Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Pangeran Zidane

Kontroversi Keputusan Mahkamah Konstitusi yang Inkonsisten

Politik | Monday, 29 May 2023, 22:04 WIB

Belakangan ini, perhatian kembali tertuju pada dunia hukumketatanegaraan di Indonesia. Setelah melalui serangkaiankontroversi terkait persiapan pemilihan umum 2024, kontroversi baru muncul pada tanggal 25 Mei yang lalu.

Permohonan uji materi terkait pasal 29 huruf e dan pasal 34 dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 mengenaiperubahan kedua Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) diajukan oleh Nurul Ghufron, wakil ketua KPK, telah diterimadan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Dua pasal yang diajukan untuk pengujian seharusnyamencakup aturan tentang batas usia minimal untuk menjadikomisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sertaketentuan mengenai masa jabatan komisioner KPK.

Sebelum diuji, Undang-Undang yang dimaksud mengaturbahwa persyaratan minimal untuk menjadi komisioner KPK adalah memiliki usia minimal 50 tahun dan maksimal 65 tahun pada tahapan pemilihan.

Sementara itu, masa jabatan yang harus dijalani oleh komisioner KPK adalah selama 4 tahun. Namun, setelahputusan tersebut, persyaratan usia minimal tersebut dianggaptidak sesuai dengan konstitusi kecuali jika ditafsirkan sebagai"minimal usia 50 tahun atau memiliki pengalaman sebagaiPimpinan KPK, dan maksimal usia 65 tahun pada tahapanpemilihan".

Sebaliknya, terkait masa jabatan komisioner KPK, MahkamahKonstitusi menyatakan bahwa membatasi masa jabatankomisioner KPK hanya selama 4 tahun.

Oleh karena itu, telah tercipta ketimpangan dan bertentangandengan prinsip kesetaraan di hadapan hukum. Akhirnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa masa jabatanpimpinan KPK haruslah selama 5 tahun dan setelah itu dapatdipilih kembali untuk satu periode masa jabatan.

Jika kita melihat sejarah putusan tersebut, ini bukanlahputusan pertama dari Mahkamah Konstitusi yang menghasilkan perubahan norma baru dalam putusannya, yang pada dasarnya menunjukkan arah keputusan yang lebih sepertilegislator positif, yang sebenarnya bukan tugas dan fungsiutama Mahkamah Konstitusi itu sendiri.

Secara filosofis, ketika Mahkamah Konstitusi didirikan, diharapkan menjadi lembaga yang berfungsi sebagai legislator negatif yang menjaga keseimbangan antara undang-undangdan konstitusi.

Namun, penting untuk diingat bahwa dalam konsepsikonstitusionalisme modern, institusi peradilan diharapkanberperan aktif dalam membangun negara hukum. Inilah yang kemudian menjadi dasar terbentuknya doktrin aktivismeyudisial dalam praktiknya. Namun, jika kita melihat kembalipada putusan terbaru yang dikeluarkan, terdapat indikasibahwa Mahkamah Konstitusi tidak konsisten denganputusannya sebelumnya.

Pada tahap ini, permohonan yang diajukan oleh Nurul Ghufron terkait batasan usia untuk menjadi komisioner KPK dan masa jabatan komisioner KPK dapat dianggap sebagaiimplementasi dari kebijakan hukum terbuka (open legal policy), yang dalam beberapa kasus dianggap sebagai wilayah absolut pembentuk undang-undang oleh MahkamahKonstitusi.

Selama perjalanan waktu, Mahkamah Konstitusi hanyamemberikan batasan dan panduan bahwa setiap pembentukanundang-undang yang menganut kebijakan hukum terbuka(open legal policy) haruslah mematuhi prinsip-prinsipkeadilan, moralitas, ketidakadilan yang tidak dapat diterima, dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Namun, dalam konteks penalaran yang wajar, tindakan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi dapat diinterpretasikansebagai inkonsistensi terhadap putusan sebelumnya. Hal inimengingat adanya beberapa kasus yang mencerminkanketidaksesuaian antara putusan-putusan MK. Meskipun dalamkonstitusionalisme modern institusi peradilan diharapkanberperan aktif dalam membangun negara hukum, namun tetappenting untuk menjaga konsistensi dan kestabilan keputusanhukum yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi.

MK telah menciptakan preseden untuk menolak permohonanyang terkait dengan kebijakan hukum terbuka, selamapermohonan tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip yang telah diatur dalam putusan-putusan MK sebelumnya. Namun, dalam kasus yang sedang dibahas, sulit untuk menganggapbahwa hal tersebut merupakan bagian dari komitmen MK dalam menegakkan konstitusi dan melindungi hak-hakkonstitusional warga negara.

Hal ini disebabkan karena secara kelembagaan, KPK berfungsi sebagai bagian pendukung dari organ utama dalamupaya penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi, yaitukepolisian dan kejaksaan. Pembentukan KPK sendirididasarkan pada undang-undang dan dapat dibubarkan kapansaja apabila dianggap tidak lagi diperlukan.

Karena sifatnya yang sementara, wajar bagi pembuat undang-undang untuk memberikan masa jabatan selama 4 tahun bagikomisioner KPK untuk menjalankan tugasnya. Hal inibertujuan untuk menciptakan lingkungan kerja yang dinamisdi dalam KPK dan juga penting untuk menjaga integritas para pimpinan KPK yang bertugas.

Terdapat kebutuhan yang mendesak untuk menjagakonsistensi dan kestabilan putusan hukum yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam konteks kebijakan hukumterbuka. Walaupun konstitusionalisme modern memberikanperan aktif kepada institusi peradilan dalam membangunnegara hukum, konsistensi dalam putusan-putusan MK menjadi hal yang tak ternilai. Ketika putusan-putusan MK mencerminkan ketidaksesuaian atau inkonsistensi, hal inidapat menimbulkan keraguan dan merusak kepercayaanmasyarakat terhadap keadilan dan ketetapan hukum.

Di sisi lain, dalam konteks Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK), penting untuk menjaga keseimbangan antaralingkungan kerja yang dinamis dan kestabilan institusi. Meskipun sifat sementara KPK memberikan fleksibilitasdalam menjalankan tugasnya, tetap diperlukan sistem yang dapat menjaga integritas dan independensi pimpinan KPK. Oleh karena itu, pemberian masa jabatan selama 4 tahun bagikomisioner KPK menjadi pertimbangan penting untukmenciptakan kerangka kerja yang efektif dan memastikankontinuitas dalam upaya pemberantasan korupsi.

Dalam menghadapi situasi yang kompleks ini, MK sebagailembaga peradilan konstitusional perlu mempertimbangkandengan cermat implikasi keputusan-keputusannya terhadapstabilitas hukum dan integritas institusi. Selain itu, MK juga dapat memperkuat komunikasi dan dialog dengan lembaga-lembaga terkait serta mempertimbangkan pandangan dariberbagai pemangku kepentingan dalam mengambil keputusanyang mempengaruhi kebijakan hukum terbuka.

Dalam kesimpulannya, konsistensi putusan hukum oleh MK dan menjaga integritas serta stabilitas institusi seperti KPK merupakan faktor krusial dalam membangun negara hukumyang kuat dan terpercaya. Oleh karena itu, tidak pantas bagiMahkamah Konstitusi (MK) untuk memberikan keputusanyang secara sepenuhnya meniadakan prinsip kebijakan hukumterbuka (open legal policy) yang telah mereka advokasikansebelumnya. Hal ini hanya mencerminkan ketidaksesuaianMK dengan prinsip-prinsip yang mereka tegaskan dalamputusan-putusan sebelumnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image