Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Afrida Putri Ardhiani

Pelecehan Seksual dan Keadilan Gender : Perspektif Hukum dan Tantangan

Eduaksi | Tuesday, 13 Jun 2023, 20:51 WIB

Pelecehan seksual merujuk pada setiap tindakan yang melibatkan eksploitasi seksual atau penyalahgunaan kekuasaan yang tidak diinginkan oleh seseorang. Ini dapat mencakup tindakan seperti pelecehan verbal, pelecehan fisik, pemerkosaan, pelecehan online, dan pelecehan seksual di tempat kerja. Pelecehan ini sering kali terjadi dengan latar belakang ketidakadilan gender, di mana perempuan menjadi korban yang paling rentan. Oleh karena itu, upaya untuk mencapai keadilan gender juga merupakan bagian penting dari penanggulangan pelecehan seksual.

Dalam perspektif hukum, berbagai negara telah mengadopsi undang-undang yang ditujukan untuk melindungi korban pelecehan seksual dan mendorong keadilan gender. Undang-undang semacam itu berusaha untuk memperkuat definisi pelecehan seksual, memberikan perlindungan hukum bagi korban, dan menetapkan sanksi yang tegas bagi pelaku. Beberapa negara telah membuat langkah maju dengan mengenali pelecehan seksual sebagai kejahatan khusus yang memerlukan tindakan hukum yang cepat dan adil.

Namun, meskipun ada upaya hukum yang signifikan, masih ada tantangan yang perlu diatasi dalam mencapai keadilan gender dan menangani pelecehan seksual. Salah satu tantangan utama adalah rendahnya kesadaran dan stigma yang terkait dengan pelecehan seksual. Banyak korban merasa takut atau malu melaporkan tindakan pelecehan yang mereka alami, terutama jika pelakunya adalah orang yang mereka kenal atau memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Stigma ini dapat menghambat proses hukum dan menghalangi korban untuk mencari keadilan.

Selain itu, seringkali terdapat hambatan sistemik dalam penegakan hukum terkait pelecehan seksual. Kurangnya sumber daya, pelatihan yang tidak memadai, dan sikap stereotip terhadap korban seringkali menghambat upaya penegakan hukum yang efektif. Pengadilan yang lambat dan perbedaan pendekatan hukum antara negara juga menjadi tantangan yang perlu diatasi untuk mencapai keadilan gender yang sejati. Sanksi hukum pidana mempunyai ciri sanksi yang tegas, menderitakan berupa nestapa, oleh karena itu hukum pidana merupakan sistem sanksi yang negatif. Sanksi bertujuan mencegah orang melakukan tindak pidana (dalam hal ini pelecehan seksual) sebagai prevensi baik bersifat umum (yang ditujukan kepada seluruh warga masyarakat agar tidak melakukan pelanggaran ketertiban), maupun khusus (untuk seorang pelaku jangan sampai mengulangi kejahatan lagi). Hukum pidana menurut Sudarto (1981:158) memuat dua hal, yaitu : syarat-syarat untuk memungkinkan penjatuhan pidana dan ketentuan mengenai pidana. Apabila yang pertama diperinci lebih lanjut, maka dapat dikatakan bahwa hukum pidana mempunyai tiga pokok persoalan; 1) perbuatan yang dilarang, 2) orang, dan 3) pidana.

Hal tersebut berarti memfungsikan hukum pidana untuk menanggulanggi kejahatan (pelecehan seksual) dalam rangka antisipasi hukum pidana, sebagai kebijakan hukum pidana yakni suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, dan kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang serta kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan hukum pidana merupakan suatu proses yang terdiri dari tiga tahap yaitu : tahap formulasi atau legislatif, tahap penerapan atau yudikatif, dan tahap pelaksanaan atau eksekutif/administratif. Pada tahap formulasi perlu diperhatikan adanya masalah sentral yang menyangkut penentuan : 1) perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan 2) sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image