Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yuli Awalunnisa

Faktor Penghambat Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Sulawesi Utara

Info Terkini | Tuesday, 13 Jun 2023, 18:30 WIB
Sumber : Google

Lamanya penyelesaian berbagai peraturan pendukung menjadi salah satu hambatan utama dilaksanakannya otonomi di daerah. Pemerintah pusat dinilai belum serius, sementara pemerintah daerah dianggap terlalu bergantung pada arahan dari pusat dan kurang memiliki inisiatif untuk kemajuan daerahnya. Pemda Sulut telah mengupayakan pembentukan stuktur organisasi yang baru serta telah mempertimbangkan jumlah jabatan dan pegawai yang dibutuhkan. Namun tidak sebanding dengan kewenangan yang ada, jumlah pegawai tersebut malah melebihi kapasitas yang dibutuhkan. Langkah yang diupayakan pemda sulut adalah mengirimkan pegawai yang lebih tadi ke kabupaten/kota namun itu bukan sebuah solusi, karena kabupaten/kota cenderung menolak sebab alasan gaji pegawai sudah masuk ke dalam DAU (dana alokasi umum) Provinsi. Namun permasalahan tersebut dapat dikendalikan sebab dibentuknya Provinsi Gorontalo yang mampu menopang Pemda Sulut dalam pengalokasian sebagian pegawainya.

Produk hukum yang dihasilkan pemda berupa perda yang memungkinkan pemda menarik sebanyak mungkin pungutan untuk peningkatan PAD (pendapatan asli daerah), disamping itu menimbulkan kesan otonomi daerah sebagai legitimasi untuk peningkatan PAD malah menghasilkan ekonomi biaya tinggi yang tak dapat dihindari. Kondisi ini dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif sebagai prasyarat masuknya investor tidak akan terjadi.

Menyangkut dana dekonsentrasi masih simpang siur karena belum tersosialisasi dengan maksimal. Untuk itu pemda memperkuat basis keuangannya, mengajukan dana tambahan ke pusat untuk meningkatan PAD walaupun untuk itu pemda tidak memiliki banyak ruang.

Secara umum, pemerintah daerah dalam merumuskan berbagai kebijakan publik dihadapkan pada berbagai kelemahan, antara lain :

1). Kesulitan dalam memaparkan kebijakan otonomi daerah terutama menyangkut kewenangannya, hubungan kerja dengan DPRD, jumlah pegawai yang terlalu banyak, DPRD yang angkuh, serta praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang terus terjadi.

2). Kebijakan Pemerintah Daerah terfokus pada upaya peningkatan sumber PAD (pendapatan asli daerah)

3). Perumusan kebijakan publik tidak transparan dan tidak dilakukan sosialisasi.

4). Kurang mendukung pelaku ekonomi lokal malah pengusaha daerah cenderung meminta pengamanan.

UU yang dibuat pemda Sulut dibuat tergesa gesa karena itu pelaksanaanya diduga akan menghadapi banyak tantangan, bukan hanya dari perangkat peraturan pendukung yang lama pembuatannya tapi juga dari sikap mental pejabat baik pusat atau daerah dalam upaya mengatur aspek kewenangan pemerintahan. Dimasa orde baru aparat daerah cenderung sebagai pelaksana tanpa adanya ruang kewenangan otonom yang memadai serta berdampak terhadap daya inisiatif dan inovatif dari aparat pemda yang rendah. sebab itu, dikhawatirkan cenderung meniru begitu saja ketika diberikan kewenangan yang lebih besar tanpa inovasi dan inisiatif pemda itu sendiri.

Di Tingkat Provinsi, Dana Alokasi Umum (DAU) Provinsi Sulut belum berjalan sebagaimana mestinya karena pada kenyataannya DAU yang dialokasikan pusat ke Sulut mengalami ketimpangan karena jumlah DAU bahkan pendapatan total yang sudah direncanakan Pemda Provinsi Sulut tidak dapat mencukupi kebutuhan belanja yang diperhitungkan, tidak adanya kejelasan informasi dan transparansi menimbulkan persoalan teknis operasional yang makin besar dan kebijakan pusat bahwa DAU untuk daerah di prioritaskan untuk memenuhi kebutuhan rutin, namun disamping itu justru pembangunan terpaksa harus diundur karena anggaran yang tidak tersedia. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Sulut meminta tambahan dana ke pusat untuk memperkuat basis keuangannya dalam upaya peningkatan PAD. Ruang gerak yang terbatas memaksa Pemda Provinsi Sulut untuk membuat beberapa perda baru mengenai pungutan daerah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image