Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Politik dan Kebudayaan

Politik | Sunday, 28 Apr 2024, 05:44 WIB

Sebagian kalangan memahami politik sebagai perebutan kekuasaan belaka. Sebagiannya lagi lebih memilih memahaminya sebagai ajang berkesenian. Maka, jika dilakukan kompromi – karena keduanya sah belaka , akan menjadi mudah apabila politik didefinisikan sebagai suatu “seni” atau budaya untuk merebut kekuasaan.
Untuk itulah, jika kita mau menengok kembali sejarah, kampanye-kampanye partai di tahun 50-60an selalu berisikan kesenian yang identik dengan ideologi masing-masing. Sebagai contoh belaka, pada masa itu Partai Nasionalis Indonesia (PNI) memiliki LKN, NU memiliki LESBUMI dan Partai Komunis Indonesia memiliki LEKRA (meskipun tidak Semua LEKRA Itu PKI) yang keseniannya beorientasi pada kerakyatan.

Di saat itu para pemilih di seluruh NKRI masih cukup banyak dan aktif, karena memang politiknya berkebudayaan. Wajar, tidak seperti di masa ini yang cukup apatis karena politiknya kering tidak berkebudayaan. Semuanya masih memiliki harapan di masa itu, di masanya Presiden Sukarno (1945-1966), pemimpin negara-negara Asia-Afrika melawan dominasi imperialisme/kolonialisme.

Di masa ini, hampir 59 tahun setelah GESTOK/GESTAPU/G-30-S, kebudayaan nasional telah tiarap seiring bangkitnya politik reaksioner Militer. Calon peraih nobel sastra, Pramoedya Ananta Toer (alm.) mengatakan bahwa, era pembantaian massal terhadap sayap kiri 1965-1968 adalah mundur jauhnya peradaban masyarakat Indonesia kembali ke zaman barbar: kanibalisme. Sebagian budayawan Manikebu –yang merestui holokaus tersebut– yang mencoba berontak juga, seperti alm. W.S. Rendra yang pada 1974 dan Gerakan Mahasiswa Bandung 1977-1978, karuan mengalami represivitas dan ter”kotak”kan juga oleh Orde Baru. Memang layak diacungkan jempol karena keberaniannya membongkar korupsi tirani Presiden Suharto (1967-1998), namun masih beruntung dia tidak direpresi sampai mati atau hilang seperti dialami jemaat di Tanjung Priok (1984), Talang Sari (1989) Haur Koneng (1992), atau PRD & PDI (1996-1998).

Kebudayaan konsumtif sendiri lahir dan tumbuh pesat memang di Orde Baru ini. Lalu, konsumtivisme selalu melahirkan budaya yang paling dihujat di seluruh dunia, korupsi. Tidak mungkin bisa dibantah, bahwa korupsi-kolusi-nepotisme adalah peninggalan monumental Orde Baru yang merugikan banyak rakyat marhaen hingga masa Presiden Jokowi sekarang (2004-2024). Industri nasional pun kurus kering karena tidak sekalipun Jenderal Soeharto sempat membangun (semisal) pabrik baja-pabrik baja setelah Krakatau Steel selama 32 tahun masa kekuasaan Jenderal Berdarah Dingin ini. Mengerikan memang watak anti-produktif Orde Baru, sampai kita sulit sekali menemukan sedikitpun kebaikan dalam Rezim ini. Revolusi Hijau yang dikatakan sebagai kesuksesan pun kata-kata itu akhirnya ditelan lagi oleh para pelakunya di masa itu dengan sata ini mereka balik ramai-ramai mengusung pertanian organik.

Tragis memang. Presiden Jokowi dan wakilnya Kyai Ma'ruf Amin juga tampak tidak terlalu mengenal kebudayaan rakyatnya dengan baik. Buktinya produktivitas kurang kunjung meningkat dan korupsi tidak kunjung terhabisi. sepertinya memang karena politik kita tidak berkebudayaan, maka pemimpin-pemimpin yang tidak tahu malu jumlahnya masih cukup banyak di negeri ini. Lihat saja jajaran Kabinet Indonesia Maju hari ini, beberapa tidak malu keluarkan pernyataan ataupun kebijakan yang kontraproduktif dengan keinginan Kaum Marhaen.

Bukan kebudayaan semu, citra, yang rakyat marhaen dambakan. Rakyat Marhaen inginkan sebuah kepastian hidup bagi diri dan anak-anak mereka. Dibantu media massa, para pemimpin pemerintahan sekarang yang lebih fokus bercitra mungkin tak lama lagi akan menjadi musuh rakyat marhaen, di saat rakyat marhaen sadar, bahwa selama ini mereka hanya dihegemoni dengan kepalsuan.

Segera, akan kita serukan kepada rakyat marhaen, bahwa lawan sejati kita sekarang adalah budaya konsumtif, nir produktif. Konsumsi memang baik, tetapi di saat suatu bangsa hanya menjadi konsumen, maka kemiskinan di dalamnya pun tidak pernah menjadi sejarah. Tanpa dikembangkannya mental produktif, secara alamiah korupsi akan meluas. Saat itulah korupsi-kolusi-nepotisme dan konsumtivisme akan diganyang oleh rakyat marhaen baik dengan surat, kata kata maupun "kekerasan" sekalipun. Nama zaman itu adalah Revolusi Kebudayaan.

Revolusi Kebudayaan adalah gerakan yang terkoordinasikan dari kaum muda untuk menggeser sisa kekuasaan kaum tua. Dalam istilah gampangnya, potong generasi. Para korban revolusi kebudayaan, birokrat yang berusia di atas 45 tahun, tidak akan dihukum mati atau kerja paksa, hanya dimutasi ke pos yang lebih mendidik produktif - seperti di pertanian dan perkebunan - sekalian menghabiskan hari tua mereka dengan gaji yang cukup dari negara.

Dihitung kasar saja, jika kita memutasi ratusan ribu sampai jutaan PNS tua, sangat mungkin efisiensi birokrasi negara ini bisa meningkat sampai di atas 100%. Lalu, dengan bimbingan ketat, anak-anak muda usia 22-45 tahun lah yang akan memimpin birokrasi dengan sistem rotasi acak dan berkala. Setelah itu baru layak dilakukan renumerasi, jangan seperti sekarang, belum apa-apa sudah dikasih renumerasi. Kalau bukan penyogokan, mungkin itu namanya pemborosan. Yang diperlukan dalam birokrasi negara adalah sebuah revolusi kebudayaan, tidak lagi sekedar reformasi citra. Demikian contoh penerapan revolusi kebudayaan di birokrasi. Sebenarnya masih ada pula penerapan Revolusi Kebudayaan dalam lapangan yang berbeda, seperti di sekolah-sekolah, organisasi-organisasi, parlemen (yang belum lama cukup menjadi polemik karena saking malasnya para petugas parlemen rakyat), dan sebagainya.

Dengan revolusi kebudayaan, feodalisme dan patriarki akan terkikis cepat, kaum pemalas akan dicemooh, dan berlangsungnya kehidupan akan dinilai dengan kerja konkret – tidak lagi hanya dihitung usia dan lama pengalaman. Para kepala desa-lurah-camat-bupati korup dan malas akan didombreng (diarak) di kampung-kampung, digiring massa ke kantor-kantor polisi, dan naiklah penggantinya yang muda. Menteri-menteri yang tidak produktif akan disoraki rakyat marhaen sebagai pecundang dalam aksi-aksi massa di jalanan di Ibukota, dan naiklah menteri-menteri dari kalangan pemuda. Tanpa sebuah revolusi kebudayaan yang dahsyat, tidak mungkin Indonesia dapat mengejar kemajuan negara-negara tetangga dalam tempo 5-10 tahun.

Alhasil, jikapun kelak saat diterapkan Revolusi ini kandas, penyebabnya sudah dapat kita pastikan adalah perlawanan kaum konservatif yang reaksioner. Mereka yang mapan dengan status quo ini, tanpa pernah berpikir akan harapan di masa depan yang mungkin diberikan oleh status quo ini, terus berusaha mempertahankan “adat tua” (musuh kaum pekerja di seluruh dunia). Ciri dari para pelawan Revolusi Kebudayaan adalah terutama sifat feodal yang berlebihan. Mereka yang masih mendamba kembalinya kejayaan kerajaan masa lampau hanya akan menjadi korban politik Revolusi Kebudayaan untuk menciptakan kemanusiaan yang baru, tanpa penindasan dan penghisapan.

Politik akan kering tanpa budaya. Budaya tanpa politik menjadi abstrak/kabur belaka. Inilah yang mendasari, bahwa sejatinya politik dan budaya tidak dapat dipisahkan. Rakyat akan meninggalkan apatisme politik, kembali berbudaya politik, saat politik elitnya sudah berbudaya. Maka revolusi kebudayaan adalah keharusan. Namun harus diingat, bahwa dalam mensukseskan Revolusi Kebudayaan, kita harus membangun kekuatan politik yang solid, handal, dan mengakar. Untuk itu perlu ada sebuah organisasi kebudayaan yang kuat seperti di masa lalu.

Politik dan kebudayaan saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Berikut beberapa keterkaitan antara politik dan kebudayaan:
1. **Pembentukan Identitas Nasional:** Politik dan kebudayaan berperan penting dalam pembentukan identitas nasional suatu negara. Kebudayaan, seperti bahasa, tradisi, seni, dan nilai-nilai budaya, menjadi bagian integral dari identitas sebuah bangsa yang dipertahankan dan dipromosikan melalui kebijakan politik.
2. **Legitimasi Kekuasaan:** Budaya dapat digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan politik. Pemerintah sering menggunakan simbol-simbol budaya dan acara-acara kebudayaan untuk memperkuat legitimasi dan otoritas mereka di mata masyarakat.
3. **Pengaruh Kebijakan Publik:** Kebijakan politik dapat memengaruhi kebudayaan suatu masyarakat. Misalnya, kebijakan pendidikan dan kebijakan budaya dapat mempengaruhi kurikulum sekolah, promosi seni dan budaya lokal, dan perlindungan warisan budaya.
4. **Representasi dan Partisipasi Politik:** Kebudayaan memainkan peran penting dalam representasi politik dan partisipasi masyarakat dalam proses politik. Misalnya, budaya politik suatu masyarakat akan mempengaruhi sikap dan perilaku politik warganya, serta cara mereka berpartisipasi dalam pemilihan umum dan kegiatan politik lainnya.
5. **Resolusi Konflik:** Kebudayaan dapat digunakan sebagai alat untuk meredakan konflik politik dan sosial. Misalnya, melalui dialog antarbudaya, kesenian, atau ritual keagamaan, masyarakat dapat menciptakan ruang untuk berkomunikasi dan mencari solusi damai atas perbedaan politik yang ada.
6. **Perubahan Sosial:** Politik dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi dalam menghasilkan perubahan sosial. Gerakan politik sering kali memunculkan perubahan dalam budaya dan norma sosial, sementara perubahan budaya juga dapat mempengaruhi tuntutan politik dan pembentukan kebijakan.
Dengan memahami keterkaitan antara politik dan kebudayaan, pemimpin dan masyarakat dapat merancang kebijakan dan program yang mempromosikan inklusi budaya, memperkuat partisipasi politik, dan memajukan kesejahteraan sosial secara holistik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image