Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Syafi'ie el-Bantanie

Melahirkan Generasi Pembebas Al-Quds

Agama | Saturday, 04 Nov 2023, 08:29 WIB

Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie

(Founder Edu Sufistik)

Tulisan ini adalah ringkasan dari kajian saya berjudul Model Kebangkitan Islam: Telaah Buku Hakadza Zhahara Jil Shalahiddin wa Hakadza ‘Adat al-Quds karya Dr. Majid Irsan al-Kilani yang disampaikan pada ahad, 15 Oktober 2023 di Masjid As-Surur, Telaga Kahuripan, Bogor.

Ketika mengkaji sejarah pembebasan Al-Quds, seringkali kita fokus pada sosok pembebasnya dan kurang konsen pada proses panjang yang melatarbelakangi dan melahirkannya. Ada kurun masa lima puluh tahun yang dilompati dan tiba-tiba masuk pada masa Shalahuddin al-Ayubi, sang pembebas Al-Quds. Sudut pandang seperti ini dikritik oleh Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya Hakadza Zhahara Jil Shalahiddin wa Hakadza ‘Adat al-Quds.

Sudut pandang seperti itu berpotensi melahirkan pemahaman dan sikap yang tidak produktif, yakni umat muslim memandang seolah Shalahuddin adalah sosok mujadid yang “turun” dari langit. Kemudian, dengan segala kelebihan yang dianugerahkan kepadanya menggerakan pasukan muslim untuk membebaskan Al-Quds dari cengkaraman pasukan salib. Efek lanjutannya umat muslim akhirnya pasif menunggu lahirnya sang mujadid baru tanpa serius bermujahadah menempuh prosesnya.

Dalam bukunya tersebut, al-Kilani, pakar pendidikan dan sejarah asal Jordan ini, menerangkan bahwa kita perlu meninjau kondisi internal umat muslim sendiri mengapa tidak bisa mempertahankan diri dari ancaman serangan pasukan salib di Barat dan pasukan Mongol di Timur? Dari sini umat muslim bisa merancang proses perbaikannya menuju kebangkitan dan kejayaan kembali.

Pada abad XI masehi merupakan masa kemunduran dan menjelang keruntuhan Abbasiyah di Timur (Baghdad) dan masa kemunduran Umayyah II di Barat (Andalusia). Perpecahan di kalangan umat muslim sudah demikian akut, mentalitas cinta dunia dan takut mati sudah merasuk demikian dalam, gaya hidup hedon dan kezaliman para penguasa terasa kentara. Al-Kilani, penulis keturunan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ini, menyebut kondisi internal umat muslim saat itu dengan istilah al-qabiliyyah li al-takhalluf wa al-hazimah (mentalitas layak terbelakang dan kalah).

Itulah yang disadari oleh para ulama pada masa itu yang dimotori oleh Grand Syaikh Imam al-Ghazali, yang kemudian diteruskan oleh Grand Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Al-Kilani, doktor pendidikan jebolan The University of Pittsburgh, Amerika Serikat, menerangkan para ulama menyadari dengan kondisi mentalitas umat muslim seperti itu tidak mungkin mereka bisa diajak berjuang menegakkan kembali kejayaan Islam. Mentalitas al-qabiliyyah li al-takhalluf wa al-hazimah yang menjangkiti umat muslim perlu diperbaiki. Dan, cara paling efektif untuk melahirkan generasi baru adalah melalui pendidikan.

Itulah yang mendasari projek besar ishlahul ummah dengan mendirikan Madrasah Nizhamiyah diberbagai daerah di Baghdad dengan Imam al-Ghazali sebagai guru besarnya. Melalui Madrasah Nizhamiyah, Imam al-Ghazali dan para muridnya men-tarbiyah generasi dan masyarakat baru. Imam al-Ghazali merumuskan sistem dan kurikulum baru dalam pendidikan Islam. Pengaruh Imam al-Ghazali demikian besar dalam proses perbaikan umat pada masa itu.

Upaya Imam al-Ghazali diteruskan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dengan Madrasah Qadiriyahnya. Madrasah Qadiriyah kemudian berkembang pesat dengan berdirinya madrasah-madrasah cabang diberbagai desa yang dimotori oleh murid-murid Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Al-Kilani mencatat dalam bukunya tidak kurang dari 24 cabang Madrasah Qadiriyah berdiri diberbagai desa di Baghdad.

Dari madrasah-madrasah itulah lahir kader-kader pembaharu umat, seperti Nuruddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayubi. Al-Kilani menyebutnya dengan lahirnya fase ummat al-mahjar, yaitu komunitas terdidik dan elit yang menyatukan seluruh potensi ishlah, yaitu kesultanan Zanki. Pada fase ini mulailah gerakan ishlah masuk ke dunia politik dengan membangun negara dan kekuatan militer. Para ulama masuk ke dinas-dinas militer untuk men-tarbiyah para prajurit Kesultanan Zanki.

Gerakan ishlah juga kemudian masuk ke bidang ekonomi. Kader-kader Madrasah Nizhamiyah dan Qadiriyah banyak membangun ekonomi negara. Negara membangun infrastruktur publik dan lapangan pekerjaan bagi warganya. Dengan kondisi berbagai aspek kehidupan yang telah terwarnai oleh gerakan ishlah, puncaknya terwujudlah persatuan umat Islam. Dari sinilah kemudian dirancang misi futuhat, yaitu membebaskan tanah suci Al-Quds dan wilayah-wilayah Islam yang terjajah.

Pola ishlah di atas mengingatkan kita pada proses panjang dakwah Wali Songo. Wali Songo memulainya dari dakwah kultural pada masa awal Sunan Maulana Malik Ibrahim sampai masuk ke ranah politik dengan mendirikan Kesultanan Islam Demak di Jawa pada masa Sunan Kudus bersama muridnya Raden Fatah, yang merupakan putra Raja Majapahit, Raja Brawijaya V.

Pola ishlah tersebut juga sangat disadari oleh Syaikh Ahmad Yasin. Ahmad Yasin adalah seorang guru agama Islam. Dari atas kursi roda, ia didik pemuda-pemuda bangsanya. Anehnya, setiap kali ia mengajar, murid-muridnya seperti “kerasukan”. Semangatnya menyala-nyala dan meletup-letup. Kata-kata dan petuahnya seperti mengandung “sihir” yang mampu menggerakkan murid-muridnya untuk melakukan apa yang diajarkannya. Murid-muridnya menjelma bak kuda perang pada siang hari dan para rahib pada malam hari. Dari generasi didikan Syaikh Ahmad Yasin inilah lahir gerakan jihad dan intifadhah pada 1987.

Sebentar kita menyebrang pada sisi antagonis. Lahirnya Negara Israel Raya bukanlah proses singkat dan tiba-tiba. Ia adalah misi besar dari Protokol Zion yang dideklarasikan pada Konferensi Zionis I di Basel Swiss pada 1897. Terwujudnya Konferensi Zionis juga bukan upaya mudah. Theodore Herzl menulis manifesto Zionis dalam bukunya Der Judenstaat (Negara Yahudi Raya).

Herzl berjuang mempropagandakan Der Judenstaat kepada orang-orang Yahudi yang tersebar diberbagai negara Eropa, terutama Yahudi elit yang memiliki kekuatan ekonomi. Singkat cerita perjuangan Herzl melahirkan Konferensi Zionis I di Basel Swiss pada Agustus 1897 yang menghasilkan Protokol Zion. Dalam catatan hariannya, Herzl menulis, “Hari ini aku mendirikan Negara Israel Raya di Basel. Jika aku menyampaikan misiku ini kepada khalayak umum saat ini, aku pasti ditertawakan. Tapi, lihatlah apa yang akan terjadi pada 50 tahun yang akan datang.”

Sejak saat itu, dimulailah tahapan demi tahapan projek pendirian Negara Israel Raya di Palestina. Dua bidang strategis yang dirancang serius oleh Yahudi adalah melahirkan pemimpim politik Yahudi di berbagai negara Eropa dan Amerika serta para ahli keuangan Yahudi kelas dunia.

Misi besar Yahudi ini seperti menemukan momentumnya dengan kalahnya Turki Utsmani pada perang Dunia I yang tergabung dalam blok Jerman. Sejak saat itu, wilayah Syam (termasuk Palestina) jatuh ke tangan Inggris Raya. Pada sisi lain, bangsa Arab terpecah menjadi 22 negara. Yahudi semakin memiliki pengaruh kuat dalam politik dan ekonomi Eropa dan Amerika. Hingga, akhirnya berdirilah Negara Israel Raya pada 1948.

Sepintas berdirinya Negara Israel Raya seolah menjadi “takdir pahit” bagi umat muslim Palestina dan umat muslim sedunia secara umum. Akan tetapi, sejatinya inilah takdir yang menjadi ujian sekaligus ladang amal saleh bagi umat muslim akhir zaman.

Akankah umat muslim menyadari kelemahan dirinya dan secara serius, strategis, dan sistematis merancang projek ishlahul ummah, hingga pada akhirnya menemukan momentum takdir kebangkitan dan kejayaan Islam dimulai dengan membebaskan Al-Quds dari cengkraman zionis.

Ketika sampai hari ini bangsa Arab masih sulit bersatu, bisa jadi momentum kebangkitan Islam itu muncul dari Asia Tenggara. “Masa depan Islam ada pada Islam Indonesia dan Islam Malaysia,” demikian analisis Prof. John Esposito.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image