Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Bustanol Arifin

Ibada Puasa Dua Dimensi, Lahiriah dan Batiniah

Agama | Saturday, 16 Mar 2024, 15:45 WIB
Ilustrasi orang berpuasa dari makan dan minum | pixabay.com/pinterastudio

Secara bahasa, puasa berarti menahan diri dari sesuatu. Sedangkan secara istilah, para ulama mendefinisikan ibadah puasa dengan menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkannya sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan, yakni mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.

Sedikitnya, ada 9 hal yang dapat membatalkan puasa (lihat kitab Fathul Qarib). Sesuatu yang masuk dengan sengaja melalui jauf (lubang yang ada di tubuh), suntik obat ke dalam salah satu dari dua jalan kotoran (qubul dan dubur).

Muntah dengan sengaja, memasukkan alat kelamin ke dalam farji (baik qubul maupun dubur) secara sengaja, keluarnya air mani disebabkan selain jima' baik yang diharamkan maupun tidak, haid, nifas, gila dan murtad.

Sesuai dengan definisi ibadah puasa tersebut di atas, selama sebulan penuh kita diperintah oleh Allah SWT dan Rasul-Nya untuk menahan diri agar tidak melakukan apa-apa yang dapat membatalkan ibadah puasa kita.

Paling tidak, sembilan pembatal puasa tersebut di atas harus mampu kita jauhi. Tentu saja, hal demikian harus dikerjakan dengan penuh kesadaran, diiringi niat tulus memenuhi seruan, menjalankan perintah Allah SWT serta keikhlasan demi mendapatkan ridha-Nya.

Namun demikian, bagi insan beriman sekadar berpuasa atau menahan diri dari haus dan lapar serta pembatal lainnya, belumlah cukup. Sebab, puasa Ramadan merupakan ibadah paling istimewa di sisi Allah SWT.

Terlebih, bila kita hendak mendapatkan derajat takwa melalui kegiatan ibadah puasa ini. Maka, perlu juga berpuasa atau menahan diri dari pembatal puasa yang sifatnya lahiriyah sekaligus batiniah.

Lahiriyah, yakni berpuasa atau menahan diri dari segala pembatal yang tampak oleh mata. Sebagaimana sudah dijelaskan di awal. Adapun batiniah, ini berkaitan dengan jiwa kita, hati serta pikiran kita atau sesuatu yang tidak nampak oleh mata.

Semisal dengki, iri, benci, dendam, sombong, riya', sum'ah dan lain sebagainya. Darinya lahir buah pikiran dan tindakan seperti berbohong, berkata kotor, kasar, cabul, keji dan mungkar, ghibah, fitnah serta tindakan lainnya.

Muaranya memang ada di hati, sehingga secara kasat mata tak tampak dan mampu menipu atau mengelabuhi orang lain. Hanya Allah SWT yang maha mengetahui isi hati kita masing-masing, bersih atau kotor.

Laku seperti ini secara fikih atau lahiriyah, puasanya tidak batal. Hanya saja, mengurangi pahala bahkan tidak dapat apa-apa kecuali haus dan lapar. Inilah yang dikhawatirkan nabi Muhammad SAW: "Betapa banyak orang yang berpuasa, namun ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga." (H.R: An-Nasa'i).

Para ulama bersepakat bahwa yang dimaksud dengan “berpuasa namun tidak mendapat apa-apa” adalah berpuasa secara formalitas dan menggugurkan kewajiban saja, yakni tidak makan dan minum dari terbit fajar sampai waktu berbuka.

Namun, perilaku menggungjing, bergosip, memfitnah, mengolok-olok, berkata jorok, riya’ dan lainnya tetap dilakukan. Dalam arti lain, mulut kita puasa dari makan dan minum tetapi hati dan lisan kita membatalkannya.

Oleh karenanya, agar puasa kita berkualitas dan mengantarkan kita mendapatkan derajat takwa. Penting bagi kita semua untuk mempuasakan dua dimensi ini, lahiriyah dan batiniah. Wallahu a'lam

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image