Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gili Argenti

Rached Ghannouchi, Pemikir Islam Politik Tunisia

Politik | 2024-07-14 04:44:07
Rached Ghannouchi pemimpin Partai An-Nahdha, Sumber : https://uscmo.org

Di dalam studi kawasan Timur Tengah dan Afrika Maghribi, terdapat dua peristiwa penting yang mengejutkan masyarakat dunia, tidak saja di dunia Islam, tetapi juga dunia barat. Dua peristiwa itu adalah Revolusi Iran (1979) dan Arab Spring (2011).

Revolusi Iran merupakan pergerakan rakyat (people power) di negara mullah yang berhasil menggulingkan Reza Pahlevi, sekaligus mengganti sistem monarki menjadi Republik Islam Iran (Tamara, 2021). Sedangkan Arab Spring peristiwa pembangkangan sipil dan perlawanan rakyat yang berhasil menjatuhkan beberapa penguasa otoriter di Timur Tengah, Arab Spring sendiri bermula dari aksi pembakaran diri seorang pemuda, bernama Mohamed Bouazizi di negara Tunisia, seorang pedagang kaki lima yang kecewa pada aparat telah menyita barang dagangannya, dari aksi membakar diri berubah menjadi aksi people power yang menggulingkan Presiden Zine El Abidine Ben Ali, kemudian dari Tunisia spirit melawan penguasa otoriter-totaliter, menjalar kebeberapa negara timur tengah lain (Najib, 2019).

Dari beberapa negara Timur Tengah yang mengalami Arab Spring, sampai hari ini hanya Tunisia dapat dikatakan negara berhasil melalui transisi politik lebih baik, artinya setelah hancurnya sistem otoriter-totaliter, sistem politik Tunisia terus bergerak ke arah demokrasi terkonsolidasi. Meskipun perkembangan terakhir sistem politiknya mengalami gangguan yang mengancam eksistensi demokrasi, tetapi masyarakat dunia masih menilai relatif lebih baik dari negara-negara mengalami Arab Spring, terjerembab ke dalam pusaran perang sipil dan kudeta militer.

Keberhasilan Tunisia melewati transisi demokrasi disebabkan kelompok Islam politik di negara itu, yang merupakan salah satu kekuatan politik terbesar di Tunisia, Partai An-Nahdhah dibawah pimpinan Rached Ghannouchi, mampu melakukan moderasi berpolitik menjadi lebih lentur, dinamis dan adaptif ketika masuk ke dalam gelanggang sistem demokrasi (Sahide, 2019).

Biografi

Rached Ghannouchi dilahirkan di Hamah Qabis pada tahun 1945, dia belajar sekolah dasar di desanya, kemudian melanjutkan ke sekolah menengah di daerah Mounsyibeh. Di tahun 1964, Ghannouchi melanjutkan pendidikan ke negara Suriah tepatnya di Universitas Damaskus, mengambil jurusan filsafat, di perguruan tinggi inilah Ghannouchi, bersentuhan dengan pemikiran Ikhwanul Muslimin dari Mesir, ketika itu cabang gerakan Ikhwan sudah terbentuk di berbagai negara di dunia Islam (Yakan, 2002).

Ikhwanul Muslimin artinya persaudaraan Islam, didirikan oleh Hasan al-Banna di Ismailiyya (Mesir) pada bulan Maret 1928 (Umar & Rizky, 2020). Pemikiran Islam yang dikembangkan gerakan ini, menyakini bahwa Islam harus memiliki karakter integral antara agama dan negara (Machmudi, 2021). Hasan al-Banna ingin menjadikan Islam sebagai pilar dari pilar-pilar dasar kekuatannya, bagi setiap anggota Ikhwan menurutnya harus memiliki keyakinan, bahwa pemisahan antara agama dengan politik bukanlah bagian dari ajaran Islam hanif (Amin, 2015).

Setelah memperoleh gelar Lc (Licence) dari Universitas Damaskus, Ghannouchi, kembali ke Tunisia menjadi guru diberbagai sekolah menengah dibeberapa kota seperti Tunis, Hamma Al-Anf, dan Qairawan. Pekerjaan menjadi guru tidak lama digeluti, minat intelektualnya terus bergelora, Ghannouchi melanjutkan pendidikan Pasca Sarjana di Fakultas Syariah di salah satu perguruan tinggi di Tunisia.

Pada tahun 1979, Ghannouchi mendirikan organisasi rahasia dengan nama Al-Jama’ah Al-Islamiyah dan terpilih sebagai pemimpinnya, organisasi ini kemudian bertransformasi menjadi The Islamic Tendency Movement (MTI) (Esposito, 2014). Di dalam perjalannya MTI bermetamorfosis menjadi Partai An-Nahdhah. Pemerintah Tunisia menolak legalitas partai ini sebagai partai politik, pemerintah dibawah Presiden Ben Ali kemudian melakukan penangkapan terhadap para aktifisnya, termasuk Ghannouchi, bahkan ia kemudian diasingkan ke London Inggris (Kartini, 2016).

Lambang Partai An-Nahdha, Sumber : islammemo.cc

Pasca tumbangnya Ben Ali oleh gelombang revolusi, Rached Ghannouchi memutuskan kembali ke negaranya pada tanggal 30 Januari 2011, setiba di bandara Tunis, ribuan orang menyambut kedatangannya. Di dalam pidatonya Ghannouchi memuji pergerakan rakyat yang menggulingkan Ben Ali, ia mengungkapkan niatnya terlibat pada pemilihan umum demokratis pertama di Tunisia.

Partai An-Nahdhah mengikuti pemilihan umum pada Oktober 2011, dengan mengkampanyekan diri sebagai partai Islam moderat yang menghargai kebebasan beragama serta hak-hak kaum minoritas, Perolehan suara Partai An-Nahdhah memperoleh suara 41,47%, ketika dikonversikan dengan kursi, meraih 90 kursi dari 217 kursi yang diperebutkan, hal ini mengungguli kelompok kiri Partai Kongres untuk Republik mendapatkan 13,8% setara 30 kursi, kemudian Partai Al-Takatul setara 9,68% atau 21 kursi; serta sekutunya Ben Ali, Al-Aridlah al-Sya’biyah hanya memperoleh 19 kursi (M. G. Romli, 2002).

Terdapat beberapa alasan mengapa Partai An-Nahdhah mendapatkan kemenangan. Pertama, para aktifis An-Nahdhah mendapatkan simpati secara luas, karena mereka menjadi sasaran kekerasan dari pemerintah selama puluhan tahun. Kedua, solidnya kekuatan Islam politik di bawah komando Partai An-Nahdhah. Ketiga, kemenangan partai tidak terlepas dari peran para politisinya pandai menyesuaikan diri dengan agenda revolusi Tunisia. Tuntutan revolusi itu pemberantasan korupsi, pemulihan krisis ekonomi, dan sosial, meskipun mengusung Islam, partai terlihat lebih moderat dan tidak ekstrim (Kartini, 2016).

Pemikiran Politik

Rached Ghannouchi memiliki pemikiran Islam moderat (Islam Wasathiyah), terbukti setelah Partai An-Nahdhah memenangkan pemilu, ia mengajak seluruh kekuatan politik dari berbagai latar belakang ideologi di Tunisia bisa bersatu, menyingkirkan berbagai rintangan perbedaan diantara mereka, bahkan Ghannouchi mengakomodir partai-partai sekuler (moderat) bergabung ke dalam pemerintahannya. Karena menurutnya sebanyak 80% masyarakat Tunisia tinggal disepanjang pantai, sehingga terbuka terhadap Eropa, tetapi disaat yang sama memelihara identitas keislamannya (Maulana, 2020)

Mengenai pluralisme Ghannouchi memiliki pandangan hal itu dapat diadopsi. Menurutnya Partai An-Nahdhah mengakui hak semua partai tanpa memandang latar belakang ideologinya, baik itu partai Islam ataupun partai sekuler. Koalisi Partai Ennahdha di dalam pemerintahan melibatkan banyak unsur politik, hal ini menjadi bukti nyata, keyakinan Ghannouchi bahwa Tunisia tidak bisa dikelola logika mayoritas versus minoritas (Maulana, 2020).

Mengenai pandangan Ghannouchi kepada demokrasi, bahwa demokrasi itu bukan suatu ideologi, tetapi bisa dijadikan sebagai alat dan prosedur dalam mengendalikan pemerintah, kemudian konsep Islam seperti syuro sejatinya sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Rached Ghannouchi meyakini sepenuhnya demokrasi sebagai sistem menjamin tegaknya kedaulatan rakyat, serta penyembuh pamungkas dari hegemoni monopoli kekuasaan yang menyebabkan terpuruknya rakyat Tunisia, secara tegas ia menyatakan Islam dan demokrasi tidak saling bertentangan, justru sebaliknya terdapat beberapa ciri yang ada di dalam Islam maupun demokrasi dapat bertemu di dalam persamaan. Kemudian di dalam partisipasi politik perempuan, Ghannouchi memiliki pandangan moderat, laki-laki dan perempuan memiliki hak politik yang sama di dalam sistem demokrasi, tidak terdapat perbedaan diantara keduanya. Pluralisme politik harus ditegakkan dengan mengakui hak semua warga negara tanpa memandang latar belakang jenis kelamin, agama, dan ideologisnya (Maulana, 2020).

Rached Gannouchi saat itu menegaskan, Partai An-Nahdhah berkomitmen menghormati kaum wanita di Tunisia. Ia mengungkapkan, sebanyak 42 dari 49 kaum wanita yang terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante berasal dari Partai An-Nahdhah. Gannouchi menegaskan pula, pintu reformasi di Tunisia adalah kebebasan, kehormatan, dan independensi masyarakat sipil (M. A. Rahman, 2011).

Penutup

Rached Gannouchi, dapat digolongkan sebagai pemikir Islam moderat, sebagai muslim yang menghargai tingginya nilai perdamaian dan demokrasi, kebebasan dan kehormatan, toleransi dan inklusivisne terlepas dari berbagai perbedaan kebangsaan, pandangan politik, realitas sosial, dan budaya.

Penulis

Gili Argenti, Fadhlan Nur Hakiem, dan Maulana Rifai.

*Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA).

Referensi Artikel

1. Amin, S. (2015). Mencari Format Gerakan Dakwah Ideal : Jamaah Tabligh, Salafi, Hizbut Tahrir, dan Ikhwanul Muslimin. Al-Itishom.

2. Esposito, J. L. (2014). Tunisia at the Crossroads : An Interview with Sheikh Rachid al-Ghannouchi. ACMCU Georgetown University.

3. Kartini, I. (2016). Agama dan Demokrasi Munculnya Kekuatan Politik Islam di Tunisia Mesir, dan Libya. Pustaka Jaya.

4. Machmudi, Y. (2021). Timur Tengah Dalam Sorotan Dinamika Timur Tengah Dalam Perspektif Indonesia. Bumi Aksara.

5. Maulana, Y. (2020). Rached Ghannouchi Siasat Muslim Demokrat Di Arah Baru. Yayasan Faham Mandiri Indonesia Mandiri.

6. Najib, M. (2019). Jalan Demokrasi : Pengalaman Indonesia, Turki, dan Mesir. Penerbit Republika.

7. Rahman, M. A. (2011, October 30). Tunisia: Ennahda dan Janji Membangun Islam Moderat. Harian Kompas,

8. Romli, M. G. (2002, September 9). Islam Politik di Tunisia. Harian Kompas, 7.

9. Sahide, A. (2019). The Arab Spring : Tantangan dan Harapan Demokratisasi. Penerbit Kompas.

10. Tamara, N. (2021). Revolusi Iran. Kepustakaan Populer Gramedia.

11. Umar, M., & Rizky, A. (2020). Dakwah Dan Kuasa : Jalan Terjal Ikhwanul Muslimin Dalam Pentas Politik Mesir. BasaBasi.

12. Yakan, F. (2002). Revolusi Hasan Al-Banna : Gerakan Ikhwanul Muslimin Dari Sayid Quthb Sampai Rasyid Al-Ghannusyi. Penerbit Harakah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image