Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Erik Syam Pratama

Warisan Hutang Orang Tua dalam Hukum Islam

Agama | Friday, 21 Jul 2023, 11:06 WIB

Hal ini terjadi dalam kerabat dekat kami, disaat itu, disaat hari wafat-nya, baru diketahui, bahwa Almarhumah adalah orang yang mempunyai banyak sekali hutang yang belum dilunasi. Sehingga hal ini bisa saja menjadi tanggung jawab dari keluarga, yang mungkin juga menjadi tanggung jawab daripada suami serta anak-anaknya yang berjumlah 2 orang. Lalu bagaimana Hukum di Indonesia mengatur mengenai hal ini? Bagaimana juga mengenai ahli waris yang secara langsung tidak mengetahui perihal peminjaman hutang ini kepada pi

Warisan Hutang Orang Tua

Mari kita coba sama-sama analisa mengenai hal ini, seorang pakar hukum yang bernama J. Satrio, SH dalam bukunya “Hukum Waris” (pada halaman 8), bahwa warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris yang berpindah kepada para ahli waris. Jadi jika seorang menerima warisan dari pewaris, maka tidak hanya hartanya yang ia terima, tetapi ia juga harus memikul utang pewaris.

Mengenai anak yang melepaskan hak warisnya, pada dasarnya, menurut hukum perdata Barat, seseorang dapat menerima maupun menolak warisan yang jatuh kepadanya, sebagaimana dikatakan dalam Pasal 1045 KUHPerdata, yang berbunyi “Tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya.”

Dalam hal seorang menolak warisan yang jatuh kepadanya, orang tersebut harus menolaknya secara tegas, dengan suatu pernyataan yang dibuat di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya warisan itu terbuka (Pasal 1057 KUHPerdata).

Jika seorang anak melepaskan hak warisnya, maka secara otomatis ia tidak menerima warisan si pewaris, baik harta maupun hutang dari si pewaris. Sehingga anak tersebut juga tidak dibebankan atas hutang si pewaris dan tidak dapat dituntut karena melepaskan hak waris adalah hak para ahli waris.

Lalu bagaimana dengan utang pewaris? Utang pewaris harus ditanggung oleh para ahli waris yang menerima warisan. Hal ini diatur dalam Pasal 1100 KUHPerdata, yang berbunyi

“Para ahli waris yang telah bersedia menerima warisa, harus ikut memikul pembayaran hutang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu.”

Mari sama-sama kita analogikan mengenai pembagian ini, misalnya ada tiga orang anak, sebutlah nama anak itu A, B dan C. Misalnya masing-masing anak mendapatkan warisan sebesar A 20%, B 30% dan C 50% dari warisan pewaris, maka A, B dan C harus membayar utang pewaris dengan perbandingan A 20%, B 30% dan C 50%.

Untuk itu, ada yang dinamakan “Hak Berfikir” bagi para ahli waris (J.Satrio Ibid, hal 313), sebagaimana kami intisarikan, menjelaskan bahwa karena seorang ahli waris demi hukum memperolah semua hak dan kewajiban si pewaris, maka ada konsekuensi ang tidak adil terhadap seorang, sebab suatu warisan tidak selalu mempunyai saldo yang positif. Maka tidak tertutup kemungkinan jumlah utang pewaris melebih aktiva pewaris. Oleh karena itu ada yang dinamakan “Hak Berpikir” yang diatur dalam Pasal 1023 KUHPerdata, yang berbunyi:

“Barangsiapa memperoleh hak atas suatu warisan dan sekiranya ingin menyelidiki keadaan harta peninggalan itu, agar dapat mempertimbangkan yang terbaik bagi kepentingan mereka, apakah menerima secara murni, ataukan menerima dengan hak istimewa untuk merinci harta peninggalan itu, ataukah menolaknya, mempunyai hak untuk berfikir, dan harus memberikan pernyataan mengenai hal itu pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya warisan itu terbuka; pernyataan itu harus didaftarkan dalam daftar yang disediakan untuk itu.”

Jika seorang menerima warisan secara murni, maka ia bertanggung jawab atas seluruh utang pewaris. Sedangkan jika ia menerima dengan hak istimewa (ahli waris beneficiair) maka ia hanya harus menanggung utang pewaris, sebesar jumlah aktiva yang diterimanya (J.Satrio Ibid, hal 316), menjelaskan bahwa ada sarjana yang berpendapat bahwa para ahli waris beneficiair adalah debitur untuk seluruh utang-utang warisan, hanya saja tanggung jawabnya terbatas hanya sampai sebesar aktiva harta warisan saja.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa Martenss (yang dibenarkan oleh Klassen-Eggens) mengakui bahwa mereka (ahli waris Beneficiair) adalah debitur warisan, tetapi tidak untuk seluruh utang-utang warisan. Mengenai akibat hak istimewa ini, terdapat dalam Pasal 1032 KUHPerdata yaitu:

1. Bahwa ahli waris itu tidak wajib membayar utang-utang dan beban-beban harta peninggalan itu lebih daripada jumlah harga barang-barang yang termasuk warisan itu, dan bahkan bahwa ia dapat membebaskan diri dari pembayaran itu, dengan menyerahkan semua barang-barang yang termasuk harta peninggalan itu kepada penguasaan para kreditur dan penerima hibah wasiat;

2. Bahwa barang-barang para ahli waris sendiri tidak dicampur dengan barang-barang harta peninggalan itu, dan bahwa dia tetap berhak menagih piutang-piutangnya sendiri dari harta peninggalan itu.

Maka para ahli waris harus membayar semua utang pewaris. Masing-masing ahli waris harus membayar utang tersebut sebesar bagian warisan yang ia terima (jika menerima ½ bagian warisan, maka ia harus membayar ½ bagian utang pewaris). Ini berarti setiap ahli waris harus membayar utang si pewaris dengan harta mereka sendiri. Mengenai apakah harta para hli waris bisa diambil, tentu saja tidak bisa seketika diambil, karena tidak adanya jaminan kebendaan yang diletakkan di atas harta pribadi para ahli waris. Akan tetapi, kreditur mempunya hak untuk menggugat para ahli waris untuk melunasi utang pewaris jika sampai tanggal yang disepakati, utang tersebut tidak juga dibayar.

Sedangkan jika para ahli waris menerima dengan hak istimewa untuk diadakan perhitungan aktiva dan passiva warisan, para ahli waris beneficiair tersebut hanya perlu membayar utang pewaris sebesar jumlah warisan yang diterimanya. Jadi, para ahli waris beneficiair ini membayar utang pewaris tersebut menggunakan warisan (aktiva) yang diperolehnya dari pewaris dan hanya sebesar itu saja.

Pada dasarnya, menurut hukum Perdata Barat, seseorang dapat menerima maupun menolak warisan yang jatuh kepadanya, sebagaimana dikatakan dalam Pasal 1045 KUHPerdata yang berbunyi : “Tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya.”

Dalam hal seseorang menolak warisan yang jatuh kepadanya, orang tersebut harus menolkasnya secara tegas, dengan suatu pernyataan yang dibuat di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya warisan terbuka (pasal 1057 KUHPerdata).

J. Satrio dalam bukunya yang berjudul Hukum Waris (hal 340) mengatakan bahwa walaupun pertanyaan penolakan warisan tersebut tidak harus diberikan secara tertulis, tetapi oleh Pengadilan pernyataan tersebut dicatat dalam register yang bersangkutan.

Penolakan warisan ini tidak ada daluarsanya (Pasal 1062), akan tetapi, dengan adanya daluarsa menerima warisan yang lewat dengan lampaunya 30 (tiga puluh) tahun, maka secara otomatis, setelah 30 (tiga puluh) tahun berlalu, orang tersebut sama kedudukannya dengan dengan orang yang menolak warisan. Dengan kata lain, setelah 30 (tiga puluh) tahun, orang tidak perlu lagi melakukan penolakan warisan apabila tidak mau menjadi ahlii waris.

Penolakan warisan tidak dapat dilakukan hanya untuk sebagian harta warisan, ini karena penolakan warisan tersebut mengabitkan orang tersebut dianggap tidak pernah menjadi ahli waris (pasal 1058 Kuhper). Dengan dianggap tidak pernah menjadi ahli waris, maka orang tersebut tidak berhak atas harta warisan.

Seseorang yang menolak warisan, dapat diminta untuk menerima warisan atas permohonan kreditur dari orang yang menolak warisan tersebut. Akan tetapi, permohonan menerima warisan tersebut hanya sebesar utang debitur saja, dan penerimaan tersebut diwakilkan oleh kreditur, sebagaimana terdapat dalam Pasal 1061 KUHPerdata.

“Para kreditur yang dirugikan oleh debitur yang menolak warisannya, dapat mengajukan permohnan kepada Hakiim, supaya diberi kuasa untuk menerima warisan itu atas nama dan sebagai pengganti debitur itu dalam hal itu, penolakkan warisan itu hanya boleh dibatalkan demi kepentingan para kreditur dan sampai sebesar piutang mereka, penolakan itu sekali-kali tidak batal untuk keuntungan ahli waris yang telah menolak warisan itu.”

J. Satrio, sebagaimana kami sarikan, menjelaskan bahwa alasan di balik ketentuan Pasal 1061 KUHPerdata tersebut tesebut adalah dalam hal seorang ahli waris menolak yang positif yang jatuh padanya, maka tindakannya tersebut bisa merugikan kreditur, artinya menempatkan kreditru dalam kedudukan yang lebih jelek daripada kalau warisan diterima. Dengan diterimanya warisan yang positif, maka warisan tersebut bercampur dengan harta si debitur, sehingga aktiva harta debitur bertambah. Namun, apabila terdapat saldo aktiva harta debitur sendiri jumlahnya cukup untuk memenuhi utang-untangnya terhadap kreditur yang bersangkutan, maka tidak ada masalah.

Pada sisi lain, hak untuk menolak warisan tidak dikenal dalam hukum Islam. Hal tersebut disampaikan oleh Guru Besar Hukum Perdata Islam Universitas Indonesia (Prof. Tahir Azhary) di dalam artikel Hukum Waris Islam Tak Mengenal Hak Ingkar. Dalam artikel tersebut dia menjelaskan, hak untuk menolak warisanhanya dikenal dalam hukum waris perdata Barat. Menurutnya, dalam hukum waris Islam, ahli waris tidak boleh menolak warisan. Tahir menegaskan pula bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah jelas mengatur yaitu orang Islam berlaku hukum waris Islam, kecuali, pewaris dan ahli waris pindah agam. Artinya, mereka sudah melepaskan diri dari hukum Islam.

Pemikiran Prof. Tahir Azhary tersebut sejalan dengan asas hukum kewarisan Islam yang dapat disalurkan dari Al-Quran dan Hadits, yaitu Azas IJBARI. Seperti dijelaskan Prof. H Mohammad Daud Ali, SH di dalam bukum Hukum Islam (Hal 281-281 dan hal 289 -290) mengutip dari Amir Syarifuddin, Azas IJBARI mengandung arti bahwa peralihan harta dari sorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketatapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya. Unsur “Memaksa” (IJBARI=Compulsory) dalam hukum kewarisan Islam itu terlihat, terutama dari kewajiban ahli waris untuk menerima perpindahan harta peninggalan pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang ditentukan Allah di luar kehendaknya sendiri. Azas IJBARI ini dapat terlihat dari ketentuan umum mengenai perumusan pengertian kewarisan, pewaris, dan ahli waris. Selain itu juga pada Pasal 187 ayat (2) KHI yang berbunyi:

“Sisa dari pengluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.”

Akan tetapi, terdapat pendapat lain mengenai penolakan warisan menurut hukum waris Islam. Neng Djubaidah pengajar Hukum Waris Islam di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam artikel yang berjudul “Ahli Waris Dapat Menolak Pengalihan Paten, mengatakan bahwa ahli waris pun bisa menolak pewarisan. Akan tetapi, menurutnya, ahli waris harus terlebih dahulu mengetahui nilai warisannya sebelum memutuskan menolak warisan tersebut. Bila memang ahli waris tersebut sudah ikhlas bagiannya untuk diamalkan, hal itu boleh saja. Jangan sampai dia baru mengetahui nilai haknya setelah dia sudah menolak. Lebih lanjut, Neng Djubaidah mengatakan syarat seorang ahli waris menolak warisan adalah orang yang sehat akal, telah dewasa dan tidak dalam keadaan terpaksa.

Pendapat Neng Djubaidah tersebut sejalan dengan pendapat M. Ali Hasan dalam bukunya yang berjudul Hukum Warisan Dalam Islam (hal 114-115). Dia mengatakan bahwa dalam hukum waris Islam ada yang dinamakan TAKHARUJ yaitu suatu perjanjian yang diadakan oleh para ahli waris, bahwa ada di antara mereka yang mengundurkan diri tidak menerima warisan. Pengunduran diri itu adakalanya ada imbalannya dan adakalanya tanpa imbalan. Suatu perjanjian harus dibuat walaupun ahli waris yang mengundurkan diri itu telah dengan rela dan ikhlas menyerahkan bagiannya kepada ahli waris yang lain. Hal ini dianggap amat penting, agar jangan sampai terjadi sengketa di kemudian hari.

Sehingga dari penjelasan-penjelasan para ahli diatas, dapat disimpulkan, menurut penulis, pada prinsipnya dalam hukum waris Islam ahli waris tidak boleh menolak warisan. Namun, penolakan warisan oleh ahli waris dapat dilakukan jika disetujui oleh para ahli waris dan atau memang pengunduran diri tersebut atas dasar kerelaan dan niat yang baik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image