Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Tri Wahyuningsih

Korupsi Sirna Hanya Mimpi di Negara Demokrasi

Politik | Sunday, 19 Nov 2023, 17:00 WIB

Kasus korupsi di Indonesia seperti tak ada matinya, terus dan terus. Bak sampah yang terus menggunung, menyebarkan aroma busuk dan memenuhi seluruh sel-sel kehidupan masyarakat. Mulai dari korupsi skala kecil hingga megakorupsi, mewarnai halaman-halaman berita konsumsi publik, media cetak maupun elektronik. Tak dipungkiri, korupsi di Indonesia bagai gerbong kereta api yang susul menyusul tiada henti, belum selesai kasus korupsi yang satu telah muncul korupsi yang lain.

Dikutip dari halaman Antaranews[dot]com, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengungkapkan lembaga antirasuah sudah menangkap sebanyak 1.600 koruptor dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, yaitu sejak 2003 hingga 2023. "Sejak 2003 sampai 2023, lebih dari 1.600 orang yang sudah kita lakukan penangkapan," ungkap Firli Bahuri, ditemui di Roadshow Bus KPK dan road to Hakordia 2023, di Banda Aceh, Kamis, 9 November 2023.

Firli melanjutkan, khusus tiga tahun terakhir KPK sudah menangkap dan menahan tersangka korupsi lebih kurang sebanyak 513 orang.

Begitu mengguritanya korupsi di Indonesia, setiap saat ‘pasien’ KPK terus bertambah. Wajar bila banyak kalangan yang semakin sangsi korupsi akan benar-benar bisa diberantas habis meski lembaga pemberantasan korupsi telah lama dirilis. Bahkan, berdasarkan rilis terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), nilai Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) Indonesia 2023, mengalami penurunan dibandingkan dengan IPAK tahun 2022, menjadi sebesar 3,92. Tahun lalu, nilai IPAK yang dirilis BPS mencatat angka 3,93.

IPAK merupakan indeks yang mengukur tingkat perilaku antikorupsi masyarakat dengan skala 0-5 pada level nasional. Semakin tinggi nilai IPAK atau mendekati 5, maka semakin tinggi budaya antikorupsi. Sebaliknya, semakin rendah nilai IPAK, maka semakin menunjukkan budaya permisif korupsi di masyarakat. Hasil IPAK 2023 ini sejalan dengan hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia juga merosot tajam. Hal ini bukti budaya korupsi di Indonesia masih menjamur.

Demokrasi Lahan Subur Korupsi

Korupsi di lingkaran kekuasaan adalah penyakit bawaan system sekuler dan mustahil diberantas dengan kerja lembaga semacam KPK. Sebab, sistem Demokrasi-Kapitalis hanya melahirkan pemimpin atau penguasa berintegritas rendah. Mendapatkan kekuasaan dalam demokrasi membutuhkan modal besar, baik modal sendiri (individu) ataupun sponsor yang tentu tidak gratis. Maka, wajar ketika kekuasaan berhasil diraih, pertama kali pekerjaan yang harus dilakukan adalah mengembalikan modal. Jangankan berfikir memenuhi kebutuhan hidup rakyat, memenuhi janji-janji kampanye saja tak mampu. Belum lagi gaya hidup hedonis yang telah tertancap kuat di dalam benak penguasa, dan juga diperparah dengan hal yang paling mendasar yaitu sistem kehidupan sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan inilah menjadi pemicu budaya korupsi di Indonesia.

Sistem Demokrasi memang tak mengenal baik-buruk, apalagi halal-haram. Satu-satunya standar baku yang dijadikan pedoman dalam berbuat adalah kepentingan dan manfaat. Jadi, tak masalah korupsi, suap-menyuap ketika berkuasa asal tak ketahuan, jika pun terciduk juga oleh lembaga anti rasuah, itu nasib saja yang salah. Karenanya, berharap korupsi tak ada dalam sistem Demokrasi ibarat pepatah mengatakan: bagai hendak menegakkan benang basah. Dan itu adalah sebuah ilusi penuh kemustahilan semata.

Islam Solusi Tuntas Korupsi

Islam sebagai agama yang paripurna tentu tak diragukan lagi pasti mampu memberikan solusi tuntas bagi semua persoalan hidup manusia. Termasuk persoalan korupsi yang menggurita saat ini. Islam dengan sistemnya yang khas, bukan saja mampu mengikis habis praktek korupsi di semua level, tapi juga akan mampu menutup rapat peluang-peluang yang berindikasi korupsi. Pencegahan dan penanganan tindak korupsi didalam sistem Islam yakni, Pertama. Keimanan sebagai kontrol internal para politisi dan pejabat penyelenggara pemerintahan. Keyakinan bahwa segala aktivitas manusia harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah subhanahu wa ta'ala, menjadikan mereka tercegah untuk melakukan korupsi, suap serta semua perbuatan yang bertentangan dengan aturan Allah subhanahu wa ta'ala.

Kedua.Gaji dan Santunan yang Mencukupi. Dengan filosofi bahwa setiap jabatan adalah amanah, maka para pejabat penyelenggara pemerintahan dalam sistem Islam senantiasa berusaha untuk melaksanakan tugas yang menjadi amanahnya sebaik mungkin. Hal ini tidak mungkin terlaksana jika mereka masih memikirkan segala keperluan hidupnya dan keluarga yang juga menjadi kewajibannya. Untuk itu, agar mereka bisa bekerja dengan tenang, Islam memberikan santunan atau gaji yang layak dan mencukupi. Ketiga. Sistem Pembuktian Terbalik Harta Pejabat. Rasulullah ﷺ, pernah bersabda: "Wahai manusia, siapa saja diantara kamu yang diangkat menjadi pegawai kami untuk melakukan pekerjaan tertentu, kemudian menipu kami terhadap penghasilannya, maka ketahuilah sesungguhnya apa yang lebih dari penghasilannya adalah harta haram(ghullu) yang akan dibawanya pada hari kiamat." (HR. Abu Dawud).

Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab tidak segan-segan menyita kelebihan harta pejabat yang begitu mencolok dibandingkan santunan dan gaji yang layak baginya.

Keempat. Sanksi yang Setimpal. Dengan sanksi yang tegas bagi pelaku korupsi akan mampu memberikan efek jera dan mencegah terjadinya tindak korupsi yang lain. Serta memberikan rasa keadilan bagi rakyat. Sanksi ta'zir akan dikenakan para koruptor dan semisalnya dengan mempertimbangkan jumlah uang yang dikorup. Bahkan jika uang yang dikorupsi mencapai jumlah yang membayakan ekonomi negara, koruptor pun bisa dijatuhi hukuman mati.

[Wallahu'alam bi ash shawwab]

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image