Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image rahmi surainah

Banjir Tiada Henti Meski Ditangani, Perlu Solusi Pasti!

Guru Menulis | 2024-09-10 07:38:21

Setiap kali hujan lebat maka pasti banjir. Banjir tiada henti dengan tingkat kedalaman dan perluasan wilayah, bahkan sampai menelan korban jiwa. Meski ditangani oleh pemerintah, banjir tiada henti.

Sebut saja di Kota Samarinda, beberapa waktu lalu banjir merendam sejumlah ruas jalan di Samarinda, Kamis (29/8). Hujan deras mengguyur sekitar pukul 15.00 Wita membuat beberapa titik seperti Jalan Juanda, Jalan D Panjaitan, Kawasan Kelurahan Lempake, simpang empat Lembuswana, Jalan Merdeka, dan Jalan Damanhuri.

Tidak hanya itu banjir kali ini menelan korban jiwa. Seorang balita dikabarkan terseret arus dan tenggelam di drainase Jalan D Panjaitan, RT 15, Kelurahan Gunung Lingai, Kecamatan Sungai Pinang. Respon pemerintah penanganan banjir belum seratus persen sehingga penanganan banjir akan terus jadi prioritas.

Tidak hanya kota Samarinda, Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) terus gencarkan pembangunan pengendalian permasalahan banjir di Kecamatan Tenggarong. Di antara upaya mereka adalah membangun kanal banjir di kawasan Taman Kota Raja (TKR). Serta pembesaran dimensi drainase di sekitar Komplek Kantor Bupati Kukar.

Masing-masing titik, Dinas PU Kukar pun menganggarkan hingga Rp 45 miliar lebih. Dengan rincian pembangunan kanal banjir di kawasan TKR Tenggarong senilai Rp 32 miliar, kanal banjir di jalan Djafar Seman senilai Rp 6 miliar dan drainase sekitar komplek Kantor Bupati Kukar sebesar Rp 7 miliar. Dengan pengerjaan akan dituntaskan hingga akhir 2024.

Sistem Kehidupan Kapitalis Undang Banjir

Sebenarnya penanganan banjir sudah dilakukan oleh pemerintah. Namun banjir tiada henti karena jika ditelisik lebih dalam penanganan berkisar pada persoalan hilir, pasca banjir, serta perkara teknis. Sebaliknya terkait persoalan hulu, yakni kebijakan menjadi penyebab kerusakan lingkungan alias banjir.

Berawal dari ijin dan undang-undang tentang kebolehan pertambangan, membabat hutan dan eksploitasi SDAE atas nama investasi. Akhirnya, eksploitasi pun marak, baik legal berupa korporasi (perusahaan besar atau badan usaha hukum yang sah) apalagi ilegal.

Banjir tidak hanya faktor alam, tapi merupakan efek domino dari sumber masalah, seperti deforestasi, eksploitasi lahan tambang yang tak terkendali, dan alih fungsi lahan. Semua itu bentuk penggunaan lahan dengan pengupasan yang dilakukan sepenuhnya demi keserakahan kapitalis yang akhirnya berdampak kerusakan lingkungan.

Tata kelola dalam penataan ruang yang materialis tanpa analisis yang memperhatikan lingkungan. Ijin pun bisa didapat tanpa syarat dan sanksi berat jika melanggar.

Miris, melihat kebijakan dan tata kelola kota dan lingkungan saat ini, wajar sebenarnya banjir diundang. Takkan berhasil tangani banjir, jika pemerintah sibuk dalam perkara teknis menangani banjir sedangkan tata ruang dan tata kelola SDAE masih materialis liberalistik. Persoalan banjir sudah termasuk dalam perkara sistemik ideologis yang hanya bisa ditangani dengan perubahan pandangan sistem kehidupan.

Islam Solusi Pasti

Islam memberikan solusi pasti untuk mengatasi kerusakan lingkungan, salah satunya banjir. Dengan fokus pada akar masalah penyebab segala kurusakan lingkungan, Islam akan menghentikan tata kelola SDAE liberalistik dengan mengembalikannya kepada tata kelola Islam.

Islam melarang kepemilikan SDAE dikuasai oleh individu, swasta, atau asing. SDAE dalam Islam adalah kepemilikan umum dan dikuasai oleh negara untuk kesejahteraan umat. Kebijakan SDA dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari penerapan Islam secara totalitas dalam Khilafah Islamiyah.

Khilafah Islamiyyah memiliki kebijakan canggih dan efisien untuk mengatasi banjir. Kebijakan tersebut mencakup sebelum, ketika, dan pascabanjir. Kebijakan untuk mencegah banjir dapat disarikan sebagai berikut.

Pertama, banjir karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, Khilafah akan membangun bendungan yang mampu menampung curahan air dari aliran sungai, curah hujan, dan lain sebagainya. Khilafah akan memetakan daerah rendah yang rawan genangan air dan melarang membangun di sana atau jika dana cukup Khilafah akan membangun kanal-kanal baru atau resapan agar air yang mengalir di daerah tersebut bisa dialihkan alirannya, atau bisa diserap oleh tanah secara maksimal. Dengan cara ini, maka daerah-daerah dataran rendah bisa terhindar dari banjir atau genangan.

Adapun daerah pemukiman yang awalnya aman dari banjir dan genangan, namun sebab tertentu terjadi penurunan tanah sehingga terkena genangan atau banjir, maka Khilafah akan berusaha semaksimal mungkin menangani genangan itu. Jika tidak memungkinkan, Khilafah akan mengevakuasi penduduknya, dipindahkan ke daerah lain dengan memberikan kompensasi.

Secara berkala, Khilafah mengeruk lumpur di sungai atau daerah aliran air agar tidak terjadi pendangkalan. Khilafah akan melakukan penjagaan ketat kebersihan sungai, danau, dan kanal dengan cara memberikan sanksi bagi siapa saja yang mengotori atau mencemarinya. Khilafah juga membangun sumur resapan di kawasan tertentu yang sewaktu-waktu juga bisa digunakan untuk kemarau.

Kedua, dalam aspek undang-undang dan kebijakan, Khilafah akan membuat kebijakan tentang master plan, di mana ditetapkan sebuah kebijakan pembukaan pemukiman atau kawasan baru harus menyertakan variabel-variabel drainase, penyediaan daerah serapan air, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografinya. Dengan kebijakan ini, Khilafah mampu cegah kemungkinan banjir atau genangan.

Khilafah akan mengeluarkan syarat tentang izin pembangunan bangunan namun tidak menyulitkan rakyat. Bahkan Khilafah akan menyederhanakan birokrasi dan menggratiskan surat izin pendirian bangunan. Hanya saja, jika pendirian bangunan di lahan pribadi atau lahan umum, bisa mengantarkan bahaya (madlarah), maka Khalifah diberi hak untuk tidak menerbitkan izin pendirian bangunan. Khilafah juga akan memberi sanksi bagi yang melanggar kebijakan tersebut tanpa pernah pandang bulu.

Khilafah akan membentuk badan khusus yang menangani bencana alam dilengkapi dengan peralatan-peralatan berat, evakuasi, pengobatan, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana. Selain itu, petugas lapangan dilengkapi pengetahuan yang cukup tentang SAR (search and rescue), serta keterampilan untuk penanganan korban. Mereka diharuskan siap sedia setiap saat dan dibiasakan untuk bergerak cepat ketika ada bencana atau musibah.

Khilafah menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai daerah cagar alam yang harus dilindungi. Khilafah juga menetapkan kawasan hutan lindung dan kawasan buffer yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan izin. Khilafah menetapkan sanksi berat bagi yang merusak lingkungan hidup. Khilafah juga mendorong kaum Muslim untuk menghidupkan tanah mati atau kurang produktif.

Selanjutnya dalam menangani korban bencana alam, Khilafah akan segera bertindak cepat dengan melibatkan warga terdekat. Khilafah menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan. Selain itu, mengerahkan para alim ulama untuk memberikan taushiyyah bagi korban agar mereka mengambil pelajaran sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal.

Demikianlah kebijakan penguasa Islam dan sistem Khilafah Islamiyyah mengatasi banjir. Kebijakan tersebut tentu berbeda dengan sekarang yang justru mengundang banjir dan meniadakan aturan Ilahi.

Wallahu’alam...

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image