Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Anisa Maisyarah

Simpang Jalan Mahoni

Sastra | Saturday, 01 Jul 2023, 08:49 WIB
Source: google gambar

Pohon beringin itu masih saja berdiri tegak di pinggir jalan raya bernama Mahoni. Sejak aku pertama kali menghirup udara segar di daerah itu, mungkin sekitar usia 5 tahun, pohon itu sudah bertengger dengan buahnya yang lebat serta daun hijaunya yang sesekali berguguran tatkala diterpa angin. Hingga kini usiaku menginjak angka 20, pohon itu masih tetap kuat sebagaimana sebuah pondasi bangunan Menara Pisa yang berdiri tegak kokoh walau tampak ingin tumbang. Pohon beringin ini menjadi saksi atas setiap peristiwa yang telah terjadi di Jalan Raya Mahoni itu. Andaikan saja dia dianugerahkan mulut untuk berbicara, mungkin dia akan menceritakan suatu kejadian yang masih belum terpecahkan bagi warga sekitar Jalan Mahoni itu hingga detik ini.

23 Maret 2009, di persimpangan jalan itulah adanya

Ada kalanya orang-orang akan menyusuri jalanan raya saat langit masih diselimuti gelap, saat sebagiannya masih tertidur lelap, sedangkan sebagian yang lainnya mulai bergerak dengan penuh harap, yaitu ketika mesin roda duanya mulai berputar menyusuri jalanan menuju pintu rezeki. Jarum jam menunjukkan pukul 5 lewat 15 menit. Di daerahku, Kota Bengkulu, waktu ini adalah waktu yang masih tampak seperti malam hari. Mungkin di ujung tanah Sabang, waktu ini juga masih terlihat lebih gelap seumpama malam yang langitnya hitam pekat. Pada waktu ini, aku bersama ayah dan ibuku, hendak menunaikan ibadah salat subuh. Seperti biasa, sebagai rutinitas sebelum salat, ayah selalu menyalakan televisi terlebih dahulu untuk melihat informasi terkini. Ibu menyiapkan secangkir kopi hitam untuk ayah. Sedangkan aku, pergi mengeluarkan kucing-kucing dari kandang, karena waktu subuh adalah waktunya mereka untuk makan.

Sebelum salat dimulai, ayah selalu bertanya, “Sudah siap?” Aku dan Ibu yang sudah berdiri dengan rapih di belakangnya memberi isyarat bahwa kita sudah siap. Salat pun akhirnya dimulai dengan suara lantang takbir dari ayah. Mengangkat kedua tangan lalu bersedekap sembari melafaskan surah Al Fatihah. Memang, waktu subuh adalah waktu yang tepat untuk menjernihkan pikiran serta menggerakkan otot-otot tubuh kita yang kaku sejak bangun tidur. Waktu subuh pula saat udara sejuk terasa hingga ke tulang, membawa kedamaian dan ketentraman hati. Di saat itu pula, telinga kami bertiga menangkap suara yang tidak pernah terdengar di waktu subuh sebelumnya. Ya, suara dentuman keras yang membangunkan sebagian penduduk di Jalan Mahoni itu.

“Suara apa itu?” Tanya ayah usai menutup salatnya dengan ucapan salam. Menunggu respon aku dan ibu yang belum bisa menerka suara aneh itu, akhirnya kami bertiga pun bergegas keluar rumah. Rupanya, warga sudah berkerumun di simpang Jalan Mahoni dengan wajah bantal. Ada ibu-ibu yang masih menggunakan daster khas untuk tidur, ada bapak-bapak yang masih mengenakan sarung dan bertelanjang dada, serta beberapa diantara mereka yang menggendong bayi mereka dengan iler yang membasahi pipi. Suara dentuman aneh yang belum dapat dipastikan asal muasalnya, membuat warga memasang wajah heran penuh pertanyaan.

“Ada apa, Pak Karam?” tanya ayah kepada Pak RT yang mulai bingung sendiri.

“Saya juga tidak mengerti, Pak. Tiba-tiba, di pukul 5 lewat 19 menit mulai terdengar suara dentuman aneh. Lalu di simpang jalan ini bercecer potongan badan manusia dan darahnya yang berserakan.” Jelas Pak RT sedikit tergagap dan suaranya yang bergetar. Bola matanya berkaca-kaca dan air mukanya menyiratkan ketakutan penuh kekhawatiran. Kebingungannya sangat jelas tergambarkan dari penampilannya; kopiah hitamnya yang terpasang tidak rapih dan sarung yang digantungkan di pundak, serta celana pendek selutut yang menandakan dia terburu-buru keluar rumah.

“Hah?! Potongan badan manusia? Kok bisa, Pak?” Tanya ayahku, kaget. Aku yang menangkap pembicaraan mereka dari kejauhan, makin penasaran, “Potongan badan manusia?!” Tanyaku.

Seseorang mulai mendekati Pak RT yang sedang kebingungan. Mereka berharap agar Pak RT dapat mengurangi beban kebingungan mereka, padahal Pak RT sendiri sedang sangat bingung. Memang, seorang pimpinan akan selalu dimintai solusi padahal diri masih penuh dengan kebingungan. Hingga muncul saran, “Sudahlah, Pak, laporkan saja ke polisi. Biarkan polisi yang menyelesaikan kasus ini.” Saran seseorang menerobos pikiran Pak RT. Tanpa berpikir panjang, dia segera mengambil handphone (hp) bermerek nokianya dari saku celananya. Dia segera mencaritahu kontak polisi dari daftar yang ada di kontak hp-nya.

Aku memerhatikan kepanikan mereka. Aku mendekati kerumunan yang sekarang sudah mulai lengang. Orang-orang sudah melunturkan rasa penasaran mereka setelah melihat potongan badan yang tercecer di simpang jalan. Namun, masih belum bisa menghilangkan ribuan pertanyaan yang mencoba mengaitkan antara suara dentuman aneh dan potongan badan itu. Bau amis darah mulai terasa di lubang hidung. Spontan aku menutup hidungku dengan baju yang kukenakan. Satu per satu lalat mulai berdatangan. Satu per satu orang pun perlahan menjauh dari kerumunan.

Entah sekitar berapa menit kemudian, matahari mulai terlihat di ufuk timur. Percikan sinarnya mulai terasa ke permukaan bumi. Semburat cahaya memperjelas keadaan pagi hari itu. Jelas sudah, potongan badan yang dimaksud. Polisi yang dihubungi oleh temannya Pak RT pun mulai berdatangan ke lokasi kejadian. Ada sekitar 3 sampai 4 orang polisi yang tertangkap oleh penglihatanku. Dua diantaranya berpakaian tidak resmi, tepatnya hanya menggunakan celana jeans dan kaus yang dilapisi oleh jaket kulit. Polisi mulai melakukan penyeledikan terhadap potongan badan dan juga ke beberapa orang untuk mencari keterangan.

“Bisa bapak jelaskan bagaimana kronologi kejadian ini, Pak?” tanya Polisi kepada salah satu warga.

“Tidak tahu persis, Pak. Saat itu, saya baru saja hendak membuka warung saya. Tidak lama setelah itu, saya hanya mendengar suara dentuman cukup keras. Saat keluar rumah, saya tidak melihat apa-apa, Pak. Namun, karena penasaran, saya mencoba mendekati bibir jalan, tidak jauh dari simpang Mahoni. Saat itu, saya melihat ada percikan darah dan satu potong badan tidak jauh dari posisi saya berdiri. Saya coba ikuti jejaknya, rupanya di simpang Jalan Mahoni sudah banyak potongan badan ini, Pak. Saya juga tidak mengerti, Pak Polisi.” Penjelasan salah satu warga, bernama Pak Karman.

Pak Polisi mulai bingung. Dia masih belum menemukan keterangan yang jelas untuk dijadikan laporan. Dia mencoba bertanya kepada warga lain untuk mencari keterangan tambahan. Bertanya sana-sini, namun keterangan yang diberikan masih belum memuaskan. Akan tetapi, hanya ada satu keterangan yang membuat polisi ingin menggali lebih dalam lagi. Ya, keterangan salah seorang warga bernama Pak Karno memberi secercah harapan bagi pihak kepolisian.

“Oh iya, Pak. Saat itu, saya sedang ingin mengambil sampah warga di RT sebelah, yang jaraknya tidak jauh dari simpang Jalan Mahoni. Kemudian, saya melihat ada seseorang yang berdiri sekitar beberapa meter dari posisi potongan badan ini, Pak, atau di simpang jalan ini. Pandangan saya tidak begitu jelas, sehingga tidak bisa memastik rupa orang itu. Dari kejauhan, hanya tampak seperti siluet hitam saja, Pak.” Ucap Pak Karno, seseorang yang biasa mengangkut sampah bersama bak sampah mobilnya untuk warga Jalan Mahoni.

“Menurut Pak Karno, apakah seseorang itu ada di sekitar sini?”

“Saya tidak tahu, Pak. Lah saya saja tidak begitu jelas melihatnya karena gelap.”

Pak Polisi mulai mencoba memasang spekulasi-spekulasi. Beberapa ada yang menduga bahwa seseorang yang dimaksud Pak Karno-lah pelakunya. Akan tetapi, jika persaksian Pak Karno benar, pertanyaannya, siapakah seseorang yang dilihatnya itu?

Hari makin terang. Lokasi kejadian pun dibatasi oleh garis polisi. Tidak sedikit kendaraan mulai berlalu-lalang di jalanan raya itu. Beberapa warga mulai bergegas pergi bekerja mencari nafkah. Sedangkan yang tidak ada urusan di pagi itu, masih setia menunggu hasil penyelidikan dari pihak polisi. Sambil menunggu keterangan dari pihak polisi, segerombolan ibu-ibu berdaster bersama anaknya mulai berkumpul di satu titik tempat. Mereka membicarakan soal kejadian ini, dan mulai mengeluarkan kecurigaan-kecurigaan seputar pelaku di balik potongan badan di simpang Jalan Mahoni ini.

“Jangan-jangan, Pak Karno pelakunya. Lah dia yang mengangkut sampah. Jangan-jangan, dia memang sengaja tidak mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya. Malah memberi alibi bahwa ada orang yang tidak dikenal berdiri di simpang jalan ini.” Sahut seorang Ibu muda kepada istri Pak RT dan teman-temannya yang lain.

“Hush, jangan asal menuduh.” Tegur Bu RT.

Aku hanya memerhatikan tingkah mereka. Sesekali berpikir, kenapa ada orang yang tega membuang potongan badan manusia di simpang jalan ini? Lalu, apa korelasinya dengan suara dentuman tadi subuh? Apakah ada alien datang yang membawa puing-puing manusia luar angkasa ke muka bumi dan tidak sengaja diterjunkan ke simpang Jalan Mahoni ini? Aneh sekali! Hampir tidak habis pikir, kenapa hal aneh seperti ini terjadi. Hal seperti ini akhirnya membuat orang-orang menjadi teralihkan pikirannya. Yang awalnya ingin fokus bekerja, malah ikut membantu polisi mencari barang bukti yang mendukung pengungkapan kejadian ini. Memang, dunia itu penuh dengan berbagai macam distraksi yang mengganggu keseimbangan yang telah diciptakan. Siapa lagi pelakunya, kalau bukan dari manusia itu sendiri? Aku menghela nafasku. Aku terduduk di teras rumah mencoba memperhatikan tindak-tanduk yang mereka lakukan.

Polisi masih tampak bingung. Keterangan yang diperoleh makin beragam, tidak memberikan jawaban rupanya. Spekulasi yang sudah terbentuk sejak tadi, seketika terpatahkan oleh persaksian warga lainnya. Berbagai tuduhan dan kecurigaan mulai datang menghampiri. Ada yang menuduh Pak Karno sebagai biang di balik semua ini. Antara Pak Karno dan profesinya sebagai tukang angkut sampah, dicocokkan dengan potongan badan. Sebuah kesimpulan yang sulit diterima. Ada pula yang menuduh Pak RT sebagai kepala di lingkungan sekitar. Entahlah, mendapat benang merah dari mana mereka, sehingga muncul nama Pak RT sebagai pelaku? Akan tetapi, polisi masih belum menemukan jawaban, terlebih ketika dikaitkan oleh suara dentuman.

“Saya melihat ada seseorang yang berdiri dekat pohon beringin ini, Pak, selang beberapa detik terdengar suara dentuman!” Sahut seorang hansip, bernama Pak Sakti.

“Pohon beringin?” tanya salah seorang polisi sembari mengamati pohon beringin dari bawah hingga pucuknya. Entah apa yang dicarinya, berharap menemukan jawaban di sela-sela dedaunan. Aku pun mengikuti geraknya, melihat tegak pohon beringin dari bawah hingga puncaknya yang terjangkau oleh penglihatanku.

“Iya, benar, Pak!” Jawab Pak Sakti.

“Berarti ada dua orang yang mencurigakan terkait kejadian ini.” Ucap seorang polisi dengan yakin.

Aku yang masih berusia belasan tahun saat itu, tidak begitu mengerti berbagai analisis yang dipaparkan oleh warga setempat. Yang aku yakin, tentu bukan warga Jalan Mahoni pelaku sesungguhnya. Melainkan, bisa saja, pelakunya adalah antara dua orang yang mencurigakan sebagaimana disaksikan oleh Pak Karno dan Pak Sakti. Walau tidak jelas, bisa jadi mereka adalah pelaku sesungguhnya. Aku yakin itu!

“Apakah orang yang bapak lihat adalah seorang laki-laki?” Tembak seorang polisi dengan sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada Pak Sakti.

“Bisa jadi, Pak.” Jawab Pak Sakti agak sedikit ragu.

“Apakah dia bertubuh tinggi?” tanya salah seorang polisi.

“Hm bisa jadi. Mungkin nyaris 2 meter tingginya.”

“Apakah dia memakai ransel dan membawa sebuah parang?” Lanjut tanya Polisi.

“Hm, bisa jadi, Pak! Tapi, tidak pasti.”

Mendapat jawaban dari Pak Sakti, salah seorang polisi langsung memasang senyuman di wajahnya. Aku rasa, dia menemukan sebuah jawaban. Akan tetapi, dia tidak menindaklanjut hal tersebut. Entahlah kenapa. Barangkali, dia melihat seseorang yang berciri-ciri tidak jauh beda dari persaksian Pak Sakti? Entalah, aku tidak tahu. Aku hanya menyaksikan pohon beringin ini. Ingin bertanya, sebenarnya, “Apa yang engkau saksikan saat waktu subuh tadi?”

Kasus ini sudah memakan waktu sekitar tiga jam lebih, tapi masih belum menemukan hasil. Sebagian warga sudah mulai bosan dengan masa penantian jawaban. Seketika, rasa penasaran mereka luntur begitu saja, karena kepastian tidak kunjung tiba. Pihak kepolisian masih bergulat menyelidiki kasus ini. Sedangkan, potongan tubuh tadi mulai diamankan dan dijadikan sebagai barang bukti. Ada pula pihak rumah sakit yang hadir mencoba melakukan visum terhadap potongan badan tersebut. Beberapa warga mulai membersihkan Simpang Jalan Mahoni itu dengan air, agar tidak tercium bau amis. Lagi-lagi, aku mencoba perhatikan pohon beringin yang sempat disinggung oleh Pak Sakti.

“Aduhai, andaikan engkau dapat berbicara ” Pikirku, menatap harap kepada satu-satunya pohon beringin dekat simpang Jalan Mahoni ini.

Hingga detik ini, saksi mata ini masih saja terdiam

Sampai detik ini, aku masih belum mengetahui pelaku sebenarnya. Hanya Tuhan dan pohon beringin ini yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di simpang Jalan Mahoni saat itu. Iya, hanya dia yang mengetahui itu semua. Pohon beringin ini adalah saksi bisu atas kejadian di Simpang Jalan Mahoni. Lagi-lagi, hatiku kembali berandai, agar dia mampu berbicara. Namun, sayangnya, tidak. Pohon beringin ini seumpama seorang saksi mata yang sengaja membungkam mulutnya demi melancarkan niat jahat seseorang untuk direalisasikan di muka bumi ini. Atau mungkin sebutan yang tepat untuknya adalah saksi mata yang buta matanya. Pohon beringin ini mengenang kejadian tersebut dengan tanpa diceritakan.

Seketika, aku terhenti di hadapan pohon beringin di dekat Simpang Jalan Mahoni ini. Lagi-lagi, mataku menatap harap kepadanya. Saat itu pula, sekilas menangkap seseorang yang berjalan mendekati pohon beringin. Dia terlihat cukup tinggi, menggunakan ransel, serta membawa sebuah parang di tangan kanannya. Melihatnya, aku menjadi teringat ciri-ciri yang disebutkan oleh Pak Sakti sebelas tahun yang lalu.

“Dia ” Pikirku, dan memoriku kembali membawaku kepada tahun 2009 lalu.

.

Depok, 28 November 2020

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image