Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Partai-Partai Nasionalis dan Jalan Persatuan Nasional

Politik | Friday, 19 Jan 2024, 06:20 WIB
Selama ini, identifikasi terhadap partai-partai nasionalis masih menyisakan perdebatan. Memang, dalam kehidupan politik yang dihuni oleh partai-partai yang tidak punya basis ideologi yang jelas, identifikasi partai nasionalis dan bukan memang terasa sulit.

Saya menilai Sejak Bung Karno Dikudeta 1967, kategorisasi ideologis terhadap parpol di Indonesia sulit dilakukan karena eksistensi ideologi semua parpol hanya tersimpan sebagai dokumen organisasi.

Dalam artikulasi politiknya, hampir tidak ada perbedaan antara partai-partai yang berbeda ideologi itu.

Kesulitan tersebut, juga terjadi saat hendak memilah antara partai nasionalis dan neoliberal. Menurutnya, hampir semua partai sulit melakukan ‘positioning politik’ ketika ideologi neoliberal mendominasi kehidupan politik nasional.

dikotomi yang masih diterima banyak orang saat ini adalah ‘nasionalis-religius’ versus ‘nasionalis-sekuler’. Sementara dikotomi antara ‘nasionalis’ versus ‘kapitalis/liberalis’ belum begitu meluas.

Memang... secara prinsip, seluruh partai di Indonesia adalah nasionalis. Alasannya, semua parpol Indonesia berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. Kalau ada partai yang mengaku agamais, itu tak lebih dari pertimbangan basis massa. Karena basis massanya muslim, maka disebut sebagai partai Islam. Memang...semua partai di Indonesia sebetulnya nasionalis karena semuanya menyetujui berlandaskan pada Pancasila, termasuk partai-partai berbasiskan agama. Hanya saja, menurut dia, tafsir masing-masing partai terhadap Pancasila bisa berbeda.

Prinsip Pancasila 1 Juni 1945 itu adalah azas Kebangsaan. Kita harus mengakui negara ini sebagai negara republik. Jadi, anda beragama tidak boleh mencederai azas kebangsaan kita.

karena semua partai Indonesia berlandaskan pada Pancasila, maka dikotomi antara partai agama dan sekuler tidak tepat. Sebab, Pancasila juga mengandung prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa.

untuk meraba mana partai nasionalis dan bukan, sederhana saja. kita harus melihat pada sikap dan keberpihakan partai-partai tersebut pada kepentingan nasional.

Partai-partai yang memperjuangkan kepentingan nasional, itulah partai nasionalis. Sebaliknya, kendati azasnya dicantumkan nasionalis, tetapi jika tidak memperjuangkan kepentingan nasional, itu bukan nasionalis.

Hambatan Bagi Persatuan

Untuk menyelesaikan persoalan bangsa saat ini, partai-partai nasionalis disodori proposal agar bersatu. Namun, upaya mempersatukan partai-partai nasionalis itu bukanlah perkara gampang.

agenda mempersatukan partai-partai nasionalis sangat sulit dilakukan dalam iklim demokrasi neo-liberal yang lebih mengedepankan kompetisi.

Bisakah caleg-caleg yang sudah habis sekian banyak, bahkan ada yang stress, juga partai yang sudah sibuk bersaing satu sama lain, mau diajak bersatu.

Selain itu, hambatan bagi persatuan partai-partai nasionalis juga terletak pada identifikasi nasionalis dan bukan. Sebab, hampir semua partai di Indonesia mengaku nasionalis dan tidak satupun yang mau dicap neoliberal.

Sementara, kepentingan sempit parpol menjadi faktor penghambat bagi bersatunya partai-partai nasionalis. Menurut saya pribadi, kepentingan sempit parpol nasionalis itu tercermin dari kuatnya ambisi untuk berkuasa sendiri dan sikap ngotot partai-partai nasionalis mengusung capres masing-masing.

Dalam situasi seperti itu, bila tidak ada yang mau mengalah, maka jalan persatuan menjadi tidak mungkin.

partai-partai nasionalis seharusnya mengedepankan persoalan bangsa dan rakyat marhaen ketimbang kepentingan sempit parpol masing-masing.

Dalam konteks koalisi, setiap parpol mestinya mendorong agenda politik bersama apa yang bisa disepakati dan diperjuangkan dalam kerangka menyelesaikan persoalan bangsa saat ini.

menyoroti perubahan sistim pemilu, terutama sejak Pemilu 2009, yang hanya menempatkan Parpol sebagai kendaraan politik bagi Caleg/Capres dan mengedepankan egoisme-individualisme.

Lantaran itu, caleg dalam satu partai pun bisa terseret dalam kompetisi. Secara internal, partai itu terjadi perkelahian di dalamnya. egoisme dan individualisme menghalangi kolektivisme dan persatuan.

Terkait basis untuk persatuan, saya mengajukan dua landasan. Pertama, cita-cita atau imajinasi kolektif bangsa Indonesia saat memproklamirkan berdirinya Negara Republik Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan (Preambule) UUD 1945. Kedua, situasi objektif bangsa Indonesia saat ini, yakni hilangnya kedaulatan politik dan kehancuran ekonomi nasional, sebagai alasan kuat perlunya koalisi nasional.

Untuk melawan imperialisme ini, kita butuh sebuah alat politik, yaitu persatuan nasional. Dampak neoliberalisme yang mengorbankan hampir semua lapisan dan sektor sosial rakyat Indonesia (pekerja, petani, kaum miskin kota, perempuan, pemuda, masyarakat adat, pengusaha kecil/menengah, pengusaha nasional, dll) adalah kondisi yang kondusif untuk menjalin persatuan.

Jalan Keluar
Kita semua harus menyepakati bahwa persoalan bangsa ini terletak pada sistem neoliberalisme, yang menyebabkan bangsa ini kehilangan kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan karakter kebudayaan yang berjiwa nasional.

konsep Trisakti Bung Karno, yang meliputi berdaulat di bidang politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian secara budaya, sangat relevan diperjuangkan kembali sebagai obat atas persoalan bangsa saat ini.

dalam rangka menghadapi kapitalisme-neoliberal, saya pun mengusulkan perlunya amandemen ke-V terhadap UUD 1945. Namun, amandemen ke-V ini bertujuan untuk mengoreksi amandemen ke-I hingga ke-IV, yang mereduksi hajat hidup rakyat miskin.

sistem neoliberalisme semakin terlembaga karena negara ini tidak punya lagi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang bernafas Sosialisme Pancasila. Akibatnya, Indonesia sebagai negara tidak punya lagi garis perjuangan.

Sekarang program lima tahunan bergantung pada pribadi Presiden atau pemimpin nasional yang terpilih.

Karena itu, negara ini harus mengembalikan adanya GBHN sebagai penunjuk arah pembangunan dan perjuangan bangsa sesuai Pancasila dan UUD 1945.

Namun demikian, GBHN baru ini harus berbeda dengan GBHN era Orde Baru. Menurutnya, kalau di era Orba GBHN dibuat oleh Presiden dan partai berkuasa, maka GBHN baru harus disusun oleh dan bersama rakyat kecil.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image