Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ar. noval hananiri

Kendi dan Romantisme Kesederhanaan Ruang Komunal

Info Terkini | Friday, 10 Nov 2023, 13:09 WIB
sumber foto : pottery-vase-bowl-pitcher-ceramic-crafts-garden

Sebuah artikel yang ditulis Anindita S.Thaif, (2017). Dalam abad pencerahan melahirkan sebuah semboyan bahwa manusia merupakan pusat kehidupan. Sebagaimana juga pernah dikatakan oleh seorang filsuf Yunani Aristoteles. Dimana manusia adalah hewan yang berfikir. Itu artinya dia memiliki rasio sesuatu yang dimiliki binatang. Dengan kemampuan rasio itulah dalam puncaknya melahirkan sebuah gerakan revolusi industri di negara Inggris dan revolusi sosial [Komune Paris] di Prancis. Manusia mengangkat dirinya sebagai raja dunia, Dari konsep inilah kemudian melahirkan sebuah konsep Antroposentrik. Eksploitasi terhadap alam berasal dari pandangan akan konsep tersebut, Sebagai penguasa dunia, Manusia mempunyai hak dan kewenangan untuk menguras kekayaan sumber daya alam sepuasnya, Maka jadilah hutan-hutan sebagai penyeimbang alam digundulin, Isi perut bumi terus dikeruk sumber kekayaannya dll.

Mengutip uraian Ratna W. Rahma dalam Penta Rheif Filsafat UGM, (2008). Masyarakat Jawa sejak dari nenek moyangnya hingga saat ini justru telah mempunyai kesadaran dan tingkat pemahaman yang tinggi akan kosmos. Kosmosentrisme spiritual yang kini didengungkan manusia modern sebagai media kritik dan alternatif terhadap paradigma antroposentrisme sekuler telah lama dimiliki dalam sistem struktur pada masyarakat Jawa. Manusia hidup dalam jagad ageng dan jagad kecil. Jagad ageng atau besar adalah makrokosmos tempat alam semesta tergelar, Sementara jagad kecil merupakan mikrokosmos dimana sebagai tempat manusia itu menjejakkan kakinya. Dalam sistem kosmologi Jawa telah meletakkan posisi manusia itu adalah sejajar dengan alam untuk saling melengkapi bukan untuk mengeksploitasi secara brutal. Dalam budaya Jawa ketika manusia lahir tali pusarnya (ari–ari) dipercaya sebagai sebuah kembaran yang ditanam di dalam tanah, Hal ini merupakan sebuah pengejawantahan jika manusia itu menyatu dengan alam dengan begitu, Kosmologi Jawa mengajarkan bahwa manusia hidup itu menghormati dan selaras dengan alam.

Harmonisasi manusia dengan alam memang sudah ada sejak nenek moyang mendiami nusantara, Salah satu artefak dan penanda ini dapat kita telisik melalui sejarah arsitektural pada kraton kasultanan Yogyakarta yang berada segaris lurus atau sumbu imaginer yang sekarang sudah menjadi warisan budaya (sumbu utara itu gunung dan sumbu selatan itu laut). Memang sejak jaman dahulu kala masyarakat jawa hidup selalu berdampingan secara sinergis dengan alam lewat keyakinan yang sudah membumi misalnya bahwa tanaman padi disawah selalu dilindungi oleh dewi sri (dewi padi), dari situlah kemudian muncul sebuah ritual-ritual sebagai bentuk penghormatan terhadap dewi sri sebagai ibu pelindung serta ibu pemberi kemakmuran, penjaga kelahiran dan ibu kehidupan.

Tak dapat dipungkiri bahwa bersamaan dengan meningkatnya rasionalitas dan perkembangan rekayasa teknologi manusia, Ruang hidup manusia malah semakin menyusut, lingkungan ekologi terus memburuk dan telah mencapai pada tahapan titik nadir. Proses ini berlaku seakan hukum alam yang berjalan tanpa disadari namun niscaya akan terjadi. Proses yang dijalani manusia membawa mereka menuju pada timbulnya sebuah kekacauan yang menaungi dalam bencana.

KENDI DAN SIKAP KESEDERHANAAN

Dulu dalam beberapa masa waktu lampau, Ketika saya masih kecil saya masih ingat bagaimana kakek-nenek saya dikampung dulu sering meletakkan sebuah kendi beserta perlengkapannya ditempatkan pada posisi terdepan pada bagian area masuk [baca reggol] begitu juga warga lain juga meletakkan kendi berada disetiap reggol rumah masing-masing, Dimana fungsi kendi dan perlengkapannya itu adalah sebagai penyediaan air minum yang diperuntukkan bagi setiap orang [musafir] yang sedang melakukan sebuah perjalanan atau pengembaraan dari satu tempat ke tempat lain.

Dalam sebuah sistem struktur masyarakat komunal, Kelompok masyarakat yang dahulu belum banyak mengenal sebuah status kepemilikan itu dikuasai secara pribadi, Akan tetapi dalam struktur masyarakat dahulu itu sudah mampu menghidupkan sebuah romantisme akan nilai - nilai kebersamaan, Maka kendi-kendi pada setiap reggol itu merupakan “sebuah ruang teritory” paling terdepan dalam membangkitkan dan membangun sebuah nilai kesadaran esensi manusia, Bahwa dirinya merupakan sebuah mahluk yang tidak sendirian, Karena manusia adalah bagian dari gerak dunia dan merupakan bagian dari gerak dalam struktur masyarakat itu sendiri dalam lingkungannya.

Jika pada jaman sebelum banyak ditemukan moda transportasi modern untuk mempercepat perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, Banyak sekali ditemui para pejalan kaki [para musafir yang dikarenakan perjalanannya merasakan dahaga-kehausan] pasti akan menghampiri di setiap rumah milik siapapun itu untuk meminum air dalam kendi yang sudah disiapkan oleh si empu pemilik rumah. Dalam skenario ini tentu saja ada sebuah batas-batas teritori yang begitu sangat puitik dan romantis antara fungsi ruang kepemilikan bersama fungsi sosial dalam pola ruang-ruang domestik struktur masyarakat kampung. Kepemilikan pada masa lalu justru tidak mengacu kepada nilai-nilai yang berorientasi profite dalam sebuah kalkulasi hitung-hitungan nilai antara untung dan rugi, Akan tetapi kepemilikan masa lalu dinilai dari seberapa jauh manusia dapat berfungsi atas ruang komunal dalam struktur sosial masyarakat dalam lingkungannya.

Akan tetapi setelah gelora semangat ide kapital telah berhasil dicangkokkan dalam struktur sosial masyarakat, Maka individu–individu sudah diartikan sebagai kebebasan yang mematikan dalam setiap sendi ruang-ruang kebersamaan, Dimana ruang kepemilikan hanya dibentuk oleh besaran nominal yang berorientasi profite bahkan sudah dijadikan sebagai ajang kompetisi dalam sebuah arena pertarungan dalam kehidupan sosial masyarakat modern, Kendi-kendi itu sekarang kini sudah berubah menjadi gelas-gelas plastik produk kemasan air mineral. Akan tetapi tidak selamanya dalam sebuah sistem struktur masyarakat modern kekinian itu mampu memperbudak keinginan manusia untuk terus berada dalam kungkungan lingkungan individualnya. Dalam beberapa kali kejadian ketika saya bepergian dari Jogja ke Jakarta dan sebaliknya, Saya pernah menjumpai dibeberapa wilayah pantura ada beberapa sekumpulan orang–orang yang menyediakan air bagi siapa saja yang merasa dahaga lalu diberikan secara cuma-cuma tanpa memungut bayaran serupiah-pun. Tentu saja mereka itu tidak lagi mencari nilai atas besaran jumlah nominal dalam segelas air mineral tersebut, Akan tetapi mereka lebih mencari akan makna nilai-nilai jiwa sosial sebagai manusia yang humanis dalam segelas air.

EPILOG

Sikap kesederhanaan ibarat romantisme seperti dalam kendi-kendi yang berada didepan reggol setiap rumah dikampung saya dulu, Tentu saja hal ini banyak memberikan sebuah pelajaran berharga buat kita semua, Tentang bagaimana cara menghancurkan dinding-dinding bersekat yang membentuk ruang-ruang individualistik dalam struktur sosial masyarakat modern. Meskipun secara kultur sangat berbeda chasing dengan kejadian yang pernah beberapa kali saya temui ketika sedang melakukan perjalanan menuju ibukota Jakarta. Saya selalu berharap semoga saja semangat itu tidak luntur bersama perubahan akan hakikat ruang-ruang komunal dalam romantisme yang sangat puitis dimasa lampau.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image