Jadikan Peringatan Hari Guru untuk Menghilangkan Deritanya
Politik | 2024-11-30 16:26:47Oleh Heni Ummu Faiz
Ibu Pemerhati Umat
Guru pahlawan mulia
Tekad anjeun nu satria
Ngadidik heunteu mandang pamrih
Ngajar teu miharep jasa
Itu adalah penggalan lagu Sunda yang menggambarkan tentang mulianya jasa guru. Untuk menghormati jasa dan pengabdian guru maka tanggal 25 November diperingati sebagai
Hari Guru Nasional.
Liputan6.com, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) merupakan tonggak sejarah pendidikan Indonesia maka setiap tanggal 25 November, Indonesia memperingati Hari Guru Nasional, sebuah momentum yang didedikasikan untuk menghormati perjuangan dan pengabdian para guru.
Guru tidak hanya menjadi pendidik, tetapi juga pejuang yang turut berkontribusi dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa. Sejak zaman kolonial Belanda hingga zaman pendudukan Jepang merupakan awal dari tonggak sejarah Hari Guru Nasional.
Mengamati fakta para pejuang pendidikan saat ini, sungguh luar biasa perjuangan yang mereka lakukan. Kita tak dapat membalas jasa yang mereka sumbangkan. Ilmu dan kasih sayang dalam mendidik generasi ini tak dapat ternilai. Namun sayangnya kondisi guru saat ini sudah sangat memprihatinkan.
Kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik hanyalah harapan semu. Gaji yang diterima tak sepadan dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Belum lagi akhir-akhir ini ada sebagian guru yang mendapatkan kriminalisasi dari murid hingga wali murid.
Tentu hal tersebut sangat tidak diharapkan. Sebab, sejatinya pahlawan tanpa tanda jasa ini seharusnya mendapatkan penghidupan yang layak serta apresiasi yang tinggi dalam mendidik generasi.
Sistem pendidikan kapitalisme telah berpartisipasi membuat para pendidik ini menderita. Bagaimana tidak, pahlawan tanpa tanda jasa ini sering disibukkan dengan urusan administrasi sehingga peran mendidik kian tergerus.
Belum lagi bergonta-ganti kurikulum pendidikan nyatanya tak mampu menyelesaikan masalah dunia pendidikan. Akibatnya dari waktu ke waktu generasi yang dilahirkan semakin tidak berkualitas. Belum lagi para pendidik terutama yang honorer semakin menderita dari segi kesejahteraan hidupnya. Bahkan kerap mereka berperan ganda mencari nafkah sampingan. Tak cukup sampai di situ pengabdiannya terkadang mendapatkan kriminalisasi.
Dikutip dari suara.com, (31/10/2024), seorang guru honorer Supriyani (36) yang mengajar di SD Negeri 4 Baito, Kecamatan Baito, Kabupaten Konawe Selatan. Dia harus berhadapan dengan hukum karena dituding memukul seorang murid di sekolah dengan sapu ijuk hingga menyebabkan luka di pahanya. Bahkan di beberapa daerah kasus kriminalisasi kerap dialami oleh pahlawan tanpa tanda jasa ini
Penderitaan Guru, Kapitalisme Akar Masalahnya
Derita yang dialami guru akibat dari penerapan aturan sekuler kapitalisme. Berbagai aturan yang dikeluarkan oleh penguasa sering berbenturan dengan aturan yang lain. Semisal guru harus mendidik dan membentuk karakter anak. Namun di sisi lain, ketika guru memberikan sanksi kepada murid yang tidak mau disiplin terhadap aturan-aturan sekolah, guru harus dihadapkan dengan intimidasi.
Pelanggaran HAM, Perlindungan anak, dll. Bahkan saat ada upaya untuk mendisiplinkan anak didik terkadang sering disalahartikan. Ujung-ujungnya pendidik harus mendekam di jeruji penjara.
Menurut PP No. 74 Tahun 2008 pasal 39 ayat 1 dan 2 menjelaskan bahwa “Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada siswa yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis, maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya."
Sanksi yang dimaksud dapat berupa teguran, peringatan lisan maupun tulisan, dan hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kode etik guru dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari sini kita bisa melihat tumpang tindih antara peraturan satu dengan yang lainnya.
Pada akhirnya melahirkan persepsi yang berbeda-beda antara guru, orang tua murid, masyarakat, juga negara terkait makna dan tujuan pendidikan. Permasalahan ini akan terus terjadi manakala sistem sekularis kapitalis terus berlangsung. Sebab, sistem ini menciptakan konflik-konflik yang tak berujung karena penyelesaian masalah pendidikan tidak berdasarkan pada hukum Allah Swt.
Kemuliaan Guru dalam Islam
Tak ada aturan yang paling istimewa dan sempurna selain Islam termasuk pengayoman kepada guru. Sistem ini sangat memberikan perhatian kepada guru karena dari tangan mereka lahir para pengisi peradaban.
Faktanya bisa dibaca dalam literasi Islam, guru mendapatkan kesejahteraan, penghargaan yang luar biasa. Salah satunya dari gaji yang didapatkan.
Khalifah Umar bin Khattab ra., beliau memberikan upah sebesar 15 dinar per bulan setara dengan Rp33 juta. Dengan demikian kesejahteraan guru sudah terjamin. Tidak ada lagi guru yang mencari kerja sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Di dalam Islam tujuan pendidikan adalah mencetak generasi yang berkualitas dengan landasan iman dan takwa. Bersyakhsiyah (berkepribadian) islamiah itu menjadi fokus utama, menguasai teknologi, dan keterampilan diharuskan sehingga kelak lahir para ilmuwan, ulama, dan orang-orang yang lahir di berbagai bidang yang diperlukan dalam mengisi pembangunan.
Ini pula yang ditanamkan, dipahami oleh seluruh komponen masyarakat juga negara. Tidak ada lagi saling menyalahkan, tumpang tindih kebijakan termasuk perlakuan yang tak bermoral kepada guru. Semua saling menjaga, saling melindungi, beramar makruf nahi mungkar. Keberhasilan sistem pendidikan Islam dan penghormatan kepada para pendidik benar-benar terjamin.
Tak bisa dimungkiri di sepanjang sejarah Islam kesejahteraan guru, lahirnya para ilmuwan dan ulama besar. Sebab, di sistem Islam tak ada lagi derita, intimidasi, kriminalisasi seperti di sistem demokrasi. Menjalankan peran dan tugas guru secara optimal kepada anak didiknya. Alhasil sistem Islam saja yang mampu menjawab derita guru.
Wallahualam bissawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.