Jangan Pendam Semua Masalahmu!! Sebuah Stigma Pada Laki-Laki
Humaniora | 2024-07-06 13:55:18Apa saja sih yang kita pikirkan ketika melihat seorang lelaki? Apakah kita melihatnya sebagai sosok yang lemah lembut atau sebagai sosok yang agresif dan macho? Tentu hal yang kedua lah yang muncul di pikiran kita. Hal tersebut merupakan sebuah produk dari pemikiran seseorang atau stereotype yang sudah kita pasangkan di kepala kita. Seperti bagaimana kita menganggap orang italia sebagai orang yang cenderung pemarah atau jika wanita asia bukanlah pengemudi yang baik. Hal tersebutlah gambaran dari bagaimana kita melihat suatu kelompok dan kita mengeneralisasikan hal tersebut ke orang dengan etnis yang sama, meskipun pada kenyataannya tidak semuanya begitu. Ketika kita sudah membentuk sebuah stereotip pada suatu kelompok, otak kita akan selalu menanggap bahwa itulah bentuk sosial yang ada pada kelompok tersebut (Grison & Gazzaniga, 2019).
Laki-laki akhir-akhir ini sering menjadi korban cacian dan usikan secara verbal, baik secara online dan offline (Venäläinen, 2022). Dan perlakuan ini sudah sangat sering terjaid karena secara umum laki-laki lebih sering mengusapkan segala hal yang dilemparkan kepadanya. Ironisnya, hal tersebut sudah diajarkan semenjak seorang laki-laki itu masih berada di umur yang muda. Sedari kecil, lelaki sudah diajarkan oleh orang tuanya, teman sebayanya, dan masyarakat untuk tidak menangis. Seperti yang sering dikatakan bahwa “laki-laki tidak boleh nangis” (Men and Relationships Counselling, 2020). Meski memang itu membantu laki-laki untuk membentuk dirinya sebagai sosok yang kuat, namun hal tersebut membentuk sebuah kebiasaan pada laki-laki untuk memendam perasaan dan emosi yang dimilikinya. Dan jika dia menampakkannya dia akan terlihat sebagai sosok lelaki yang lemah (Men and Relationships Counselling, 2020).
Pemikiran tersebutlah yang membuat orang-orang, termasuk laki-laki itu sendiri, untuk membentuk sebuah persona yang macho, maskulin, tangguh, dan segala hal yang membuatnya terlihat seperti lelaki sejati. Ketika melihat laki-laki yang berbadan besar dan memiliki otot-otot yang terbentuk sehingga terjiplak di bajunya, secara umum pasti kalian melihat bahwa laki-laki tersebut adalah laki-laki yang sangat tangguh. Perilaku tersebut merupakan salah satu kebiasaan yang sering dilakukan orang-orang untuk menilai seseorang hanya dari penglihatannya pertama kali atau snap judgement (Grison & Gazzaniga, 2019). Namun, laki-laki pun juga manusia dan setiap manusia tidak mungkin terlepas dari yang namanya masalah. Termasuk juga, masalah kesehatan mental dan well-being. Namun sayangnya, sangat kurang sekali orang-orang yang peduli terhadap masalah-masalah yang dimiliki oleh laki-laki ini, bahkan laki-laki berotot besar tadi pun juga mungkin memiliki masalah yang sedang ia pendam dan ia takut keluarkan karena dia takut untuk mengeluarkan sisi lemahnya (Men and Relationships Counselling, 2020).
Terdapat seorang petinju bernama Paddy Pimblett yang berhasil mendapatkan kemenangan atas Jordan Leavitt pada bulan juli 2022 kemarin dan dia mendedikasikan kemenangannya kepada temannya yang telah melakukan aksi bunuh diri (Draper, 2022). Ternyata, selama ini teman dari petinju Paddy Pimblett ini memiliki masalah kesehatan mental yang dia pendam selama ini sampai bahkan sahabatnya sendiri ini pun tidak tahu bahwa dia memiliki masalah tersebut. Pada akhir ronde dimana Paddy Pimblett berhasil mengalahkan Jordan Leavitt di ronde ke dua. Pimblett menyarankan bahwa laki-laki harus segera mulai membuka suara ketika mereka memiliki masalah, apalagi masalah kesehatan mental, karena tidak apa-apa untuk seseorang membicarakan masalahnya jika itu dapat mengehentikannya untuk menyakiti dirinya atau bahkan sampai harus bunuh diri (Draper, 2022).
Kesehatan mental seorang laki-laki adalah sesuatu yang sangat nyata dan sesuatu yang sangat diabaikan oleh masyarakat. Namun, dampak dari pengabaian masalah kesehatan mental ini adalah sudah mulai menarik perhatian dikarenakan bukti-bukti dari masalah mental tersebut sudah mulai muncul ke permukaan (Etienne, 2018). Berdasarkan statistik yang diberikan oleh American Foundation for Suicide Prevention, sudah ada 45,979 kematian yang dialami oleh warga amerika yang disebabkan oleh aksi bunuh diri, dan sudah ada sekitar 1,2 juta percobaan untuk aksi bunuh diri pada tahun 2020 kemarin. Tingkat bunuh diri tertinggi dialami oleh pria berkulit putih sebanyak 69,68% dari jumlah bunuh diri yang terjadi di amerika pada tahun 2020 kemarin (American Foundation for Suicide Prevention, 2020).
Masalah kesehatan mental merupakan sesuatu yang sangat nyata dan sangat patut diperhatikan, apapun gender yang dimiliki oleh orang tersebut. Karena, yang mengalami kesehatan mental adalah manusia. Kita sebagai society harus mulai sadar bahwa laki-laki juga memiliki permasalahan mental dan kita harus bisa berempati dengan orang yang memiliki masalah tersebut. Karena, memberikan sedikit empati dapat menolong satu jiwa sebelum ia mengakhiri semuanya. Dan untuk laki-laki, seperti yang telah dikatakan oleh Paddy Pimblett setelah dia mengalahkan Jordan Leavitt, “Tidak apa-apa untuk bercerita tentang masalah kesehatan mentalmu, kau tidak harus selalu bersikap kuat terhadap semua yang kau hadapi. Tolong, buka suaramu.”
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.