Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Pardomuan Gultom

Posisi Amicus Curiae Dalam Sistem Peradilan

Hukum | Sunday, 21 Apr 2024, 16:11 WIB
Ilustrasi Amicus Curiae (Foto: Petitum.id)

Istilah Amicus Curiae menjadi perbincangan publik tatkala beberapa akademisi di Tanah Air menyampaikan pendapatnya terkait eksistensi Mahkamah Konstitusi yang sedang menangani Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024. Selain kalangan akademisi, turut juga Megawati Soekarnoputri menyampaikan partisipasinya sebagai Amicus ke lembaga pengawal konstitusi itu. Fenomena ini memunculkan pertanyaan, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Amicus Curiae, yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan Sahabat Peradilan, dan bagaimana perkembangan lembaga ini dalam sistem hukum di dunia maupun di Indonesia? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu kiranya dijelaskan apa itu sistem hukum dan bagaimana hubungan Amicus Curiae dengan sistem hukum.

Dalam dunia peradilan, sistem hukum yang diadopsi berimplikasi terhadap penerapan hukum, khususnya bagi hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Majelis Hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara akan mempertimbangkan banyak hal, sekalipun hakim memiliki kebebasan dalam menerapkan hukum atas suatu peristiwa yang telah terbukti kebenarannya sesuai dengan keyakinan hakim.

Pengadilan merupakan tempat dimana para pencari keadilan mencari keadilan yang diharapkan seperti adagium “justitia est constans et perpetua voluntas jus suum cuique tribuendi”, yaitu keadilan adalah kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya.

Penting untuk memahami apa dan bagaimana sistem hukum yang berlaku di Indonesia sehingga kita dapat melihat perkembangan sistem peradilan. Sistem hukum yang dimaksud adalah keseluruhan aturan tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh manusia yang mengikat dan terpadu dari satuan kegiatan satu sama lain untuk mencapai tujuan.

Secara garis besar, ada dua sistem hukum yang berlaku di dunia. Pertama, sistem Eropa Kontinental yang biasa disebut dengan istilah Civil Law System. Sistem ini bersumber dari kodifikasi hukum tertulis (written code), seperti undang-undang (statute), peraturan turunan (regulation), dan kebiasaan yang tidak bertentangan dengan hukum (custom). Pada sistem ini juga seringkali putusan hakim dianggap bukan suatu hukum (Merryman, 1985). Dan yang kedua adalah sistem Anglo-Saxon atau Common Law System, dimana sistem ini memiliki akar sejarah pada tradisi Kerajaan Inggris yang menjadikan putusan pengadilan sebagai basis hukumnya, yaitu ketika suatu perkara diputus oleh hakim, maka putusan tersebut tidak hanya mengikat pihak yang berperkara tetapi juga berlaku umum untuk kasus yang serupa atau biasa disebut yurisprudensi (rechtsgeleerdheid).

Dari kedua sistem tersebut, lantas dimana posisi sistem hukum yang diadopsi di Indonesia? Secara umum, Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental. Akan tetapi, pasca amandemen ketiga UUD 1945, Indonesia menganut sistem hukum Pancasila. Merujuk pendapat Mahfud MD, sistem hukum Pancasila memakai konsep prismatik, yaitu konsep yang mengambil segi-segi yang terbaik dari dua konsep sistem tersebut. Jika sistem Civil Law bertendensi pada konsep Rechtstaat, maka sistem Common Law menjunjung tinggi asas The Rule of Law. Dengan demikian, konsep prismatik pada sistem hukum Pancasila merupakan pertautan antara Civil Law dan Common Law, sebagai konsep tersendiri yang dapat diterapkan sesuai dinamika kehidupan masyarakat di Indonesia (Mahfud MD, 2010).

Dalam konteks ketatanegaraan, pendapat Mahfud MD ini juga sebangun dengan pendapat Jimly Asshiddiqie, yang menyebut bahwa sistem hukum Indonesia tidak terlepas dari tujuh sumber hukum, yakni: nilai-nilai konstitusi yang tidak tertulis, UUD 1945, baik pembukaan maupun pasal-pasalnya, peraturan perundang-undangan tertulis, yurisprudensi peradilan, konvensi ketatanegaraan (constitusional conventions), doktrin ilmu hukum atau pendapat para sarjana hukum yang telah menjadi ius commisionis opinio doctorum, dan hukum internasional yang telah diratifikasi atau ketentuan yang telah berlaku sebagai hukum kebiasaan internasional (Asshiddiqie, 2014).

Perkembangan Amicus Curiae

Amicus Curiae atau sahabat peradilan sebagai tradisi intelektual dalam dunia hukum belum begitu mendapat penerimaan bagi sistem peradilan yang menganut Civil Law System dikarenakan tradisi ini belum mendapat pengakuan sebagai aturan prosedural dalam persidangan atau pengakuan formal dalam peraturan perundang-undangan. Mengenai kapan Amicus Curiae pertama kali diperkenalkan dan mulai dipraktikkan, khususnya dalam sistem Common Law, juga masih menjadi perdebatan dari pada ahli hukum.

Pendapat pertama menyebutkan bahwa Amicus Curiae mulai lazim dipraktikkan di negara-negara yang menganut sistem Common Law sejak abad ke-19, khususnya pada pengadilan tingkat Banding atau pada kasus-kasus besar dan kasus yang dianggap penting. Pendapat kedua menyebutkan bahwa Amicus Curiae pertama kali diperkenalkan dalam sistem Common Law pada abad ke-14 (Gao, 2006).

Awalnya, Amicus Curiae digunakan pada negara-negara yang menganut sistem Common Law, dimana setiap orang yang hadir di pengadilan dapat mengajukan dirinya sebagai Amicus untuk memberikan nasihat atau masukan kepada pengadilan terkait dengan perkara yang sedang diperiksa.

Di abad ke-17 dan 18, partisipasi Amicus Curiae semakin berkembang yang terekam dalam All England Reports. Hal ini bisa dilihat dari Case of Horton and Ruesby pada tahun 1686, dimana pada saat berlangsung pemeriksaannya di pengadilan, seorang anggota parlemen yang bernama George Treby hadir untuk memberikan penjelasan dan pencerahan terkait maksud dari pembuatan Statute of Frauds and Perjuries yang menjadi permasalahan dari kasus tersebut. Kehadiran George Treby di pengadilan pada saat itu dalam memberikan penjelasan dan pencerahan terhadap sebuah kasus yang sedang diperiksa di pengadilan, mengindikasikan adanya praktik Amicus Curiae pada zaman tersebut.

Tradisi Amicus biasanya digunakan dalam yurisdiksi sistem Common Law, seperti Amerika Serikat, yang sudah mapan dalam proses peradilan internasional. Biasanya tradisi ini digunakan oleh kelompok masyarakat sipil (non-governmental organizations/NGO) untuk memberikan opini pembanding sebagai sumber informasi netral bagi pihak yang berperkara, seperti dalam Inter-American Court of Human Rights (IACrtHR) dan Eropean Court of Human Rights (ECrtHR) dalam persidangan yang menyangkut isu hak asasi manusia.

Selain Amerika Serikat, hanya sedikit negara yang mengakui bentuk partisipasi Amicus, seperti Inggris, Kanada, Australia, Kenya, dan Hong Kong. Khusus untuk Inggris dan Kanada, pengadilan dapat menunjuk Amicus Curiae untuk mengumpulkan fakta dan menyerahkan hasil penelitian tanpa bergantung pada upaya para pihak yang berselisih.

Selain penggunaan partisipasi Amicus pada negara-negara yang menganut sistem Common Law, ada juga beberapa perkembangan Amicus pada beberapa negara yang menganut Civil Law, seperti Brazil yang telah mengakomodir praktik Amicus dalam undang-undang di Mahkamah Konstitusi pada tahun 1999. Demikian juga pada tahun 2004, Mahkamah Agung di Argentina dan Mahkamah Konstitusi di Peru secara eksplisit mengizinkan penggunaan Amicus Curiae. Dan tahun 2011, Meksiko juga mengesahkan praktik Amicus dalam hukum acaranya.

Bukan itu saja, berdasarkan peraturan Dewan Eropa (European Council), otoritas antimonopoli negara-negara anggota serta Komisi Eropa (European Commission) pada negara-negara anggota Uni Eropa harus mengakui bentuk partisipasi Amicus, dimana negara-negara anggota dan Komisi Eropa dapat menyampaikan observasi tertulis kepada pengadilan nasional mengenai proses persidangan terkait dengan antimonopoli. Dan observasi lisan sebagai bentuk Amicus juga dapat diberikan oleh otoritas antimonopoli atau Komisi Eropa dengan izin pengadilan. Pengadilan nasional di negara-negara anggota Uni Eropa juga dapat meminta pengajuan Amicus dari otoritas persaingan usaha atau Komisi Eropa dalam proses antimonopoli.

Pengakuan resmi terhadap Amicus Curiae juga dilakukan di Perancis pada tahun 1991 untuk pertama kalinya. Dan baru pada tahun 2010, melalui peraturan Conseil d’Etat (pengadilan administratif tertinggi Perancis) termasuk Cour de Cassation (Mahkamah Agung Perancis) secara resmi memberikan izin pengajuan Amicus. Demikian juga dengan Polandia, secara resmi mengakui Amicus Curiae pada tahun 1997 untuk pengadilan tertinggi (Trybunał Konstytucyjny).

Belanda juga telah memberikan pengakuan terhadap Amicus Curiae melalui undang-undang karena hukum acara sebelumnya tidak memperbolehkan Amicus. Sebagai contoh, Hoge Raad (Mahkamah Agung) di Belanda secara resmi menerapkan Amicus pada tahun 2018 khusus untuk perkara Prejudiciel Vragen (prejudicial question), yaitu mekanisme baru dimana hakim pengadilan tingkat pertama atau banding dapat mengajukan pertanyaan hukum yang penting terkait perkara yang ditanganinya ke Hoge Raad. Selain itu, pada tahun 2021 penerimaan Amicus di Belanda juga diberlakukan untuk peradilan administratif.

Dan yang terkini adalah Jepang, dimana negara ini mulai mengadopsi penerimaan Amicus untuk perkara yang berkaitan dengan sengketa Paten sejak tahun 2022. Lantas, bagaimana penerimaan Amicus Curiae dalam sistem peradilan di Indonesia?

Upaya Amicus Curiae di Indonesia

Penerimaan Amicus di Indonesia dapat dilihat dari beberapa kasus, seperti yang dijelaskan dalam kertas kerja Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) dan Yayasan TIFA dengan judul “Amicus Curiae Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”, yakni: pada tahun 2022, Amicus Curiae disampaikan oleh kelompok masyarakat sipil ke ke Pengadilan Negeri Pekanbaru dalam perkara pidana dugaan pelecehan seksual di kampus Universitas Negeri Riau dan permohonan uji materiil atas Permendikbud No. 31 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi ke Mahkamah Agung.

Amicus Curiae dalam perkembangan peradilan di Indonesia mulai dikenal sejak tahun 2008 dalam perkara Majalah Time melawan Soeharto (Time vs Soeharto), dimana pada 17 Juli 2008 Dewan Pers, Majalah Tempo, The Jakarta Post, dan Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) menyampaikan Amicus melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berpedoman pada Pasal 28 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 2009 setidaknya terdapat dua permohonan Amicus Curiae juga dilakukan dalam perkara tindak pidana, yakni: perkara pidana di Pengadilan Negeri Makassar dengan No.: 197/Pid.B/2009/PN.Mks atas nama terdakwa Upi Asmiranda, yang dituduh melakukan penghinaan melalui berita yang ia tulis (Pasal 317 KUHP) dan perkara pidana di Pengadilan Negeri Tangerang dengan No.: 1269/Pid.B/2009/PN.TN G dengan terdakwa Prita Mulyasari.

Selain itu, di tahun 2010 Amicus Curiae disampaikan oleh para akademisi yang berasal dari lima universitas kepada Mahkamah Agung dalam perkara di tingkat Peninjauan Kembali (PK) atas putusan praperadilan kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah selaku pimpinan KPK. Tahun 2011 disampaikan dalam perkara PK dengan nomor putusan 13 PK/Pid/2011 atas nama terdakwa Erwin Arnada dalam hal kebebasan berpendapat dan berekspresi (Pasal 282 ayat (3) KUHP subsidair Pasal 282 ayat (2) KUHP).

Tahun 2012 dalam perkara pidana di Pengadilan Negeri Muaro Sijunjung dengan No: 45/Pid.B/2012/PN.MR atas nama terdakwa Alexander An Pgl Aan dalam hal kebebasan berpendapat dan berekspresi serta kebebasan beragama atau berkeyakinan (Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45 UU No. 11 Tahun 2008). Tahun 2013 dalam perkara tindak pidana narkotika dengan terdakwa Lindsay Sandiford yang divonis pidana mati di tingkat kasasi Mahkamah Agung.

Di tahun 2014 terdapat tiga perkara, yaitu: pertama, perkara tindak pidana penggelapan pada Pengadilan Negeri Denpasar dengan No:780/PID.B/2014/PN.DP S atas nama terdakwa March Vini Handoko Putra. Kedua, dalam perkara PK dengan nomor Putusan 787/K-Pid.Sus/2014 atas nama Indar Atmanto (Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Dan ketiga, dalam perkara perkara tindak pidana korupsi di Pengadilan Tipikor Jakarta atas nama terdakwa Budi Mulya (Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

Di tahun 2015 terdapat dua perkara, yakni: perkara tindak pidana yang melanggar Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 UU ITE dengan perkara Nomor 382/Pid.Sus/2014/PN.Yyk di Pengadilan Negeri Yogyakarta atas nama terdakwa Florence Sihombing dan perkara tindak pidana pembunuhan di Pengadilan Negeri Muara Bulian No.: 75/Pid.B/2015/PN.MBN dengan korban bernama Indra Pelani.

Di tahun 2016 terdapat tiga perkara, yakni: perkara tindak pidana pembunuhan berencana terhadap aktivis tani (Salim Kancil dan Tosan); perkara pidana No.: 344/Pid.B/2016/PN.JKT. PST atas nama terdakwa Igor Gemdita yang didakwa melanggar Pasal 216 ayat (1) jo. Pasal 218 KUHP; dan perkara pidana No: 355/Pid.B/2016/PN.JKT.PST atas nama terdakwa Obed Sakti yang didakwa melanggar Pasal 216 ayat (1) jo Pasal 218 KUHP.

Di tahun 2017 juga terdapat tiga perkara, yakni: perkara tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat (3) UU ITE) yang diperiksa Pengadilan Negeri Makassar atas nama terdakwa Yusniar; perkara penodaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan nomor perkara 1537/Pid.B/2016/PN.JKT.UTR; dan perkara tindak pidana mendistribusikan dokumen elektronik yang memiliki muatan kesusilaan atau penghinaan (Pasal 27 ayat (1) UU ITE) pada Pengadilan Negeri Mataram dengan terdakwa Baiq Nuril.

Dan di tahun 2018 terdapat empat perkara, yakni: perkara dugaan salah tangkap Asep Sunandar bin Sobri pada perkara pidana No.: 2227/Pid.B/2016/PN.Jkt.Brt. di Pengadilan Negeri Jakarta Barat; perkara tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara yang diperiksa di Pengadilan Negeri Banyuwangi dengan nomor perkara 559/Pid.B/2017/PN.Byw atas nama terdakwa Heri Budiawan; perkara tindak pidana narkotika atas nama terdakwa Irwan Susetyo alias Tyo Pakusadewo; perkara tindak pidana aborsi pada Pengadilan Tinggi Jambi dengan nomor perkara 6/PID.SUS/-Anak/2018/JMB; dan perkara tindak pidana penistaan agama (Pasal 156 KUHP) atas nama terdakwa Meliana pada Pengadilan Negeri Medan.

Dasar yang Digunakan

Meskipun penggunaan Amicus Curiae belum mempunyai dasar hukum yang diatur secara tegas dalam undang-undang atau aturan formal persidangan, namun dari beberapa perkara yang tindak pidana dalam kurun waktu 14 tahun terakhir menujukkan bahwa Amicus Curiae menjadi tradisi baru dalam sistem peradilan di Indonesia. Hal ini didukung secara implisit oleh norma yang diatur oleh beberapa produk hukum, seperti Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 180 ayat (1) KUHAP, dan Pasal 89 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Selain perkara tindak pidana, kemungkinan untuk menjadi Amicus Curiae juga diberikan dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, baik itu perkara pengujian undang-undang maupun perkara PHPU. Dalam hal perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden, adanya peluang Amicus Curiae diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 4 Tahun 2023 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Pasal ini mengatur tentang para pihak yang ada dalam perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden, dimana salah satu pihak yang disebutkan adalah “pihak lain yang diperlukan sebagai Pemberi Keterangan”, selain pihak Pemohon, Termohon, pihak Terkait, dan Bawaslu. Dengan demikian, dapat ditafsirkan bahwa pihak lain yang diperlukan sebagai Pemberi Keterangan adalah pihak ketiga yang tidak termasuk dalam perkara, namun dapat memberikan keterangan apabila majelis hakim konstitusi memandang perlu.

Dalam perkara pengujian undang-undang, Mahkamah Konstitusi juga memberikan peluang pihak ketiga sebagai Amicus Curiae. Posisi tersebut dapat dilihat dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Pasal ini mengatur tentang keberadaan Pihak Terkait yang dapat berperan dalam perkara pengujian undang-undang, yakni pihak yang berkepentingan langsung dan/atau pihak yang berkepentingan tidak langsung dengan pokok permohonan. Pihak yang berkepentingan langsung dengan pokok permohonan yang ditentukan dalam pasal tersebut, antara lain: perorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau badan hukum privat, atau lembaga negara. Sedangkan pihak yang berkepentingan tidak langsung dengan pokok permohonan dapat dimaknai sebagai Amicus Curiae atau pihak ketiga diluar dari pihak yang berperkara, namun masih berkepentingan terhadap perkara pengujian undang-undang.

Oleh karena itu, pengajuan Sahabat Peradilan yang disampaikan oleh kalangan akademisi, Megawati Soekarnoputri, ataupun pihak lain yang diluar dari pihak berperkara dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024 merupakan tradisi baru dalam penanganan sengketa pemilu yang keterangannya dapat didengar atau dibaca oleh majelis hakim konstitusi sebagai suatu bahan pertimbangan di dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024.

Sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, publik sedang menunggu putusan MK terkait perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 22 April 2024. Kiranya putusan tersebut bebas dari segala bentuk intervensi pihak manapun dan dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK sebagai lembaga pengawal konstitusi yang sesungguhnya.

*) Pengajar Hukum Tata Negara di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Graha Kirana.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image