Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Irma Auliyatunnisa UIN Walisongo Semarang

Greenwashing: Manipulasi Opini Publik

Edukasi | Wednesday, 31 May 2023, 08:04 WIB

Greenwashing: Manipulasi Opini Publik.

Akhir-akhir ini beberapa perusahaan banyak meluncurkan kampanye berkelanjutan sebagai bentuk upaya untuk menarik pelanggan. Dimana masyarakat kini lebih memperhatikan akibat dan juga dampak yang ditimbulkan dari kegiatan konsumsinya.Banyak perusahan yang menggunakan iklan dijalan, televisi ataupun internet yang mengklaim produknya bersifat ramah lingkungan, biasanya juga ada penjelasan yang mendukung klaim tersebut. Sebagai contoh biasanya mereka menggunakan kata-kata seperti sustainable,dan biodegradable atau juga menggunakan gambar pohon dalam kemasan produknya. Namun realitanya klaim-klaim seperti ini malah terkadang keluar dari perusahaan yang notabenya sudah jelas diketahui merusak lingkungan. Melalui iklan yang dikampanyekan itu perusahaan berusaha untuk terlihat “lebih hijau”. Tindakan inilah yang sering disebut dengan greenwashing.

Apa itu greenwashing?

Mengutip dari Encyclopedia of Corporate Social Responsibility , greenwashing merupakan stategi promosi palsu yang mengatasnamakan menjaga lingkungan. Greenwashing juga dapat berupa alokasi dana yang besar dalam mencitrakan upaya organisasi “hijau” ketimbang aksi ramah lingkungan yang sebenarnya. Melalui citra “hijau” inilah diharapkan konsumen menjadi lebih tertarik terhadap perusahaan dibanding produk lain dari sector yang sama, sehingga nantinya peruasahaan tersebut akan mengalami peningkatan keuntungan. Padahal faktanya, dibalik peningkatan laba itu, terjadi juga peningkatan perusakan terhadap lingkungan.

Istilah “greenwashing” dipopulerkan oleh ahli lingkungan Jay Westerveld dalam sebuah esai pada tahun 1986 yang mengkritik gerakan “ menghemat handuk” di hotel-hotel pada masanya. Westerveld mengatakan, pada industry perhotelan yang ada mengklaim bahwa penggunaan ulang handuk merupakan strategi yang ramah lingkungan. Namun dia justru menaruh curiga langkah tersebut hanya upaya menghemat beban operasi.

Westeverld memperhatikan diseluruh hotel, banyak limbah yang ditemukan, dan tidak ada upaya dari perusahaan untuk menanggulangi masalah tersebut. Menurut Westerveld pihak hotel hanya mencoba menghemat biaya dengan tidak mencuci handuk yang terlalu banyak, dan mencoba mempromosikan hal tersebut sebagai bentuk upaya ramah lingkungan.

Jaman sekarang kebanyakan perusahaan melakukan praktik greenwashing guna menggait pasar dikalangan anak muda yang yang notabenya lebih peka terhadap isu lingkungan. Tidak hanya untuk menarik konsumen, praktik ini juga biasa digunakan untuk menarik investor.

Tersebarnya praktik greenwashing ini membuat beberapa Negara membuat regulasi yang jelas sebagai panduan atau hukuman bagi para pelaku greenwashing. Seperti Australia yang memiliki pasal didalam Australian Costumer Law yang digunakan untuk memberi hukuman bagi perusahhan pemberi greenwashing.

Apa alasan di balik greenwashing?

Dikutip dari Earth.org, alasan adanya praktik greenwashing yang dilakukan perusahaan ini sangatlah sederhana yaitu untung.

Dalam sebuah laporan yang ditulis oleh McKinsey menjelaskan bahwa generasi muda sekarang lebih cenderung tertarik menghabiskan uang mereka untuk membeli merek dari perusahaan yang dianggap ramah lingkungan.

Laporan lain yang dikeluarkan oleh Global Corporate Sustainability Report Nielson menemukan bahwa sejumlah 66 % consume akan menggunakan uangnya untuk membeli lebih banyak untuk sesuatu yang berasal dari merek ramah lingkungan. Persentase ini akan melonjak menjadi sebanyak 73 % dikalangan Gen Z.

“Oleh karena itu, perusahaan memiliki keuntungan finansial jika mereka menjadi lebih, atau setidaknya, tampak sadar akan perubahan iklim, “tulis Earth.org.

Earth.org menyebutkan, adanya alasan lainnya keterlibatan perusahaan dalam praktik greenwashing karena mereka sebenarnya tidak menguasai dan juga mengetahui mengenai apa yang mereka lakuakan.

“Banyak perusahaan tidak memiliki keahlian untuk mengetahui apa yang benar-benar bermanfaat bagi lingkungan , dan apa yang tidak, “tulis Earth.org.

Fenomena greenwashing ini juga dilatarbelakangi oleh kewajiban sebuah perusahaan untuk bisa mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), yang merupakan sebuah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang ditentukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Contoh Praktik Grenwashing

Contoh greenwashing di Indonesia cukup banyak yang terjadi dan menimbulkan dampak yang buruk terutama bagi lingkungan sekitar. Fenomena greenwashing yang terjadi di Indonesia diantaranya, praktik greenwashing yang dilakukan oleh perusahaan penyedia air minum dalam kemasan (AMDK). Di Indonesia perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) meluncurkan kemasan botol air yang terbuat dari plastik 100% daur ulang yang terletak di salah satu provinsi yang ada di Indonesia dengan mengtargetkan bisa digunakan di seluruh provinsi pada tahun 2025. Perusahaan juga mengkalim bahwa telah mengumpulkan kurang lebih 12.000 ton sampah botol plastic untuk setiap tahunnyauntuk didaur ulang. Meskipun terdengar seperti upaya untuk mengurangi sampah, terutama sampah botol plastik, namun hal ini dikategorikan sebagai greenwashing ketika dilihat dari sisi lain dari perusahaan dan gerakan ini.

Alasan yang pertama, seperti yang dapat dilihat, perusahaan yang bersangkutan secara tidak langsung melakukan eksploitasi terhadap sumber daya air secara besar-besaran, yang menimbulkan daerah disekitar pabriknya kerap mengalami krisis air bersih. Yang kedua jumlah botol plastic yang dinyatakan akan dikumpulkan dan didaur ulang, faktanya masih jauh dari jumlah botol yang dihasilkan. Indonesia untuk setiap tahunnya memiliki sekitar 4,86 miliar sampah botol. Dimana produk perusahaan ini juga menjadi salah satu kontributor terbesar sampah plastic di Indonesia, yang mana jika diakumulasikan sekitar setengah dari sampah plastic botol nasional.

Contoh lainnya yaitu greenwashing yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan fast fashion (industry tekstil yang menghadirkan pakaian siap pakai dengan konsep pergantian mode yang cepat dalam waktu tertentu) multinasional. Kesalahan perusahaan multinasioanal tersebut karena sudah menyiapkan lebih dari 5.000 toko yang tersebar di 34 negara di dunia. Pada tahun2019 perusahaan tersebut mengeluarkan edisi terbaru dengan tema “green” dimana perusahhan ini menyebutkan produknya sebagai sebagai sustainable fashion (mode/busana yang berkelanjutan) yang mana apabila dipakai akan terlihat menawan da sekaligus berkontribusi dalam keberlanjutan lingkungan. Hal ini menarik konsumen untuk membeli produk yang terkesan ramah lingkungan. Namun dalam penjelasaanya produk hanya menggunakan 50 % bahan yang dapat di daur ulang dalam produksinya dan juga perusahaan tidak menjelaskan lebih lanjut terkait proses daur ulang yang mereka lakukan. Berapa waktu yang merwka butuhkan, berapa banyak karbon yang mereka hasilkan dari proses produksinya, dan juga perincian lain yang dapat menyebut produknya sebagai sustainable fashion.

Regulasi telah tersedia, namun belum memadai

Indonesia telah berkomitmen untuk memajukan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), termasuk dalam hal konsumsi dan produksi yang lestari (sustainable consumption and production).

Komitmen yang terpadu dalam rancangan pembangunan nasional yang dibuat oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) secara tidak langsung menunjukkan betapa pentingnya pencegahan greenwashing dalam mewujudkan konsumsi dan produksi yang berkelanjutan.

UU Nomor 32 Tahun 2009 mengenai Perlindungan dan Pengaturan Lingkungan Hidup Pasal 68 juga memerlukan pengusaha untuk menyajikan data yang jujur, tepat, transparan, dan tepat waktu, berkenaan dengan perlindungan serta pengaturan lingkungan hidup.

Ada juga persyaratan tambahan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2014 terkait inklusi logo ekolabel. Sistem ekolabel ini berperan untuk menyatakan bahwa suatu produk telah memenuhi standar lingkungan sejak tahap pengolahan bahan baku hingga pembuangan sisa produk.

Peraturan terkait lainnya tercantum dalam ketentuan Pasal 4 ayat 3 dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menjelaskan hak fundamental konsumen atas informasi yang akurat, transparan, dan jujur mengenai kondisi serta jaminan barang dan/atau jasa.

Sementara itu, dalam Pasal 8, kebijakan ini juga mengharamkan pengusaha untuk menipu konsumen dengan mengklaim bahwa barang atau jasa telah memenuhi standar mutu tertentu, serta membuat dan/atau menjual produk atau jasa yang tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, atau keunikan seperti yang dijelaskan dalam label, etiket, atau deskripsi produk atau jasa.

Orang yang melanggar larangan ini, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, bisa dihukum dengan penjara maksimum 5 tahun dan denda sebesar Rp 2 miliar.

Sayangnya, di samping ketentuan-ketentuan tersebut, belum ada peraturan lain yang mengatur perlindungan masyarakat secara khusus dari praktik greenwashing. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pembahasan mengenai praktik greenwashing di Indonesia dan belum dimasukkan dalam kebijakan yang ada.

Sebagai hasilnya, pembaruan regulasi dan penegakan hukum terhadap tindakan-tindakan tersebut masih belum menjadi fokus utama.

Belajar dari Australia

Serupa dengan hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, di Australia juga terdapat peraturan yang mengatur perlindungan konsumen melalui Australian Consumer Law (ACL). ACL mengatur berbagai bentuk pemasaran dan klaim pada kemasan, pelabelan, periklanan, dan promosi di semua media. Aturan ini juga menetapkan sejumlah persyaratan yang harus dipatuhi oleh pelaku usaha dalam setiap klaim ramah lingkungannya, termasuk pembuktian klaim dengan pengujian ilmiah.

Perbedaannya terletak pada keberadaan badan khusus bernama Australian Competition and Consumer Protection (ACCC) yang berwenang untuk mengambil tindakan hukum terhadap pengusaha yang mungkin melanggar ACL dengan klaim lingkungan dalam produknya.

Satu contoh terbaru dari praktik greenwashing yang ditindak oleh ACCC sejak tahun 2016 terkait dengan klaim palsu tentang kepatuhan produsen kendaraan Volkswagen AG terhadap standar emisi diesel di Australia. Pada tahun 2019, Pengadilan Federal menyetujui tuntutan ACCC dan memerintahkan Volkswagen AG untuk membayar denda sebesar $125 juta atas tuduhan dustanya.

Di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK memiliki wewenang untuk menerima keluhan terkait produk atau kegiatan yang diduga melakukan praktik greenwashing.

Kementerian Lingkungan dan lembaga pemerintah lainnya bisa mengikuti jejak Australia dalam menjalankan tugasnya untuk melindungi masyarakat dari praktik greenwashing dengan sungguh-sungguh.

Jika ingin memastikan keberhasilan upaya ini, pemerintah dapat mengeluarkan peraturan khusus yang secara bersamaan menjelaskan definisi dan standar greenwashing. Keterangannya harus jelas agar konsumen dapat mempergunakannya sebagai dasar untuk melaporkan keluhan. Hal ini sesuai dengan norma yang berlaku.

Di masa depan, pemerintah harus menetapkan standar dan secara aktif memantau produk yang mengklaim dirinya ramah lingkungan untuk mendorong produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. Aturan ini harus diperluas ke sektor perdagangan elektronik dan periklanan.

Sementara itu, bagi masyarakat, pentingnya kesadaran bersama untuk membangun diskusi dan gerakan anti-greenwashing harus ditingkatkan. Partisipasi dapat dilakukan dengan lebih proaktif, seperti melalui tuntutan hukum ke pengadilan.

Di samping itu, sebagai pelanggan, kita harus senantiasa memiliki sikap evaluatif untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran mengenai apa yang disebut sebagai inisiatif ramah lingkungan (eco-friendly marketing).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image