Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Shabrina Nandiva Nurauliyah

Mengenal Penyakit Skabies: PR Masyarakat yang tak Kunjung Usai

Bugar | Thursday, 07 Dec 2023, 23:55 WIB

Skabies atau yang lebih dikenal masyarakat sebagai kudis disebabkan oleh parasit tungau gatal yang menginfeksi manusia (Sarcoptes scabiei var. hominis). Skabies/Kudis terjadi di seluruh dunia dan mempengaruhi orang-orang dari semua ras dan kelas sosial. Skabies adalah salah satu kondisi dermatologis yang paling umum, dan terhitung sebagai mayoritas penyakit kulit di negara berkembang. Secara global, diperkirakan akan mempengaruhi lebih dari 200 juta orang kapan saja dan lebih dari 400 juta orang secara kumulatif setiap tahun.

Skabies ditemukan di setiap negara tetapi sangat umum di negara tropis yang miskin sumber daya, dan terutama dialami oleh anak-anak dan orang tua. Prevalensi di antara anak-anak bervariasi dari 5% hingga 50%, dan infeksi berulang adalah hal yang sering terjadi. Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2022, prevalensi angka kejadian skabies sebanyak 130 juta orang di dunia. Skabies ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang bervariasi. Di beberapa negara berkembang prevalensi skabies sekitar 6%-27% populasi umum, menyerang semua ras dan kelompok umur serta cenderung tinggi pada anak-anak serta remaja. Skabies merupakan penyakit kulit yang endemis di wilayah beriklim tropis dan subtropis seperti Afrika, Amerika Selatan, Karibia, Australia Tengah, Australia Selatan, dan Asia.

Di Indonesia yang merupakan negara beriklim tropis, skabies juga banyak ditemui. Di Indonesia pada tahun 2020 didapatkan jumlah penderita skabies sebesar 6.915.135 (2,9%) dari jumlah penduduk 238.452.952 jiwa. Jumlah ini mengalami peningkatan pada tahun 2022 yang jumlah penderita skabies diperkirakan sebesar 3,6 % dari jumlah penduduk.

Angka yang masih terhitung tinggi menunjukan kurangnya kesadaran dan kewaspadaan terhadap penyakit skabies sehingga pada tahun 2017 WHO memasukkan skabies ke dalam kelompok Neglected Tropical Disease (NTD) dan umumnya NTD adalah penyakit yang banyak terjadi di negara berkembang, baik akibat faktor minimnya higienitas, sanitasi, maupun edukasi di kalangan masyarakat terkait penyakit tersebut.

Tungau skabies yang menginfeksi manusia merupakan spesies Sarcoptes scabiei varietas hominis, yang termasuk dalam kelas Arachnida, subkelas Acarina, ordo Astigmata, dan famili Sarcoptidae. Umumnya tungau yang menginfeksi adalah tungau betina, dan akan membuat terowongan di bawah kulit kemudian meninggalkan telur di tempat tersebut. Setelah telur menetas, larva tungau mulai bermigrasi ke lapisan kulit terluar. Larva tersebut mengalami tahap perkembangan dan menyebar ke area lain dari kulit penderita atau individu lain. Oleh karenanya tungau skabies dapat menyebar melalui kontak langsung, berkepanjangan, dari kulit penderita skabies ke kulit orang yang sehat. Skabies dapat menyebar dengan cepat di bawah kondisi dimana kontak tubuh jarak dekat sering terjadi. Institusi seperti panti jompo, fasilitas perawatan lanjutan, penjara, pondok pesantren, dan lingkungan padat penduduk lainnya sering menjadi tempat wabah skabies. Tungau dapat menyebar melalui mebel di lingkungan yang sama, pakaian, handuk, hingga selimut serta sandang lain yang juga digunakan bersama dengan penderita.

Tungau betina dapat bertahan hidup selama 30-60 hari di dalam terowongan yang dibuatnya. Selama itu, tungau terus memperluas terowongannya. Jejak tungau di bawah permukaan kulit akan tampak seperti garis yang memanjang dan sedikit menonjol diatas permukaan kulit. Setelah paparan awal terhadap skabies, gejala mulai muncul di minggu ke- 2-5. Gejala biasanya berkembang lebih cepat pada orang yang pernah menderita skabies sebelumnya, yaitu berkisar 1-4 hari setelah terpapar. Gejala khas skabies termasuk ruam dan gatal-gatal intens yang semakin parah di malam hari. Tempat-tempat paling sering dimana skabies ini menginfeksi dan berkembang berada pada area lipatan maupun lekukan kulit seperti sela-sela jari, siku, ketiak, pinggang, dan area genital.

Karena skabies banyak ditularkan melalui kontak fisik langsung, penyakit ini dapat dengan mudah menyebar ke anggota keluarga, teman, dan pasangan seksual. serta dapat menyebar dengan cepat di tempat dimana banyak orang berada dan berkontak dekat untuk waktu yang lama, seperti di sekolah maupun kantor. Oleh karenanya, solusi terbaik untuk mencegah penularan skabies adalah menghindari kontak langsung dengan penderita. Selain itu hindari pakaian atau tempat tidur yang digunakan oleh penderita skabies tanpa pencucian. Adapun mencuci pakaian, selimut, handuk, dan sandang lain yang digunakan penderita skabies dengan menggunakan air hangat bersuhu 50°C dipercaya sebagai tindakan pencegahan penyebaran antar anggota keluarga/partner satu atap.

Skabies bermanifestasi di permukaan kulit sebagai penampakan merah, coklat, atau hitam tergantung pada warna kulit, dan terasa lebih gatal di malam hari. Dalam kebanyakan kasus, ruam akan menyebar ke seluruh tubuh. Banyak pengobatan alami yang dicanangkan untuk penyakit skabies, seperti minyak tea tree, lidah buaya, krim capsaicin, dan minyak-minyak esensial lain. Namun, pengobatan ini hanya bersifat simptomatik atau hanya meringankan gejalanya sehingga apabila dihentikan maka gejala akan timbul kembali dan tidak sembuh sepenuhnya. Terkadang juga sulit membedakan penyakit skabies dengan penyakit kulit lainnya, maka berkonsultasi ke dokter adalah langkah yang paling tepat.

Bentuk pencegahan dari penyakit skabies yang berupa penghindaran kontak langsung dengan penderita membuat seolah penyakit skabies adalah hal yang tabu sehingga penyakit ini masih sering diabaikan, tidak diberi tatalaksana, menyebar luas dan berakhir pada tingginya angka kejadian. Hingga pada tahun 2017, skabies dan ektoparasit lainnya dimasukkan sebagai Neglected Tropical Diseases (NTDs) oleh WHO. WHO sendiri memiliki Target global WHO 2030 untuk skabies diantaranya; Negara-negara untuk memasukkan manajemen skabies dalam paket perawatan cakupan kesehatan universal; dan Negara-negara untuk melakukan intervensi MDA (mass drug administration) di daerah endemik (daerah di mana prevalensi 10% atau lebih besar).

Tingginya angka kejadian skabies berkaitan dengan adanya stigma di masyarakat terhadap penyakit kulit. Untuk mengurangi stigma terhadap penyakit kulit, perlu ditingkatkan kembali edukasi dan kesadaran masyarakat terkait penyebab serta pengobatan penyakit kulit. Dukungan sosial juga penting untuk individu yang mengalami penyakit kulit agar penderita merasa didukung dan tidak terisolasi. Kesadaran akan pentingnya penerimaan terhadap keberagaman kondisi kulit juga dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih inklusif. Sehingga Target Global WHO 2030 yang terhitung kurang dari 7 tahun mendatang dapat terealisasikan dan kesehatan masyarakat Indonesia terutama di bidang kesehatan kulit dapat berada pada tingkatan yang lebih baik.

 

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image