Aku Narsis Atau Tidak Ya? Kenali Narsisme Dan Cara Mengendalikannya
Edukasi | 2024-07-10 10:41:22Setiap orang pasti memiliki sesuatu yang namanya Self-Esteem. Self-Esteem itu sendiri ialah persepsi atau perasaan anda tentang diri anda sendiri, atau biasa disebut juga dengan harga diri. Terdapat pula teori yang mengusulkan bahwa beberapa orang menilai harga dirinya berdasarkan persepsi atau pandangan dari orang lain (Grison & Gazzaniga, 2019).
Self-Esteem yang terlalu tinggi atau yang biasa kita ketahui sebagai narsisme sudah menjadi salah satu fitur yang mendefinisikan era modern ini (Yakeley, 2018). Konsep narsisme itu sendiri diawali dari seseorang bernama Narcissus pada jaman mitologi yunani. Narcissus sering menolak perhatian berupa kasih sayang dan cinta dari orang lain dan bahkan jatuh cinta pada refleksi atau pencerminan dirinya sendiri ketika ia menatap kepada sebuah kolam air. Dan ditarik dari cerita tersebut, dalam kacamata psikologi, orang yang memiliki rasa narsisistik cenderung self-centered atau yang biasa kita ketahui sebagai egois, melihat diri mereka sendiri sebagai sesuatu yang grandios atau sosok yang mengagumkan, merasa diri mereka berhak untuk mendapat perlakuan yang berbeda dari orang lain, dan kebanyakan memiliki sifat manipulatif (Grison & Gazzaniga, 2019).
Teoritisi yang pertama kali menggunakan mitologi Narcissus untuk menggambarkan narsisme sebagai salah satu entitas klinik ialah Havelock Ellis dan dalam deskripsinya ia berkata bahwa ini adalah sebuah keadaan autoerotisme yang intens atau ketertarikan terhadap tubuhnya sendiri secara seksual. Psikoanalis kemudian mengelaborasikan bentuk dari narsisme sebagai karakteristik kepribadian kesombongan dan self-love yang tidak eksklusif secara seksual maupun terbatas di bidang patologi, melainkan sebagai bagian normal dari perkembangan manusia (Yakeley, 2018).
Sebuah studi analisis dimana ditemukannya sebuah kenaikan dari narsisme pada para mahasiswa di Amerika di antara 1976 dan 2006. Ini merupakan sebuah basis dari informasi tentang dimana para millenial mungkin terlalu fokus dengan diri mereka sendiri. Dari penelitian tersebut terdapat beberapa poin faktor yang mungkin menjadi penyebab dari kenaikan rasa narsistik seseorang : program-program yang ditujukan untuk menaikkan rasa self-esteem dari anak-anak sekolah seperti bagaimana mereka disuruh untuk menyanyikan lagu tentang seberapa istimewanya diri mereka, peninggian angka nilai sehingga mereka merasa lebih bisa atau lebih mampu dari keterbatasan mereka, dan sebuah kenaikan dari penggunaan laman self-promotion seperti facebook, LinkedIn, dll. (Grison & Gazzaniga, 2019)
Melihat sesuatu yang istimewa dari sesuatu adalah habit dari manusia, baik dari orang yang memiliki harga diri yang rendah maupun yang tinggi. Apalagi untuk orang-orang yang memiiliki akses ke internet, Google, Facebook, YouTube, dan akses ke mungkin ratusan web atau ratusan channel televisi. Perhatian yang dimiliki manusia itu terbatas dan tidak mungkin bagi kita untuk dapat memroses setiap gelombang informasi yang menimpa kita setiap waktunya. Maka dari itu, satu-satunya hal yang mungkin untuk menerobos dan menarik perhatian kita ialah potongan informasi yang terlihat istimewa oleh mata kita (Manson, 2018).
Dari sudah dibicarakan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa narsisme memiliki karakteristik dimana seseorang merasa dirinya itu istimewa atau bahkan bisa dikatakan dia merasa bahwa dia berada di tingkat yang lebih tinggi dari orang lain. Hal tersebut tentunya bermasalah, karena self-esteem yang terlalu tinggi membuat seseorang menjadi terlalu percaya diri hingga ke titik dimana ia akan merasa lebih superior dibandingkan dengan orang lain. Hal ini dapat menyebabkan orang tersebut untuk melakukan hal-hal yang dapat merugikan orang lain seperti bullying, dan bahkan ia bisa menjadi agresif hanya karena merasa dirinya merasa dia bisa (RPKFM, 2016).
Salah satu kebahayaan dari narsisme adalah narsisme merupakan salah satu pengaruh positif pada perasaan negatif yaitu kemarahan. Terdapat sebuah teori yang diajukan oleh Baumaster, Smart, dan Boden pada tahun 1996 yang bernama theory of threatened egotism and aggresion dimana mereka berpendapat bahwa penyebab dari tindakan agresi, sering diakibatkan oleh ancaman ego yang dikombinasikan dengan harga diri yang tinggi. Mereka menjelaskannya sebagai sebuah peristiwa yang menantang dan mengancam pandangan istimewa tentang diri mereka sendiri (Nugraheni & Wahyuni, 2016).
Ketika orang yang memiliki narsisme ini merasa ketika harga diri dan egonya terancam, hal yang cenderung muncul adalah emosi seperti marah atau frustasi yang akan berujung menjadi perbuatan agresi. Bushman dan Baumeister menyatakan bahwa narsisme berdasar pada rasa otoritas dan superioritas yang didorong oleh harga diri mereka yang tinggi dan mereka sangatlah sensitif terhadap umpan balik atau informasi yang terlihat negatif di mata mereka (Nugraheni & Wahyuni, 2016).
Rasa keistimewaan pada diri seseoranglah yang menjadi pondasi pada rasa narsisme pada seseorang. Sebuah ide dimana seseorang memang ditakdirkan untuk menjadi istimewa tentunya memang sebuah ancang-ancang yang terlihat manis dimata orang pada umumnya. Sebuah pandangan yang dimana setiap orang pasti akan menjadi sesuatu yang spesial (Manson, 2018). Sebuah perkataan dimana setiap orang pasti bisa dan bahkan berhak untuk menjadi sesuatu yang luar biasa tentu terdengar manis di telinga orang yang memiliki harga diri yang standar atau mungkin rendah. Namun, untuk orang orang narsis yang sudah merasa bahwa keberadaan mereka itu sudah lebih hebat dari orang-orang disekitarnya, tentu akan membuat sifar narsisme itu menjadi semakin parah.
Maka dari itu, salah satu cara untuk setidaknya mengontrol sifat narsisme, meskipun hanya sedikit ialah dengan menyadari bahwa kita tidak seistimewa yang kita pikirkan. Meskipun sedikit counterintuitive tetapi menyadari bahwa diri kita tidak istimewa, itu akan sedikit menurunkan self-esteem dari orang-orang yang memiliki sifat narsisme ini. Yang dimaksud dari kita tidak seistimewa yang kita pikirkan adalah bukan berarti berkata bahwa kita tidak istimewa sama sekali. Melainkan, fakta bahwa setiap orang memiliki keistimewaannya masing-masing. Dan secara logis, jika setiap orang memiliki keistimewaannya masing-masing bukankah memiliki keistimewaan menjadi sebuah hal yang normal? Bahwa menjadi istimewa adalah sesuatu yang dimiliki setiap orang baik dia menyadarinya atau tidak (Manson, 2018).
References
Grison, S., & Gazzaniga, M. S. (2019). Psychology in your life (S. L. Snavely, K. Coats, K. Wildurmuth, E. Lohman, E. Sanoussi, V. Reuter, & D. Belfiore, Eds.; third). W. W. Norton & Company, Inc.
Manson, M. (2018). Sebuah seni untuk bersikap bodo amat (A. F. Susanto, Ed.). PT Gramedia .
Nugraheni, H., & Wahyuni, S. (2016). Pengaruh narsisme dan job stressor pada perilaku kerja kontra poduktif dengan respon emosional negatif (anger) sebagai mediator. Bisnis & Manajemen, 16(2), 49–66.
RPKFM. (2016, October 18). #KLINIKRPK : Low self esteem, kok bisa? RPK96.30FM. https://www.radiopelitakasih.com/2016/10/18/klinikrpk-low-self-esteem-kok-bisa/#:~:text=Self%20esteem%20yang%20terlalu%20tinggi,karena%20merasa%20dirinya%20lebih%20mampu.
Yakeley, J. (2018). Current understanding of narcissism and narcissistic personality disorder. BJPsych Advances, 24(5).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.