Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alfin Nur Ridwan

Forum Pencerdasan Politik yang Kurang Mendapatkan Esensinya

Politik | Wednesday, 28 Feb 2024, 18:22 WIB
Dok: PC IMM Sukoharjo

Sebagai bentuk pencerdasan politik untuk para kadernya, tepat di tanggal 3 Desember 2023 lalu, Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC IMM) Kabupaten Sukoharjo melalui bidang Immawati yang ada di dalamnya menyelenggarakan Seminar Keperempuanan. Seminar bertemakan “Partisipasi Perempuan dan Kaum Muda dalam Politik Kebangsaan” tersebut diadakan di ruang Utsman bin Affan lantai enam, Fakultas Kedokteran, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Pada acara seminar tersebut, PC IMM Sukoharjo mengundang Sri Marnyuni, selaku Wakil Ketua Komisi B DPRD Provinsi Jawa Tengah, dan juga Mochammad Edward Trias Pahlevi, selaku perwakilan dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah sebagai pembicara. Secara kapasitas dan kompeten saya rasa tak salah jika IMM Sukoharjo memilih keduanya sebagai pembicara. Yang satu – Mochammad Edward – mempunyai pemahaman betul akan posisi muhammadiyah dalam perpolitikan bangsa ini, dan satunya – Sri Marnyuni – cukup kaya pengalaman dalam ruang gerak politik praktis.

Akan tetapi, selama kurang lebih 120 menit acara berlangsung, ada beberapa poin dari pemaparan materi yang dirasa kurang pas untuk disampaikan. Tema besar acara tersebut soal mendorong partisipasi kaum muda khususnya wanita dalam konstelasi politik kebangsaan nampaknya belum begitu masuk kepada para audiens yang hadir di acara tersebut. Terlebih, tak sedikit para ibunda-ibunda dari Nasyi’atul ‘Aisyiyah dan ‘Aisyiyah yang juga turut hadir dan menyempatkan waktunya untuk sama-sama menyimak jalannya acara tersebut.

Pengalaman Tak Menjawab Pertanyaan

Tulisan ini tidaklah berangkat dari maksud untuk menjatuhkan apalagi menganggap rendah pembicara yang memberikan pemaparan materinya. Melainkan, hanya sedikit kegelisahan, karena penulis rasa poin-poin inti yang menjadi tujuan diadakannya seminar itu kurang bisa didapat oleh pendengar dan disampaikan oleh pembicara.

Sebuah pengalaman yang dimiliki seseorang memang terkadang bisa menjadi pembelajaran tersendiri bagi dirinya pribadi ataupun bagi orang lain yang mendengarkannya. Hal tersebut tak jarang menjadi bahan materi yang disampaikan oleh seorang pembicara dalam sebuah forum dengan maksud para audiens bisa mengambil hikmah ataupun mengikuti jejaknya dari pengalaman yang diutarakannya itu.

Namun, dalam sebuah forum khususnya seminar, para peserta yang datang biasanya dari berbagai kalangan dan dari berbagai latar belakang permasalahan atau kegelisahan yang berbeda. Dalam hal ini, tentunya seorang pembicara pun harus bisa memahami latar belakang para audiensnya lewat Term of Reference (TOR) yang diberikan oleh panitia pelaksana kepadanya. Harus juga mempersiapkan poin-poin apa saja yang sekiranya dapat dengan mudah dicerna oleh para pendengarnya. Sehingga nantinya, tema dan pembawaannya pun bisa sejalan.

Dalam acara seminar keperempuanan yang diadakan oleh PC IMM Sukoharjo tersebut, penulis rasa salah satu pembicara terlalu kompleks membagi pengalamannya kepada para hadirin yang datang. Berbekal pengalaman empat periode dalam menduduki kursi parlemen, serta berlabelkan anggota salah satu partai politik (parpol), membuat panggung yang disediakan baginya tersebut dimaksimalkan betul olehnya untuk mendongeng segala hal yang berhubungan dengan pemerintahan, program kerja, hingga cairnya suatu dana.

Pengalaman yang disampaikannya tersebut tidaklah salah dan juga tidak dipersalahkan. Namun, muatan pengalamannya yang terlalu berlebih yang penulis rasa kurang bisa menjawab tema yang sedang diangkat dalam acara tersebut. Pertanyaan dari salah seorang ibunda ‘Aisyiyah mengenai pendekatan pentingnya berpolitik bagi perempuan di daerah asalnya pun hasilnya malah dijawab dengan janji-janji segala pencairan proyek yang nantinya akan kembali pada Muhammadiyah. Apa yang disampaikannya tersebut justru memang berkesan baik, akan tetapi, persoalan yang dipertanyakan dalam forum tersebut agaknya kurang bisa dijawab dengan singkat dan lugas oleh salah satu pemateri dengan waktu yang terbatas.

Karena, apa yang ditanyakan oleh salah seorang ibunda dari ‘Aisyiyah tersebut nampaknya memang sesuai dengan kondisi realitas di lingkungan kita. Berdasarkan data dari World Bank saja di tahun 2019, Indonesia menempati peringkat ke-7 di ASEAN sebagai negara dengan partisipasi politik perempuan di dalamnya. Ini menunjukkan bahwa UU No. 2 tahun 2011 tentang partisipasi 30% perempuan dalam kursi parlemen belum juga menumbuhkan kesadaran para perempuan di negeri ini untuk berpolitik.

Dari hal tersebutlah, penulis rasa, dalam acara-acara sejenis seminar tentang politik kebangsaan, permasalahan mengenai kurangnya kesadaran para kartini muda di negeri ini haruslah di temukan solusinya. Forum-forum seperti itu sudah idealnya memiliki output terhadap hadirnya kesadaran para perempuan untuk ikut dalam konstelasi perpolitikan di negeri ini.

Muhammadiyah Tidak Terikat dengan Parpol

Dalam buku Ijtihad Politik Muhammadiyah:Politik Sebagai Amal Usaha yang ditulis oleh Dr. Zuly Qodir, Dr. Achmad Nurmandi, dan Dr. M. Nurul Yamin, menyebutkan bahwa, ijtihad Amien Rais membentuk Partai Amanat Nasional (PAN) tentu sesuatu kemajuan besar bagi Muhammadiyah, sekalipun akhirnya antara PAN dan Muhammadiyah tampak berjalan sendiri-sendiri, sebab dialog tidak selalu berjalan dengan “mulus dan dialektis” sehingga kadang muncul pula paradoks di sana antara aktivis PAN dengan Muhammadiyah sebagai ormas yang jamaahnya paling banyak mendukungnya.

Walaupun memiliki jejak historis dalam hal politik praktis, Muhammadiyah hingga kini secara tegas tidak memiliki keberpihakan terhadap salah satu parpol. Hal tersebut telah lama secara tegas tertuang dalam Muktamar Muhammadiyah tahun 1971 di Ujungpandang (Makasar). Namun, bukan berarti Muhammadiyah acuh terhadap perpolitikan di negeri ini. Prof Haedar Nashir, dalam beberapa kali kesempatan senantiasa menegaskan bahwa, usaha politik yang dilakukan oleh Muhammadiyah itu berupa keikutsertaan Muhammadiyah dalam membangun peradaban dan kesejahteraan di negeri ini dari berbagai aspek kehidupan.

Terlepas dari itu, satu hal lagi dalam seminar keperempuanan tersebut yang menurut penulis agak kurang pantas disampaikan adalah perihal ajakan dari salah satu pemateri untuk turut bergabung dalam parpol yang diikutinya. Bukan tanpa persiapan, dalam pemaparan meterinya pun, beberapa kali sang pemateri mencurahkan bagaimana kontribusi yang telah ia lakukan dengan parpolnya untuk Muhammadiyah. Yang mana, di akhir sesi, ajakan untuk masuk ke dalam parpol tersebut ditawarkan kepada audiens yang hadir pada acara tersebut.

Jika dilihat, di satu sisi memang dapat kita apresiasi bahwa, kemajuan Muhammadiyah dalam menjalankan politik kebangsaannya merupakan hasil dari usaha para kader-kader Muhammadiyah yang berhasil menembus kursi parlemen. Akan tetapi, aneh rasanya jika ajakan untuk ikut turut bergabung dalam salah satu parpol tersebut tidak diimbangi dengan upaya pencerdasan dan penyadaran politik terhadap masyarakat khususnya Muhammadiyah. Bias tentunya. Walaupun, kebebasan memilih itu dikembalikan lagi pada setiap individunya.

Perlu diingat juga, Asep Purnama Bachtiar, selaku Sekretaris Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah menyampaikan dalam sebuah diskusi publik yang diadakan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada 2010 silam. Ia menekankan, meskipun berpolitik merupakan hak asasi setiap orang tetapi, kepentingan parpol janganlah sampai masuk ke dalam organisasi. Apa yang disampaikan Asep Purnama 13 tahun silam itu sebenarnya memberi pesan kepada kita agar senantiasa selektif dan memperhatikan betul setiap ide dan gagasan yang dibawa oleh setiap calon legislatif ataupun eksekutif.

Jangan sampai, keawaman segelintir masyarakat kita tentang politik dimanfaatkan oleh mereka yang sekalipun kader Muhammadiyah berada dalam salah satu parpol dengan hanya untuk memasukkan kepentingan parpolnya tersebut dalam persyarikatan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image