Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Setiawan Muhdianto

Dilema Sang Air

Agama | Wednesday, 15 Nov 2023, 16:59 WIB
Kali Baru Bojonggede Bogor, Foto: Koleksi Pribadi

Aku adalah sumber kehidupan. Setiap makhluk hidup pasti membutuhkanku. Ketika kemarau, aku sangat ditunggu-tunggu. Akan tetapi di musim hujan, kehadiranku dianggap mendatangkan bencana. Sungguh dilematis memang peranku. Inilah kisah kegundahanku, kegalauan Sang Air.

Hari-hari di akhir musim kemarau lalu aku menjadi incaran manusia. Di bulan-bulan itu manusia selalu mencariku. Mereka menanti dan mengharapkan kehadiranku.

Manusia-manusia itu mengerahkan akal pikirnya yang mereka sebut ilmu pengetahuan. Mereka menggunakan cara dan alat buatan mereka yang mereka sebut teknologi. Mereka berusaha merayu dan memaksaku agar aku segera turun dari langit.

Di beberapa tempat manusia menyelenggarakan doa, ritual dan tradisi khusus untuk memanggilku datang. Mereka dengan memelas dan menyatakan diri banyak dosa mencoba mengetuk pintu hati Yang Maha Kuasa. Beberapa hewan ternak pun mereka bawa untuk menguatkan bahwa semua makhluk memang benar-benar menderita dengan tiadanya air.

Di saat yang sama ada suatu negeri yang sedang menghadapi bencana. Langit di negeri itu diselimuti kabut tipis laksana mendung kelabu. Kondisi ini mengakibatkan gangguan kesehatan warganya. Kabut tipis itu adalah udara yang kotor karena polusi. Para polutan berkumpul dan berpesta di udara.

Manusia negeri itu berharap aku turun dari langit. Mereka berharap bersama dengan turunku bisa mengajak, mendorong dan memaksa para polutan turun, segera enyah dan pergi.

Mereka tidak sadar bahwa semua itu adalah perbuatan manusia itu sendiri. Demi kenyamanan, knalpot kendaraan mereka menyemburkan karbondioksida. Demi kebutuhan manusia, cerobong pabrik menggelontorkan asap-asap pekat penuh zat berbahaya.

September hampir berakhir, musim hujan segera tiga. Aku masih ingat betul di setiap bulan Oktober sampai Maret, manusia sering menghindariku, mengeluhkan keberadaan, menghujat dan mengutukku. Aku dituduh merugikan manusia. Merusak dan menghancurkan kepentingan mereka. Mereka mencapku sebagai pembawa bencana. Berharap aku segera pergi dan enyah dari hadapan mereka

Apa salah dan dosaku. Aku hanyalah makhluk, abdi dan hamba. Aku hanya menjalankan tugas. Melaksanakan perintah yang telah ditetapkan. Aku hanya patuh pada tuanku, pada majikanku. Kepada pencipta dan pengaturku. Kepada yang Maha Pengasih, Penyayang, Adil dan Bijaksana. Bukan kepada manusia yang serba egois.

Sudah menjadi kodrat dan ketetapanku untuk bergerak ke tempat yang lebih rendah. Sifatku fleksibel, cair. Aku diberi kewenangan penuh untuk bebas menempati menempati ruang, di manapun di muka bumi.

Aku sebenarnya sering merasa bosan untuk bersahabat dengan manusia. Bahkan aku sering merasa jengkel dengan ulah dan tingkah mereka. Ingin rasanya kubalas dan kuhancurkan mereka. Tapi aku bukanlah makhluk yang berkehendak. Aku hanya tunduk menjalankan perintah dari Sang Pemilik Otoritas Penuh.

Sering kali aku dicegah untuk menghancurkan suatu wilayah karena seorang manusia yang tulus menyebut asma-Nya. Ada kalanya aku diperintahkan menerjang dan menggenangi suatu tempat. Sebenarnya aku tidak tega melakukannya. Dia lebih tahu jawabnya. Untuk meningkatkan derajat manusia di tempat itu.

Namun, apabila ada manusia yang ingkar, sombong dan melampaui batas, tidak segan-segan aku diperintahkan untuk menghancurkannya. Sebagai peringatan, sanksi, hukuman maupun kutukan. Meski kadang mereka tidak menyadarinya.

Manusia lebih sering cengeng dan berkeluh kesah. Baru beberapa bulan saja saya tidak turun dari langit mereka sudah menggerutu. Mereka sudah memohon-mohon untuk memintaku segera turun. Melobi kepada pemilik kehendak agar memerintahkanku turun.

Setelah turun ke bumi, aku ingin masuk ke dalam pori-pori tanah. Aku ingin berdiam diri di dalam bumi. Manusia menyebutkan air tanah. Aku juga ingin berkumpul dalam jumlah banyak mendiami suatu cekungan di bumi. Aku ingin ingin menempati danau, setu, telaga, embung atau apapun mereka menamakan.

Tapi manusia menghalangiku, menghambatku untuk meresap ke dalam tanah. Permukaan tanah telah mereka tutup, rumah, bangunan, jalan bahkan halaman pun mereka tutup dengan semen. Ketika turun ke bumi mereka ingin aku segera enyah dengan mengalirkanku ke got, saluran air, sungai dan ke laut.

Cekungan-cekungan itu pun mereka rusak aneka sampah sehingga menyempit. Bahkan beberapa mereka uruk sehingga dangkal dan hilang. Dengan bangganya mereka membuat bangunan di atasnya.

Seharusnya manusia-manusia itu bersyukur. Sang Maha Pencipta telah menganugerahkan kepada mereka diriku untuk menyokong kehidupan mereka. Tidak pantas mereka mengeluh akan kehadiran maupun ketiadaanku. Bencana dan musibah yang disebabkan olehku seharusnya menjadikan mereka pelajaran untuk lebih ingat pada Sang Penguasa Sejati.

------------------------------------------S.M.--------------------------------------------

"Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh". (QS. [70] Al-Ma'arij : 19)

“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?.” (QS. Al Anbiya’ (21) : 30)

“Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.” (QS: Asy-Syuura [41] : 28)

“Dan Kami turunkan dari langit air yang penuh keberkahan lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam.” (QS: Qaaf (50) : 9)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image