Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Salvadora Emya Grace

Perlindungan dan Rehabilitasi: Sistem Pidana Indonesia bagi Anak di Bawah Umur

Edukasi | Thursday, 25 May 2023, 01:48 WIB
Dibuat oleh Salvadora Emya Grace (131221202) PDB A21

Pada umumnya, hukuman pidana bagi anak di bawah umur serta sistem peradilannya berkaitan dengan tingkat kematangan usia anak. Banyak negara memiliki undang-undang khusus yang mengatur tentang perlakuan hukum terhadap anak-anak yang terlibat dalam tindak pidana. Pendekatan hukuman yang dilakukan terhadap anak-anak bertujuan untuk merehabilitasi anak dan tujuan jangka panjangnya adalah reintegrasi anak ke dalam masyarakat.

Hukuman pidana anak di bawah umur tidak bersifat retribusi, melainkan mengutamakan pemulihan serta pendidikan terhadap anak tersebut agar tidak terjadi pengulangan tindakan kriminal. Selain itu, hukuman pidana bagi anak dibawah umur juga bertujuan untuk memberikan perlindungan perkembangan psikis bagi anak dengan memastikan adanya program rehabilitasi yang baik dan efektif bagi anak.

Di Indonesia terdapat hukum yang mengatur tentang pidana anak di bawah umur yaitu dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-undang ini menetapkan prinsip-prinsip dan prosedur perlindungan serta penanganan terhadap anak yang terlibat dalam tindak pidana.

Berdasarkan undang-undang tersebut, anak-anak di bawah umur adalah individu yang berusia tidak lebih dari 18 tahun. Prinsip utama dalam hukuman pidana anak di Indonesia adalah rehabilitasi, reintegrasi, dan pemulihan anak ke dalam masyarakat. Pendekatan hukuman yang digunakan adalah pendekatan restoratif yang menitikberatkan pada pendidikan, pembinaan, dan perbaikan perilaku anak. Hal ini juga digunakan untuk menghindari adanya pemikiran atau anggapan anak yang menganggap kasus dirinya sama menyeramkannya dengan kasus pidana orang dewasa.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 juga menegaskan bahwa anak di bawah umur tidak dapat dikenakan hukuman pidana yang sama dengan hukuman orang dewasa. Sebagai gantinya, sistem peradilan anak lebih mengedepankan hukuman non-penjara atau hukuman penjara yang lebih ringan dan lebih pendek daripada hukuman yang biasanya diberikan kepada orang dewasa. Mengingat bahwa anak memiliki kekhususan yang tidak dapat disamakan dengan orang dewasa, maka diperlukan penanganan khusus dengan memperhatikan kepentingan anak, sehingga anak yang menjadi pelaku tindak pidana tersebut tidak dirugikan secara fisik maupun mentalnya.

Tentu saja kita tidak ingin peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga menggambarkan nasib anak-anak yang dipenjarakan sehingga tidak memiliki masa depan setelahnya. Hal ini seperti kasus remaja RJ yang berusia 16 tahun yang dikeluarkan dari sekolah karena menghina Presiden Joko Widodo, seperti kasus ZL remaja berusia 17 tahun yang membunuh begal atau seperti kasus yang dialami remaja Y yang menjadi korban kurir narkotika.

Berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997, dapat dikatakan bahwa terdapat ketentuan-ketentuan perlakuan terhadap anak yang melakukan tindak pidana, seperti: setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya, kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah (undang-undang) yang menunjukan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik anak. Selain itu, undang-undang tetap menjamin bahwa anak mendapatkan hak untuk tetap bertemu secara langsung dan berhubungan dengan orang tuanya. Namun, perlu diingat bahwa anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

Selanjutnya, pelaku tindak pidana anak di bawah umur tidak dapat dijatuhkan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup. Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Setiap anak yang kebebasannya dirampas memiliki hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan dengan memperhatikan keutuhan pengembangan pribadinya sesuai dengan usianya, serta harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingan terbaik anak.

Selain dengan adanya perlindungan terhadap anak, hak-hak pelaku tindak pidana di bawah umur atau narapidana anak juga harus dipenuhi. Hak-hak tersebut berupa hak tumbuh dan berkembang, hak untuk berpartisipasi, hak untuk pendidikan, hak untuk makan dan minum, serta hak untuk memiliki tempat tinggal.

Pembinaan sosial dan pengembangan pribadi untuk hidup bermasyarakatnya juga perlu diberikan kepada narapidana anak. Aktivitas yang dapat dilakukan oleh narapidana anak adalah dengan memfasilitasinya melalui pembimbingan tentang hidup bermasyarakat yang baik dan mengajarkan norma-norma agama, kesusilaan, serta etika pergaulan dan pertemuan dengan keluarga korban untuk memelihara hubungan yang baik.

Dengan mendapatkan pembinaan berdasarkan perlindungan pelaku tindak pidana anak, maka diharapkan pelaku tindak pidana anak atau narapidana anak dapat menentukan dan mendapatkan kembali jati diri alamiahnya sebagai manusia yang hidup dan memiliki tujuan hidup yang lebih baik. Hal ini juga selaras dengan memberikan keadilan serta mempertimbangkan kepentingan masyarakat dalam pencegahan kejahatan dan memelihara ketertiban umum.

Sumber:

 

  • Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
  • Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
  • Pasal 66 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image