Merasakan Hari Pertama Pembebasan Masker di Transjakarta
Gaya Hidup | 2023-06-12 13:06:04Sudah tiga tahun lebih kita bermasker ria di tengah keramaian manusia. Di antara yang paling lama menerapkan kewajiban masker adalah moda transportasi umum. Untuk Jakarta dan sekitarnya, mereka adalah Transjakarta, MRT, LRT, dan KRL.
Namun, pembebasan itu datang juga pada pertengahan tahun 2023. Ini diawali ketika Presiden Joko Widodo resmi mencabut status Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada akhir Desember 2022. Kendati PPKM sudah almarhum, aturan bermasker masih berlaku di beberapa tempat berisiko, termasuk di kendaraan umum.
Itu kenapa kita masih ditegur bila tidak menggunakan pelindung mulut itu di dalam bus atau kereta. Para penumpang yang sudah tidak bermasker di tempat kerja atau lingkungannya bisa saja lupa bahwa aturan berbeda masih berlaku di transportasi umum. Syukurlah kadang ada orang baik hati memberikan maskernya kepada si ‘fakir masker’.
Pemerintah akhirnya menemukan fakta bahwa penularan Covid-19 setelah PPKM dicabut bersifat minimalis. Dan, Satgas Covid-19 resmi menerbitkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2023 tentang Protokol Kesehatan pada Masa Transisi Endemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) pada Jumat, 9 Juni 2023. Media baru ramah memberitakan aturan baru tersebut pada keesokan harinya.
Berselang dua hari, Transjakarta mengumumkan penghapusan aturan wajib masker per hari Minggu kemarin, 11 Juni 2023. Inilah momen yang sangat saya harap-harapkan.
Sudah tiga tahun kita dipaksa, tentu dengan alasan yang rasional, betapa pentingnya menghindarkan diri dari penularan virus corona. Kita patuh karena sadar dengan resiko untuk diri kita, sekaligus potensi bahaya serupa untuk orang lain. Namun, akal sehat kita bilang keadaan sudah semakin baik sejak vaksinasi massal. Toh, negara lain juga tidak mengalami peningkatan kasus setelah kewajiban masker dilonggarkan.
Untuk melihat penerapan penghapusan wajib masker ini, saya kemarin menggunakan Transjakarta. Pada siang hingga sore hari saya menaiki tiga rute Mikrotrans, angkutan kota gratis milik BUMD DKI Jakarta tersebut. Diawali rute Tanah Abang-Kota, dilanjutkan dengan Pulogadung-Kota, dan diakhiri dengan Senen-Pulogadung.
“Iya masker sudah tidak wajib,” kata sopir Mikrotrans Tanah Abang-Kota yang saya naiki. “Sekarang tinggal kesadaran sendiri.”
Sang sopir sendiri masih mengenakan masker. Menurutnya, tetap ada potensi bahaya dari infeksi virus entah corona atau yang lain. Saya pun melihat penumpang satu bus masih bermasker.
Di rute kedua, sopir dan seluruh penumpang juga bermasker. Saya sendiri tetap mengenakan masker karena khawatir aturan belum berlaku di lapangan. Pengalaman pribadi menunjukkan sopir Mikrotrans sangat disiplin soal masker. Di dalam bus kecil itu, sopir bisa melihat perangai penggunanya dari spion tengah.
Keadaan berbeda terekam di rute ketiga. Sopir untuk rute ini sudah tidak mengenakan masker. Dari segi usia, sopir rute ketiga ini lebih muda dari dua rute sebelumnya. Kontras dengan sang sopir, semua penumpang di bus rute ketiga ini masih berhias masker.
Malam harinya saya berkesempatan menjajal angkutan Transjakarta yang paling banyak digunakan, bus raya terpadu (BRT), atau yang sering disalahkaprahi dengan ‘busway’. Saya menggunakan tiga rute: PGC-Monas, Lebak Bulus-Pasar Baru, dan Pulogadung-Rawa Buaya.
Di antara tiga rute itu, sepenglihatan saya, hanya satu-dua orang di antara ratusan penumpang yang nir-masker. Yang lebih banyak tidak bermasker adalah para pramusapa di halte. Sementara untuk sopir saya tidak terlalu memperhatikan mengingat besarnya bus.
Dominannya penumpang bermasker Transjakarta ini tentu saja cukup mengejutkan. Apa penyebabnya? Pertama, bisa saja mereka belum mendapatkan informasi. Pasalnya, Transjakarta baru mengumumkan secara resmi di media sosialnya. Belum ada pengumuman di halte yang bisa dilihat langsung oleh penumpang.
Kedua, sudah terbiasa. Alasan ini masuk akal karena selama tiga tahun ini kita merasakan aneka manfaat bermasker. Tidak hanya menghindarkan dari Covid-19, tetapi juga virus lain seperti influenza. Di luar bus, kita juga bisa terhindar dari debu dan asap berbahaya. Jadi, memakai masker secara kontinu memberikan manfaat lain yang setimpal.
Ketiga, paranoid. Ini sudah termasuk masalah kejiwaan sebenarnya. Ngerinya Covid-19, entah itu dialami langsung atau melihat orang lain, membuat banyak penumpang masih khawatir tubuh mereka disusupi virus corona.
Tentu saja bermasker atau tidak kini menjadi hak penumpang. Sekalipun aturan masker sudah dikendurkan, kita sendirilah yang memutuskan apakah membuat wajah kita tertutup masker atau tidak. Sebelum pandemi Covid-19, sepengamatan saya sekitar 20% penumpang mengenakan masker, terutama kaum hawa. Dahulu alasan mereka karena khawatir infeksi virus lain atau debu.
Bagi saya sendiri masker adalah ikon dari pandemi, salah satu momen terkelam dalam sejarah manusia modern. Kita semua ingin pandemi itu berakhir dan segera melupakan cerita kelamnya. Nah, cara untuk memberi kesan tandasnya pandemi adalah dengan mengenyahkan tandanya yang ikonik itu: masker. Inilah salah satu langkah kembali ke kehidupan normal.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.