Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image nuril khomsiyati

Literasi Digital untuk Generasi Milenial di Era Post-Truth

Pendidikan dan Literasi | Sunday, 12 Nov 2023, 15:32 WIB

Abad XXI, Richard Crawford menyebut sebagai Era of Capital Human yaitu era dimana suatu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi berkembang pesat. Hal ini mendorong terjadinya perubahan sosial budaya pada generasi muda yang lebih dikenal dengan generasi milenial. Namun ternyata perkembangan teknologi canggih tidak berbanding lurus dengan peningkatan budaya membaca pada setiap orang. Era digital dan revolusi industri 4.0 pun tidak menjamin tegaknya budaya literasi di Indonesia. Justru sebaliknya, di era digital seperti ini faktanya banyak orang yang malas membaca. Budaya membaca semakin terpinggirkan & budaya literasi kian dikebiri. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa fakta berikut.

Fakta pertama, UNESCO menyebutkan Indonesia berada di urutan kedua dari bawah dari segi literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Hal ini dapat terlihat bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya dari 1000 orang Indonesia, hanya ada 1 orang yang rajin membaca. Riset berbeda, bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2020, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara tentang minat baca, berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwania (61). Peringkat pertama diduduki oleh Finlandia karena kegiatan membaca sudah menjadi budaya di negara mereka.

Fakta kedua, 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget dan menduduki peringkat kelima dunia terbanyak kepemilikan gadget. Lembaga riset digital marketing, Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Ironisnya, meskipun minat baca buku rendah tetapi data Wearesocial per Januari 2019 mengungkap orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam per hari.

Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia disebabkan karena budaya membaca baik dari kalangan anak-anak maupun orang dewasa kurang ditanamkan sejak dini. Selain itu, faktor internal masing-masing individu malas membaca. Pemerintah juga dinilai kurang mengadakan gerakan literasi, apabila ada itupun hanya sebatas seremonial saja.

Era digital dibuktikan dengan pengguna smartphone atau gadget di Indonesia yang sudah meluas. Lewat gadget memang banyak informasi yang beredar namun belum tentu informasi tersebut valid. Nyatanya banyak portal fake news dan akun-akun penyebar hoax. Begililah keadaan media di era post-truth. Post-truth merujuk pada keadaan dimana fakta obyektif kurang berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan personal. Selain itu, merujuk pula pada media yang sudah berlabel “kredibilitas” yang dengan mudah menyebarkan opini yang terpolarisasi. Bahasa simpelnya adalah post-truth adalah era dimana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran. Paul Joseph Goebbels pernah mengatakan, “Kebohongan yang diceritakan satu kali adalah kebohongan, tapi kebohongan yang diceritakan ribuan kali akan menjadi kebenaran”. Jadi, walaupun ada berita bohong yang disebarkan secara berulang kali sampai banyak akan dianggap sebagai suatu kebenaran. Biasanya post-truth ini dimanfaatkan untuk mencapai tujuan politik dan tidak jauh berbeda dengan berita hoax.

Lalu, bagaimana sikap kita ketika menemukan berita yang kemungkinannya hoax? Tentunya sangat penting membangun literasi media dan harus melakukan crosscheck untuk mencari, melaporkan atau bertanya tentang kemungkinan informasi hoax. Selain itu kominfo juga harus tegas membuat pelabelan tentang situs atau website yang termasuk hoax sehingga masyarakat awam lebih waspada ketika mengakses situs-situs yang kurang terpercaya.

Literasi tidak hanya melulu soal membaca buku tetapi juga tentang pemahaman kita mengenai seberapa jauh pemahaman kita terhadap pemanfaataan teknologi atau lebih dikenal dengan literasi digital. Perkembangan teknologi dibarengi dengan internet membuat orang semakin mudah mengakses sosmed atau website. Namun, tidak sedikit pula yang terjebak dengan berita hoax. Menanggapi hal ini kita kembali lagi bagaimana sikap pengguna memanfaatkan teknologi, apakah sudah bijak dalam memanfaatkan teknologi?

Literasi digital ini penting agar kita tidak mudah mempercayai berita hoax apalagi sampai menyebarkan berita hoax karena akan berakibat fatal. Berita hoax bisa memicu konflik, menurunkan reputasi korban dan dapat memicu kecemasan yang berujung kepanikan publik. Selain itu, setiap orang yang menyebarkan berita hoax bisa dikenakan pidana 6 penjara atau denda maksimal 1 miliar sesuai pasal 45A ayat 1 UU ITE. Dengan demikian jika kita paham tentang literasi digital maka kita tidak akan mengalami hal-hal yang tidak kita inginkan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image