwa petani bisa melek data. Namun, inovasi ini masih terpusat di Jawa. Bagaimana dengan petani Papua yang jaringan internetnya terbatas? Teknologi offline-first berbasis SMS atau radio komunitas bisa menjadi solusi. Modernisasi hanya berarti jika inklusif.

Petani muda mengelola lahan dengan pendapatan 2-3 kali lipat petani konvensional.

Merakit Teknologi: Dari Laboratorium ke Lahan

Adaptasi teknologi asing kerap gagal karena mengabaikan konteks lokal. Varietas padi unggul dari Vietnam mungkin tumbuh subur di delta Mekong, tetapi belum tentu cocok dengan lahan rawa Kalimantan. Di sinilah peran perakitan teknologi: mengolah inovasi global menjadi solusi yang berpijak pada ekosistem Indonesia.

Balai Besar Padi dibawah koordinasi BSIP (Badan Standarisasi Instrumen Pertanian), Kementerian pertanian, telah melahirkan varietas padi Inpari 42 yang tahan banjir dan kekeringan, buah kolaborasi dengan petani lokal yang paham ritme alam. Namun, penelitian semacam ini masih terbatas dana dan jejaring. Perlu model open innovation: universitas, startup, dan petani duduk bersama merancang alat sesuai kebutuhan spesifik. Contohnya, Mesin Rakit buatan petani Rembang yang mengubah limbah sekam padi menjadi energi, atau smart greenhouses di Lembang yang memadukan sensor IoT dengan teknik hidroponik tradisional.

Ekonomi sirkular adalah ruang kreativitas lain. Limbah sawit yang selama ini dibakar bisa diolah menjadi biochar untuk menyuburkan tanah, sementara kotoran sapi di Boyolali dimanfaatkan sebagai biogas. Jika diintegrasikan, rantai nilai ini tak hanya mengurangi emisi, tapi juga menciptakan pendapatan tambahan. Tiongkok telah membuktikan ini: 70% limbah pertaniannya didaur ulang menjadi energi atau pupuk. Indonesia bisa lebih baik.

Regenerasi Petani: Menjemput Generasi Muda ke Ladang

Rata-rata usia petani Indonesia 47 tahun. Sementara itu, generasi muda lebih memilih ride-hailing atau kerja pabrik. Ironisnya, survei Indonesia Millennial Report 2023 menunjukkan 65% generasi Z tertarik pada pertanian—asal dikemas dengan teknologi dan prospek ekonomi menjanjikan.

Jepang mencontohkan cara menarik minat anak muda: smart farming dikemas sebagai profesi bergengsi dengan gaji setara pekerja kantoran. Di Indonesia, Banyuwangi berhasil menarik pemuda melalui program Petani Milenial yang menggabungkan pelatihan drone, pemasaran digital, dan akses modal. Hasilnya, 1.200 anak muda kini mengelola lahan dengan pendapatan 2-3 kali lipat petani konvensional.

Pendidikan vokasi adalah kunci. Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) perlu memperbanyak program bootcamp teknologi pertanian, menggandeng perusahaan seperti Tractors Indonesia atau Eka Tjipta Foundation untuk kurikulum berbasis industri. Jangan lupa, sertifikasi kompetensi internasional agar lulusannya bisa bersaing di level ASEAN.

Kebijakan yang Berpihak

Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah tegas dalam modernisasi sektor pertanian untuk memastikan keberlanjutan dan daya saing di kancah global. Salah satu inisiatif penting adalah Reforma Agraria 2.0, yang tidak hanya menekankan redistribusi lahan, tetapi juga memberikan kepastian hukum bagi petani dalam mengakses kredit dan teknologi. Dengan jaminan hukum yang kuat, petani dapat lebih mudah memperoleh modal dan teknologi yang diperlukan untuk meningkatkan produktivitas mereka.

Selain itu, pemberian insentif pajak kepada perusahaan yang berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan (R&D) pertanian lokal sangat penting. Kebijakan ini akan mendorong sektor swasta untuk berkontribusi dalam inovasi pertanian, menciptakan solusi yang sesuai dengan kebutuhan lokal, dan meningkatkan daya saing produk pertanian Indonesia.

Pembangunan infrastruktur digital yang merata juga menjadi kunci dalam modernisasi pertanian. Menghubungkan 12.508 desa tertinggal dengan jaringan 4G dan komputasi awan akan memungkinkan petani mengakses informasi dan analisis data pertanian secara real-time, membantu mereka dalam pengambilan keputusan yang lebih baik dan efisien.

Diplomasi teknologi melalui kemitraan dengan negara-negara maju dapat mempercepat adopsi teknologi pertanian modern. Misalnya, bekerja sama dengan Belanda untuk pengembangan lahan rawa atau dengan Israel untuk irigasi cerdas dapat memberikan solusi inovatif yang sesuai dengan kondisi geografis Indonesia. Partisipasi aktif komunitas dalam setiap tahap proyek pertanian adalah kunci keberlanjutan dan keberhasilan program modernisasi.

Menjelang tahun 2045, Indonesia diprediksi akan menjadi salah satu dari lima besar ekonomi dunia. Namun, tanpa pertanian modern yang inklusif, kita hanya akan menjadi penonton di negeri sendiri. Transformasi ini bukan sekadar mengganti cangkul dengan robot, melainkan membangun ekosistem di mana teknologi dan kearifan lokal bersinergi. Hasilnya adalah petani yang sejahtera, kedaulatan pangan yang terjaga, dan kelestarian alam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image