Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image aulya raishaa

Riba Dalam Pandangan Keuangan Islam

Info Terkini | Monday, 24 Jan 2022, 15:57 WIB

Riba yang dikenal sebagai tambahan yang tidak disertai dengan adanya pertukaran kompensasi2 dilarang oleh al-Qur‟an. Al-Qur‟an sendiri telah menjelaskan secara rinci tahapan pelarangan riba tersebut. Di sisi lain, bunga bank yang diketahui sebagai imbal jasa pinjaman uang pada sektor lembaga keuangan dan perbankan diidentifikasi sebagai riba. Bunga ini dalam suatu periode tertentu disebut suku bunga. Suku bunga merupakan tolok ukur dari kegiatan perekonomian dari suatu negara yang akan berimbas pada kegiatan perputaran arus keuangan perbankan, inflasi, investasi.

Menurut Quraish Shihab, kata riba dari segi bahasa berarti “kelebihan”. Kalau kita hanya berhenti pada makna kebahasaan ini, maka logika yang dikemukakan para penentang riba pada masa Nabi dapat dibenarkan. Ketika itu mereka berkata (sebagaimana diungkapkan al-Qur‟an –bahwa “jual beli sama saja dengan riba” (QS. al-Baqarah [2]:275), Allah menjawab mereka dengan tegas bahwa “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Penegasan ini dikemukakan-Nya tanpa menyebut alasan secara eksplisit, namun dapat dipastikan bahwa tentu ada alasan atau hikmah sehingga riba diharamkan dan jual beli dihalalkan.

menurut al-Shabuni, riba adalah tambahan yang diambil oleh pemberi hutang dari penghutang sebagai perumbangan dari masa (meminjam). Al-Jurjani mendefiniskan riba sebagai tambahan atau kelebihan yang tiada bandingannya bagi salah satu orang yang berakad. Sementara Abdurrahman al-Jaziri dalam Kitāb al-Fiqh alā Madzāhib al-Arba„ah menjelaskan bahwa riba menurut istilah fukaha adalah tambahan pada salah satu dua barang yang sejenis yang ditukar tanpa adanya imbalan/imbangan terhadap tambahan tersebut. Dalam madzhab Syafi‟i, riba dimaknai sebagai transaksi dengan imbalan tertentu yang tidak diketahui kesamaan takarannya maupun ukuran waktunya kapan terjadi transaksi dengan penundaan penyerahan kedua barang yang dipertukarkan atau salah satunya.

Pengertian yang hampir sama juga disampaikan oleh beberapa ulama antara lain, Badruddin al-Ayni yang berpendapat bahwa prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syari‟ah, riba berarti penambahan atas harga pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.Sementara Imam Sarakhsi dari madzhab Hanafi mengatakan bahwa riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut. Menurut Zaid bin Aslam, yang dimaksud riba Jahiliyyah yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranya pada saat jatuh tempo, ia berkata, “bayar sekarang atau tambah”.Dan Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang riba, ia menjawab, “sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjaman) atas penambahan waktu yang diberikan”.

Dasar Hukum dan Historisitas Ayat-ayat Riba

1. Tahapan Pelarangan Riba

Menurut Quraish Shihab, dalam al-Qur‟an, kata riba diulang sebanyak delapan kali yang terdapat dalam empat surah, yakni al-Baqarah Ali Imran, al-Nisa‟ dan al-Rum. Tiga surah pertama adalah “ayat madaniyah” (turun setelah Nabi Hijrah ke Madinah), sedangkan surah al- Rum adalah “ayat Makkiyah” (turun sebelum Nabi Hijrah).22 Ini berarti ayat pertama yang membahas tentang riba adalah َfirman Allah:

ًََََََُُْْْْ َْ َّ َََُْ َْ ونا ءاثيجم ِنو ِربا ُ ِليَبَ ِفِ أمَا ِل النا ِس فلَ يربَ ِغيد ا ِلل ونا ءاثيجم ِنو زكَ ٍة ثُِريُدوَنَوْجًَا ِللفَأوَلََِكٌُُمالُْهْضُِفََن ََ

“Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)” (QS. al-Rum [30]:39)

Sementara Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi23 mengutip riwayat- riwayat Bukhari, Ahmad, Ibnu Majah, Ibn Mardawaih dan al-Baihaqi, berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun kepada Rasulullah saw adalah ayat-ayat yang mengindikasikan penjelasan terakhir tentang riba, yaitu firman Allah:

ََََََََُُُّّّ َََََََََُُُُِّْْْْ ياأحٍا ا ِلَّيو ءانيَا اتقَا الل وذروا نا ب ِقِ ِنو الربا ِإن ليجم مؤ ِن ِيي

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba, jika kalian orang-orang yang beriman” QS. al- Baqarah [2]:278).

Menurut al-Maraghi24 tahap-tahap pembicaraan al-Qur‟an tentang riba sama dengan tahapan pembicaraan tentang khamr (minuman keras), yakni ada empat tahap dalam pengharamannya. Tahap pertama sekedar menggambarkan adanya unsur negatif di dalam riba. Hal ini sebagaimana termaktub dalam QS. al-Rum [30]:39.

2. Asbāb al-Nuzūl Turunnya Ayat-ayat Riba

Adalah suatu keharusan untuk mengetahui latar belakang (asbāb al- nuzūl) larangan ayat riba ayat agar bisa memahami pembahasan riba secara mendasar. Tanpa mengetahui sebab yang melatarbelakanginya, akan menjadikan pemahaman yang kurang lengkap terhadap masalah riba. Secara historis ada beberapa versi (riwayat) yang menjadi latar belakang turunnya ayat larangan riba, khususnya QS. a-Baqarah [2]:275-279 dan Ali Imran [3]:130-131.

Umumnya para mufassir dengan mengutip dari al-Thabari berpendapat bahwa ayat al-Baqarah 275-279, khususnya ayat 275, turun disebabkan oleh pengamalan paman Nabi Muhammad saw, Abbas bin Abdul Muthalib dan Khalid bin Walid, yang bekerjasama meminjamkan uang kepada orang lain dari Tsaqif bani „Amr. Sehingga keduanya mempunyai banyak harta ketika Islam dating.

3. Kondisi Sosio-Ekonomi Sebelum Turunnya Ayat Riba

Menurut Abdullah Saeed,33 larangan riba sebagaimana termuat dalam al-Qur‟an telah didahului bentuk-bentuk larangan yang lainnya yang secara moral tidak dapat ditoleransi. Larangan ini tercermin dalam perilaku sosial ekonomi masyarakat Makkah pada saat itu, yang secara luas menimbulkan dampak kerugian yang besar dalam komunitasnya. Di mana al-Qur‟an sangat menganjurkan masyarakat Makkah untuk menolong fakir miskin dan anak yatim yang ada di sekelilingnya. Menurut al-Qur‟an bahwa barangsiapa yang tidak mendirikan shalat dan tidak memperhatikan fakir miskin akan diancam hukuman siksa neraka (QS. al-Muddatstsir [74]:43- 44). Di samping itu, fakir miskin mempunyai bagian hak dari harta benda orang-orang kaya (QS. al-Ma„arij [70]:24-25). Karena di antara orang mendapat hukuman dari Allah karena mereka tidak mau memperhatikan serta menolong fakir miskin (QS. al-Haqqah [69]:34). Di samping itu, al- Qur‟an menegaskan tentang pentingnya untuk menafkahkan (spending) harta benda untuk mengurangi beban penderitaan fakir miskin (QS. al- Baqarah [2]:262; al-Nisa‟ [4]:39; al-Ra„d [13]:22; al-Furqan [25]:67; Fathir [35]:29.

riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Pada tahap ini, Allah menurunkan QS. Ali Imran [3]:130. Menurut al-Shabuni, ayat ini termasuk madaniyah yang di dalamnya telah menerangkan keharaman riba secara jelas namun bersifat juz‟i tidak bersifat kulli. Sebab, pengharamannya „hanya‟ ditujukan pada riba al-fāhisy; riba yang sangat buruk dan keji di mana dengan riba tersebut hutang seseorang dapat menjadi berlipat-lipat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image