Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Shalat sebagai Standar Penilaian Para Salaf dalam Mengambil Guru

Agama | Thursday, 25 Jan 2024, 17:25 WIB
Dokumen pesantren Jember

Shalat menempati posisi sentral dalam ajaran Islam. Bagi umat Muslim, shalat bukan sekadar rutinitas ibadah, melainkan cerminan kualitas keimanan. Tak heran jika shalat menjadi tolok ukur utama dalam menilai sejauh mana seseorang patut dijadikan guru dan teladan.

Para ulama salaf sangat memperhatikan shalat sebagai standar mengambil guru dan pendidik. Mereka tidak sembarangan menerima siapa pun menjadi guru, melainkan meneliti terlebih dahulu kualitas shalat calon guru tersebut.

Abul ‘Aliyah Râfi’ bin Mihran ar-Riyahi, ulama besar kaum tabi’in yang wafat pada 93 H, pernah berkata, “Kami jika hendak menuntut ilmu dari seseorang, terlebih dahulu memperhatikan shalatnya. Jika shalatnya baik, kami belajar kepadanya. Sebaliknya jika shalatnya buruk, kami enggan mengambil ilmu darinya.”

Pernyataan senada disampaikan Imam Ibrahim an-Nakhâ’i, ulama tabi’in lainnya yang wafat pada 96 H. Ketika ditanya tentang praktik para ulama zamannya dalam memilih guru, Imam Ibrahim menuturkan bahwa mereka selalu memperhatikan kualitas shalat, akhlak, dan perilaku calon guru. Jika dinilai baik, barulah mereka sudi berguru kepadanya.

Mengapa shalat menjadi ukuran utama bagi para salaf dalam menilai layak tidaknya seseorang dijadikan guru? Hal ini tak lepas dari pemahaman mendalam mereka terhadap kedudukan shalat yang sangat agung dalam Islam.

Allah SWT sendiri telah menjadikan shalat sebagai amalan pertama yang akan dihisab di hari Kiamat kelak. Lalu bagaimana mungkin mereka merasa tenang menuntut ilmu dari orang yang shalatnya saja tidak terjaga? Tentu saja hal itu akan berpengaruh pada kualitas ilmu yang mereka peroleh.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat itu adalah tiang agama. Barangsiapa yang mendirikan shalat maka ia telah menegakkan agama, dan barangsiapa yang meninggalkannya maka ia telah merobohkan agama.” (HR. Baihaqi)

Hadits ini menggambarkan betapa fundamentalnya shalat bagi tegaknya agama seseorang. Shalat yang baik mencerminkan kepatuhan seorang Muslim dalam menjalankan perintah agamanya. Sebaliknya, shalat yang buruk menunjukkan longgarnya ikatan seseorang dengan Tuhannya.

Oleh karena itu wajar jika para salaf sangat berhati-hati dalam memilih siapa yang layak dijadikan panutan. Mereka hanya mau belajar dari orang yang benar-benar menjaga shalatnya dengan baik, karena hal itu mencerminkan ketaatannya kepada Allah dan Rasul.

Dalam muqaddimah kitab Ad-Durar As-Saniyyah, Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilali menjelaskan bahwa untuk menjadi seorang guru atau ulama, syarat utamanya adalah ia harus sudah mendirikan shalat dengan sebaik-baiknya. Karena shalat adalah tiang agama, maka bagaimana mungkin seseorang bisa menjadi pemimpin umat jika shalatnya saja belum benar?

Prinsip inilah yang dipegang teguh oleh para salaf dahulu. Mereka sangat berhati-hati memilih siapa yang layak dijadikan guru. Sebab guru yang shalatnya baik akan menorehkan pengaruh positif terhadap muridnya. Sementara guru yang shalatnya buruk justru akan berdampak buruk pula.

Di zaman modern seperti sekarang, prinsip para salaf tersebut patut menjadi pelajaran bagi setiap Muslim. Khususnya para orang tua dan pendidik, sudah selayaknya memperhatikan shalat anak-anak sejak dini. Jadikanlah shalat sebagai ukuran utama dalam mendidik generasi penerus Islam.

Dengan demikian, kelak mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang kokoh dalam beragama dan meneladani para salafus shalih dalam mendahulukan kualitas shalat. Wallahu a’lam bish shawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image