Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Moh Ali, S.M.

Stereotip Masyarakat Madura

Eduaksi | Tuesday, 08 Aug 2023, 13:33 WIB
Koleksi Foto: Nasional.tempo.co

Berbicara tentang Madura memang tidak ada habisnya, pulau yang jarakanya tidak terlalu jauh dari Kota Surabaya atau tepatnya terhubung langsung melalui jembatan Suramadu tersebut memang kaya akan ragam budaya dan memiliki banyak sisi yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Ketika menyebut orang Madura, keras adalah salah satu karakter yang langsung menempel disetiap pikiran orang. Keras dalam hal ini dapat dimaknai beragam, mulai keras karena tindakan secara fisik, atau berkaitan dengan prinsip-prinsip orang Madura yang tidak mudah diubah. Yang kedua ini lebih dekat dengan watak. Susah diberikan nasihat hingga keras dalam bertutur kata.

Dalam kehidupan sosial, stereotip terhadap budaya lain muncul dari proses sosial yang panjang dan kompleks. Cara terbaik untuk menjernihkan cara pandang orang-orang terhadap budaya Madura adalah dengan menghimpun informasi yang bersifat objektif untuk disebarkan.

Mayoritas dari beberapa kalangan masyarakat luar Madura, memandang bahwasanya orang Madura memiliki perangai yang keras, sulit beradaptasi, terbelakang, dan kasar. Hal ini tentu saja menunjukkan bahwa berbagai stereotip yang menjurus ke sisi negatif sejak dulu sudah dibebankan di pundak orang Madura tanpa tahu fakta yang sebenarnya. Salah satu kekerasan fisik yang identik dengan orang Madura adalah Carok.

Menurut De Jonge (1995) berkaitan dengan Carok, orang Madura memeiliki pengertian sendiri yang tidak sama dengan pengertian orang luar. Pada umumnya, orang luar Madura Cenderung mengartikan setiap bentuk kekerasan (baik berakhir dengan kematian atau tidak) yang dilakukan oleh orang Madura sudah pasti dinggap sebagai Carok. Padahal dalam kebudayaan orang Madura, Carok bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan dan tidak semua yang berbau kekerasan itu tidak bisa disebut Carok.

Menurut Dr. A. Latief Wiyata dalam buku yang berjudul Carok menyatakan bahwa Carok itu tentang sebuah pembelaan terhadap suatu kehormatan yang sudah direnggut oleh orang lain. Menurutnya Fisik atau tubuh seseorang adalah manifestasi kehormatannya. Dengan demikian, jika mengganggu kehormatan seseorang berarti menyerang dan melukai pribadi orang itu. Sebaliknya, menyerang kemudian melukai pribadi seseorang berarti mengganggu kehormatannya

Bahkan dalam temuan penelitian yang dia lakukan menemukan sebuah fakta tentang faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya carok di daerah Bangkalan. Pertama, karena gangguan terhadap istri 60,4%. Kedua, karena salah paham 16,9%. Ketiga, karena masalah tanah dan harta warisan 6,7%. Keempat, karena masalah utang piutang 9,2%. Kelima, karena masalah lain seperti etika dan kesopanan dijalan dan lingkungan sosial 6,8%.

Sehingga bisa disimpulkan tidak semua yang berbau kekerasan tersebut bisa disebut Carok. Secara umum konsep kekerasan menurut Keifer, mengacu pada 2 hal. Pertama, tentang tindakan meyakiti orang lain sehingga menyebabkan luka atau mengalami kesakitan. Kedua, penggunaan kekuatan fisik yang tidak lazim dalam suatu kebudayaan.

Pada beberapa kebudayaan, tindakan kekerasan (pembunuhan), selain mendapat pembenaran secara kultural, juga dilegitimasi dan selalu memperoleh persetujuan sosial apabila tindakan kekerasan itu bertujuan untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan. Seperti halnya Siri’ dalam kebudayaan bugis Makassar (Sulawesi selatan). Nilai budaya yang berkaitan dengan harga diri dan martabat atau kehormatan (Siri’).

Siri’ adalah suatu sistem nilai sosio-kultural dan keperibadian yang merupakan pranata harga diri dan martabat manusia. Sedangkan siri’ ripakasairi (kasus-kasus penganiayaan atau pembunuhan) terjadi karena sekelompok orang atau individu mengalami perlakuan penyerangan atas kehormatannya (dihina, dipermalukan di depan umum, ditempeleng, diludahi dan menculik salah satu keluarganya).

Dalam banyak kasus, stereotip dapat mengarah pada diskriminasi, ketidakadilan, atau perlakuan tidak adil terhadap individu atau kelompok yang dijadikan sasaran stereotip tersebut. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk lebih jauh menyelami informasi yang benar-benar akurat dan mempromosikan pemahaman yang lebih dalam tentang social-budaya masyarakat adalah langkah-langkah penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, toleran, dan saling menghormati.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image