Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image sucahyo adi swasono@PTS_team

Jurnalisme, Idealitas dan Realitas

Eduaksi | Friday, 01 Mar 2024, 12:57 WIB
dokpri

Memaknai “jurnalistik” sebagaimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah seni kejujuran yang bersangkutan dengan pemberitaan dan persuratkabaran. Begitulah yang tertera dalam alternatif makna leksikal, yang sudah barang tentu patut dianalitikkan ke dalam gramatikal-kontekstualnya, guna mewujudkan objektivitas nilai informasi yang berimbang, apa adanya. Jauh dari mengada-ada, diada-adakan yang seharusnya menghindari kesan lingkup subjektif. Begitulah prinsipalnya, suka atau tak suka.

Oleh karenanya, kali ini, saya mencoba dan sekedar mengingatkan bahwa di kala kita telah berkecimpung di ranah jurnalisme atau jurnalistik, apakah sebagai jurnalis, kolumnis, atau wadah yang mengelola jurnalistik dengan segala aspek yang terkandung di dalamnya, maka wajib mengimplementasikan ke dalam wujud yang real, seperti apakah tentang intrinsik dan ekstrinsiknya suatu jurnalistik sebagai bangunan yang bertugas melayani kebutuhan dan kepentingan publik dalam hal kebenaran (Bill Kovach).

Dengan kata lain, orientasi terhadap ruh filosofis “kebenaran” melalui warta yang diungkapkan dalam bahasa jurnalistik, wajib ditegakkan dalam situasi dan kondisi apapun dan bagaimanapun.

Sembilan elemen (prinsip) jurnalistik yang layak, patut ditegakkan, dijaga dan dipelihara oleh semua komponen yang terlibat di ranah jurnalistik ideal dan berimbang dalam menyuarakan kebenaran, adalah sebagai beriut:

1) Kewajiban jurnalistik yang pertama dan utama adalah berpihak
kepada kebenaran, tanpa pengecualian.
2) Loyalitas (kesetiaan) yang pertama adalah kepada warga publik.
3) Esensi jurnalistik adalah disiplin verifikasi.
4) Para praktisinya (jurnalis) harus menjaga indepedensi dari objek liputannya.
5) Jurnalis harus menjadikan dirinya sebagai pemantau independen kekuasaan
6) Jurnalis harus memberikan forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan titik temu yang solusif, bilamana terjadi selisih antara publik dan pelaku jurnalistik.
7) Jurnalis harus membuat hal penting menjadi menarik dan relevan.
8) Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional.
9) Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personilnya.

Kebenaran dalam konteks jurnalistik adalah fakta, data, atau peristiwa, kejadian yang sebenar-benarnya. Pelaku jurnalistik haram untuk memanipulasinya, atau tidak boleh melalukukan framing, atau menyampaikan informasi yang bertolak belakang dengan fakta realita kejadian yang sesungguhnya, dan jangan sekali-kali dilakukannya demi ruh filosofis menjaga dan mengawal kebenaran obijektif ilmiah dan universal.

Jurnalis mengabdi kepada publik atau pembacacanya. Memang benar, sang jurnalis itu tidak lepas dari soal bekerja kepada perusahaan media yang punya kepentingan tersendiri, namun tugas utamanya adalah melayani publik, memenuhi rasa ingin tahu publik, dan memberi informasi yang sebenar-benarnya kepada pembaca ataupun pemirsa.

Disiplin verifikasi adalah hakikat jurnalistik yang membedakannya dengan isu, gosip, rumor, atau desas-desus. Jurnalis wajib melakukan check and recheck, konfirmasi, klarifikasi dengan cara memastikan kebenaran sebuah peristiwa. Verifikasi itu pula yang akan menghindarkan sang pelaku jurnalistik dinyatakan sebagai penyebar berita palsu atau hoax. Kembali, transparansi dan kejujujuran adalah basis bagi pelaku jurnalistik.

Pelaku jurnalistik wajib bersikap independen, bebas dari kecenderungan apapun terhadap objek pemberitaan. Dalam hal ini, dipersilakan memadukan antara opini dan fakta, tanpa harus membuat fakta menjadi abu-abu maupun menjadi keruh. Pelaku jurnalis hanya dipersilakan mengemukakan pendapatnya di kolom opini, bukan dalam berita yang dikonsumsi oleh publik. Oleh karenanya, bukan sesuatu yang asing dalam hal kolom opini, selalu diterakan oleh pengelola media jurnalistik yang demikian, yakni “Setiap artikel (isi) menjadi tanggung jawab penulis”. Gamblang bin jelas, ya? Nah, dengan demikian, tidak ada alasan apapun yang dibenarkan sebagai pengelola media jurnalistik yang pada suatu ketika men-delete atau men-takedown sebuah artikel di sebuah kolom, yang sepihak dan hanya dengan bermodalkan atau mengatasnamakan kode etik jurnalistik yang sudah tak lagi pada porsinya. Kenapa? Bukankah telah di gamblangkan bahwa “Setiap artikel (isi) menjadi tanggung jawab penulis?”

Oleh karenanya, bila sebuah artikel dalam suatu kolom yang ternyata dianggap “mengusik” keberadaaan pengelola media jurnalistik, kenapa harus hiperaktif dengan jalan men-delete artikel tersebut?

Simpel saja sebenarnya, kembalikan pada khittah yang gamblang tersebut, yakni (kali ketiga harus saya ulang): “Setiap artikel (isi) menjadi tanggung jawab penulis”. Maka, biarkan mekanisme hukumlah yang akan bicara dan wajib dijalankan tanpa mengabaikan prinsip filosofis jurnalistik dengan segala varian yang ada di dalamnya, das sein maupun das sollen-nya. Apalagi, kita punya pijakan yuridis formal, bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” (Pasal 27 ayat 1 UUD 1945). Artinya, serahkan saja kepada mekanisme hukum positif di negeri ini, selesai.

Undang Undang Pers pun menegaskan, bahwa fungsi pers adalah sebagai pengawas atau social control. Artinya, pelaku jurnalis adalah sebagai watchdog – penjaga, yang mengkritisi kebijakan pemerintah/negara dan perilaku masyarakat.

Pelaku jurnalistik dengan pewartaannya, sudah selayaknya dan seharusnya membuka ruang bagi pembaca untuk berkomentar, memperkaya informasi, menyampaikan hak jawab, atau bahkan koreksi yang sesungguhnya. Di samping itu, pelaku jurnalistik harus bertugas membuat berita agar menarik perhatian dan relevan dengan kepentingan dan kebutuhan publik.

Pemberitaan harus menyeluruh, melingkupi 5W +1 H ( What, Where, Why, When, Who and How), sehingga tidak menyisakan tanya. Kemudian, pelaku jurnalistik diizinkan mendengarkan atau mengikuti hati nurani yang tidak bisa dibohongi atau takkan bohong. Pelaku jurnalistik mempunyai pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggung jawab sosial.

Perkembangan selanjutnya, dengan munculnya teknologi informasi atau internet, Bill Kovach dan Tom Rosentiel menambahkan satu lagi sebagai elemen prinsip jurnalistik, yakni:

10) Warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang terkait dengan pewartaan.

Sehingga itulah, yang semula prinsip jurnalistik adalah Nine Principles (9-P seiring dengan perkembangan zaman menjadi Ten Principles (10-P). Warga bukan lagi sekedar konsumen pasif dari suatu media, tetapi juga menciptakan media sendiri dengan munculnya Blog, Jurnalisme Online, Jurnalisme Warga (Citizen Journalism), Jurnalisme Komunitas (Community Journalism), dan media alternatif. Warga dapat menyumbangkan pemikiran, opini, berita dan sebagainya. Dengan demikian, pada gilirannya akan mendorong perkembangan jurnalistik juga.

Selanjutnya, hakikat dan prinsip jurnalistik sebagai pengawal dan penjaga kebenaran yang objektif ilmiah dan universal dalam pewartaannya guna memenuhi kebutuhan dan kepentingan publik, yakni akses mendapatkan informasi yang berimbang, sudahkah mewujud dalam tataran praktiknya? Ataukah masih terkontaminasi oleh hegemoni dan politik kekuasaan, sehingga laksana hidup segan mati tak mau, bagai kerakap di atas batu ..?

Sekian dan terima kasih, Salam Seimbang Universal Indonesia Nusantara ...

*****

Kota Malang, Maret di hari pertama, Dua Ribu Dua Puluh Empat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image