Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fani Ratu Rahmani

Anak Jadi Pelaku Kejahatan, Buah Aturan Kehidupan Penuh Kerusakan

Pendidikan dan Literasi | Sunday, 09 Jul 2023, 14:53 WIB
Fani Ratu Rahmani (Aktivis dakwah dan Pendidik PKBM di Balikpapan)

Miris melihat kondisi masyarakat saat ini tak lepas dari kejahatan. Setiap hari kita tidak henti mengonsumsi berita kriminalitas yang tidak hanya menimpa orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Pelaku kejahatan juga bukan lagi para dewasa melainkan anak-anak. Bagaimana perasaan anda, wahai Ayah Bunda?

Sebagaimana yang terjadi di Samarinda. Tujuh pelaku tindak pidana penjualan orang (TPPO) diringkus Polresta Samarinda. Kendati bukan satu jaringan, tapi mereka saling mengetahui bisnis masing-masing. Jadi, modus operandinya rata-rata sama. Mirisnya, dua di antara tujuh pelaku yang ditangkap polisi merupakan anak di bawah umur. (Kaltimpost, 29 Juni 2023)

Bukan itu saja, terjadi pula di Penajam Paser Utara (PPU). Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Penajam Paser Utara (PPU) melalui Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Tohar, menyatakan keprihatinan mendalam atas kejadian pelecehan seksual sesama jenis yang menimpa anak-anak sekolah dasar (SD) di Kecamatan Waru. Tersangka pun masih berusia 14 tahun. (Kaltimpost, 29 Juni 2023)

Kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) masih saja terjadi, hal ini sepatutnya menjadi perhatian berbagai pihak tak hanya kepolisian saja. Diawal Juli saja, masyarakat Babel dihebohkan adanya kasus pidana umum yang melibatkan ABH, yakni seorang anak putus sekolah dan anak berstatus pelajar melakukan pencurian dengan pemberatan (Curat). (Matabangka.com, 7 Juli 2023)

Melihat fakta demikian, tentu kita bertanya-tanya mengapa anak-anak bisa menjadi pelaku kriminal? Padahal, mereka kelak menjadi pengisi peradaban. Mereka akan jadi penentu maju atau tidaknya sebuah bangsa. Bagaimana kira-kira jika anak-anak yang ada justru menjadi pelaku kriminal?

Koreksi Keras Sistem Pendidikan dan Ekonomi

Pelaku atau mucikari di bawah umur, pelaku kejahatan seksual, hingga pembunuhan sebenarnya menunjukkan bobroknya sistem pendidikan. Ini termasuk koreksi keras yang harus diamini oleh penguasa dan pejabat negara bahwa pendidikan butuh evaluasi besar-besaran.

Sistem pendidikan yang ada tidak mampu meraih tujuan manis yang dirumuskan, yakni generasi yang beriman bertaqwa serta akhlak mulia. Sistem gagal membentuk kepribadian anak. Mengapa dikatakan gagal? Karena ini sudah berlangsung lama dan justru semakin kesini semakin menunjukkan rusak dan kegagalannya. Ini bukan lagi soal adaptasi tantangan zaman, tapi tentang sistem yang menjadi akar masalah dari kejahatan itu sendiri.

Inilah sistem pendidikan sekuler. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Kita tidak diatur oleh agama dalam aspek politik, ekonomi, sosial, pendidikan maupun hukum dan sanksi. Agama justru menjadi ranah privat, implikasinya masyarakat beragama tapi tidak mencerminkan nilai-nilai dan pedoman agama yang dianutnya. Apakah ini yang diharapkan oleh negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia?

Jika kita amati, kegagalan itu terletak pada tiga pilar. Pertama, dari sisi orangtua. Yang mana kita bisa saksikan orangtua juga jauh dari pemahaman-pemahaman agama, khususnya Islam. Pola asuh pendidikan yang diberikan bukanlah berbasis aqidah, tetapi ajaran sekuler yang diadopsi turun temurun sampai sekarang.

Di sisi lain juga ada tuntutan ekonomi yang membuat peran orangtua harus termarginalkan dengan fokus aktivitas mencari nafkah. Anak-anak akhirnya 'terdidik' melalui pergaulan dan juga gadget penuh platform yang senantiasa dekat dengan genggaman.

Kedua, dari sisi masyarakat. Di tengah kondisi sekarang, memang suasana individualistik tidak bisa dielakkan. "Aku-aku, kamu-kamu" adalah potret kehidupan masyarakat sekuler, yang menjadikan kejahatan itu minim pencegahan. Masyarakat tidak melakukan kontrol sosial. Tidak ada semangat untuk peduli dan mencegah sebelum kriminalitas itu terjadi.

Ketiga, dari sisi negara. Negara yang jauh dari Islam, dengan aturan-aturan sekuler ini telah sukses mengadopsi sistem buatan barat secara menyeluruh. Ekonomi yang kapitalistik membuat masyarakat menghalalkan segala cara demi memenuhi kebutuhan atau menuruti keinginan. Kehidupan jauh dari kesejahteraan.

Dilansir dari laman Kementerian Keuangan, tingkat kemiskinan September 2022 tercatat sebesar 9,57% atau sebanyak 26,36 juta orang berada di bawah garis kemiskinan. Tingkat kemiskinan ini naik tipis dari Maret 2022 (9,54%).

Ambil Islam Kaffah, Solusi Berkah

Salah satu bagian terpenting dari syariat Islam adalah adanya aturan-aturan yang berkaitan dengan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi tiap individu masyarakat, baik berupa pangan, pakaian, dan papan, serta lapangan pekerjaan. Sebab, hal-hal di atas berpengaruh pada kehidupan masyarakat dan pilihan-pilihan masyarakat dalam menjalani kehidupannya. Jika masyarakat sejahtera, mereka tidak berpikir halalkan segala cara untuk urusan perutnya.

Di samping memang perlu penerapan sistem lainnya yakni sistem pendidikan yang berbasis aqidah. Sistem ini ditanamkan sejak dini hingga menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Kurikulum yang ada haruslah kurikulum negara yang menjadikan syariat Islam sebagai pedoman bukan pilihan. Tujuan pendidikannya agar anak-anak memiliki syakhsiyyah (kepribadian) Islam, memahami tsaqafah Islam, dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

Penanaman standar halal haram dalam berbuat harus dimulai dari pilar orangtua. Aktivitas dakwah berupa amar ma'ruf nahi munkar harus ditunaikan oleh masyarakat. Serta pemeliharaan negara di aspek-aspek lainnya yang memang saling terkait antara satu dan lainnya.

Di sinilah pentingnya kita mengembalikan aturan kehidupan berdasarkan syariat. Sebagaimana di masa Rasulullah, para sahabat, para tabi'in, khalifah-khalifah hingga berakhirnya masa Utsmani. Tidakkah kita menginginkan hidup yang berkah dengan syariah? Atau menginginkan kehidupan yang sempit sebagaimana sekarang? Semoga, firman Allah ini bisa menjadi pengingat bagi kita:

"Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (TQS. Thaha : 124)

Wallahu a'lam bish shawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image