Paradigma Guru dalam Membangun Peradaban
Agama | 2024-05-12 13:09:40Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie
(Founder Edu Sufistik, Penulis Buku Guru Sang Arsitek Peradaban)
Seorang guru bertanya kepada para muridnya, “Nak, nanti dewasa kamu mau jadi apa?”. Sementara, guru lain bertanya kepada para muridnya, “Nak, nanti dewasa kamu mau berkarya apa?” Pola kalimat mana yang lebih sering digunakan guru kepada para muridnya untuk menanyakan cita-cita? Fakta di lapangan lebih banyak menggunakan pola kalimat pertama.
Pertanyaannya apakah guru sadar dengan perbedaan makna dari kedua pertanyaan tersebut? Bisa jadi tidak banyak guru yang sadar seolah kedua kalimat itu hanya variasi yang memiliki makna yang sama. Padahal, antara kalimat, “Nak, nanti dewasa kamu mau jadi apa?” dengan kalimat, “Nak, nanti dewasa kamu mau berkarya apa?” memiliki perbedaan makna yang jauh. Lebih dari itu akan membentuk paradigma dan mentalitas yang berbeda pada diri anak.
Ketika guru bertanya, “Nak, nanti dewasa kamu mau jadi apa?” Kemungkinan besar para murid akan menjawab dengan menyebutkan salah satu jenis profesi dalam kehidupan yang dicita-citakannya, seperti menjadi dokter, arsitek, dosen, pengusaha, sampai presiden. So what’s? Lantas apa? Ketika murid-murid kita berhasil menjadi apa yang dicita-citakannya yang disimbolkan dengan profesi, lantas mereka mau berbuat dan berkarya apa dengan profesinya itu? Tidak sedikit yang tergagap. Paradigma yang terbentuk tentang cita-cita adalah kesuksesan karier pribadi. Tidak ada urusan dengan kontribusi bagi agama, bangsa, dan negara.
Jika hari ini kita banyak mendapatkan orang-orang yang sukses secara karier pribadi, namun tidak memberikan karya dan kontribusi bagi masyarakat, bisa jadi mereka produk dari pertanyaan, “Nak, nanti dewasa kamu mau jadi apa?” Bahkan, tidak sedikit dari mereka, yang sudahlah tidak berkontribusi, malah merugikan masyarakat dan negara lewat kejahatan korupsi, menipu, penggelapan uang, dan bentuk kejahatan lainnya.
Berbeda halnya dengan seorang guru yang bertanya, “Nak, nanti dewasa kamu mau berkarya apa?” Kalimat ini akan menstimulasi para murid untuk berpikir. Kalimat tanya tersebut juga melampaui kalimat, “Nak, nanti dewasa kamu mau jadi apa?” Karena, untuk bisa berkarya, para murid haruslah menjawab kamu mau menjadi apa. Bedanya, murid sadar bahwa pilihannya menjadi dokter, arsitek, ekonom, politisi, pengusaha, atau cendekiawan didasari oleh misi untuk berkarya dan berkontribusi dibidangnya masing-masing.
Selain itu, kalimat tanya model tersebut juga akan mendorong cara berpikir murid untuk menjadi inventor dan inovator. Murid terpantik untuk melahirkan karya-karya baru yang belum ada untuk menjadi solusi atas permasalahan-permasalahan kehidupan yang dihadapi masyarakat. Bisa juga melakukan pembaruan-pembaruan terhadap penemuan yang sudah ada, sehingga manfaatnya lebih besar dan luas bagi masyarakat dan kemanusiaan.
Misalnya, seorang murid memilih menjadi dokter. Dia tidak akan berhenti sebatas menjadi dokter, lalu mengabdi dengan mengobati orang sakit. Namun, dengan keilmuan kedokterannya itu dia berpikir untuk melakukan riset seputar pengobatan dan kesehatan. Kegiatan seperti ini akan melahirkan penemuan-penemuan yang bermanfaat dalam dunia medis dan kesehatan. Demikian juga dalam bidang-bidang lainnya.
Bayangkan sekadar pilihan kalimat, tapi bisa menghasilkan perbedaan yang jauh. Hal ini karena kalimat para guru yang disampaikan kepada para muridnya akan membentuk paradigma pada diri murid. Pembentukan paradigma itulah yang melahirkan perbedaan signifikan pada diri murid dari segi cara memandang segala sesuatu, merespon, dan membaca masa depan. Bahkan, lebih dalam lagi tentang memaknai hidup dan kehidupan.
Inilah paradigma guru dalam membangun peradaban. Setiap guru harusnya menyadari bahwa murid-murid di hadapannya adalah calon-calon pemimpin bangsa dan dunia pada masa depan. Seorang guru harus membebaskan ruang berpikirnya dari jebakan ruangan berukuran 6 x 8 meter persegi bernama kelas. Pikiran guru harus bebas menjelajah ruang dan waktu. Kemudian, dia mengajak para murid untuk masuk dan mengisi ruang dan waktu tersebut. Guru bisa mengajak murid melompat dari satu ruang dan waktu ke ruang dan waktu lainnya.
Secara fisik murid tetap berada di dalam kelas, namun pikiran dan imajinasinya melintasi sekat ruang dan waktu. Ia bertamasya memotret peradaban-peradaban besar masa lalu yang sempat manggung dalam pentas peradaban dunia. Memahami pola-pola kebangkitan dan kejatuhannya. Kemudian, membawanya untuk memahami konteks peradaban masa kini, dan menjadi inputan untuk merencanakan dan mengonstruksi peradaban masa depan. Pada ruang peradaban masa depan itulah, para murid merancang karya-karya besar mereka untuk mewarnai peradaban.
Kita bisa membayangkan betapa asyik dan serunya kelas-kelas pembelajaran seperti itu. Para murid begitu asyik menjelajah dalam dunia pikirannya. Merancang, mendisain, dan mengonstruksi masa depan. Bukan hanya tentang dirinya, namun juga tentang agama, bangsa, dan negaranya. Bahkan, lebih luas lagi tentang dunia dan kemanusiaan. Bagaimana merancang tatanan peradaban dunia yang lebih baik dan berkeadaban untuk masa depan generasi setelahnya.
Oleh karena itu, bagi para guru mulai hari ini perhatikanlah kalimat-kalimat yang Anda sampaikan kepada murid-murid Anda. Pastikan bukan sekadar kalimat yang baik, namun lebih dari itu kalimat-kalimat yang membangkitkan kesadaran, melahirkan pencerahan, dan membakar motivasi murid-murid Anda untuk berkarya dan berkontribusi yang terbaik bagi agama, bangsa, dan negara.
Ketika murid-murid Anda pada masa depan menjadi orang-orang yang bermanfaat dan memberikan karya dan kontribusi besar, yakinlah di situ ada saham kebaikan yang akan mengalir kepada Anda. Bahkan, kebaikan yang mengalir kepada Anda tidak hanya saat masih hidup, melainkan meski sudah meninggal sekalipun. Sepanjang murid-murid Anda terus berkarya dan menghadirkan kebermanfaatan bagi agama, bangsa, dan negaranya.
Saya menyebut guru semisal ini dengan sebutan guru sang arsitek peradaban. Andakah orangnya?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.